Kamis, 31 Januari 2013

Menata Puing-Puing Reformasi


Menata Puing-Puing Reformasi
Jeffrie Geovanie ;  Founder The Indonesian Institute
SINDO, 31 Januari 2013



Beberapa kejadian terakhir, terutama di ranah politik dan hukum, sepertinya telah memaksa kita untuk kembali memutar arah jarum jam.Banyaknya anggota DPR RI yang masuk bui, para hakim yang menjual diri, serta kasus-kasus lain yang membuat gerakan reformasi yang dulu kita gemakan benar-benar menemui jalan berliku atau bahkan jalan buntu. 

Harus diakui, pada awalnya, gerakan reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, 21 Mei 1998, telah membawa perubahan yang signifikan bagi kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Secara politik, ada ekspresi kebebasan yang relatif tanpa batas. Indikatornya antara lain berseminya partai politik hingga sampai pada batas yang sulit dihitung berapa jumlah pastinya (meskipun pada akhirnya hanya beberapa yang memperoleh suara riil pada pemilu). 

Disamping musim semipartai, juga terdapat euforia calon presiden. Saking banyaknya, kita juga sulit menghitung ada berapakah calon presiden dari sejak Pemilu 1999 hingga saat ini. Di luar partai-partai yang masingmasing punya calon presiden, masih banyak tokoh independen yang juga berusaha mencapai tangga Istana Negara. 

Pers,yang ketika rezim Soeharto berkuasa, dibelenggu dengan peraturan perundangan yang amat ketat—seperti kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)—kini begitu bebas berekspresi sehingga ada beberapa kalangan yang menyebut pers kita cenderung tanpa batas dan agak kehilangan kendali. Lantas, apakah fungsi dari gerakan reformasi yang sebenarnya? Sekadar untuk menumbangkan rezim yang dianggap otoriter? 

Ataukah untuk menuai perubahan yang prospektif, dalam arti menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik? Ada kecenderungan, penilaian terhadap keberhasilan gerakan reformasi diukur dari pencapaian-pencapaian yang bersifat legalistik-formalistik. Misalnya, ketika menetapkan agenda reformasi, keberhasilannya diukur dari lahirnya ketentuan perundang-undangan yang mendukung bagi agenda reformasi tersebut. 

Dalam platform gerakan reformasi yang diusung berbagai komponen masyarakat, terutama mahasiswa dan cendekiawan kampus pada 1998, secara garis besar ada lima. Pertama, Amendemen Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Agenda ini dianggap berhasil dengan lahirnya UUD 1945 baru yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui empat tahapan perubahan. (Perubahan keempat diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 2002). 

Kedua, penghapusan dwifungsi ABRI (baca, TNI dan Polri). Agenda ini dianggap berhasil dengan ditetapkannya ketentuan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak lagi mendapatkan kursi gratis di lembaga legislatif––DPR RI, DPR provinsi, DPR kabupaten/kota, dan Dewan Perwakilan Daerah/ DPD—pasca-Pemilu 2004. 

Ketiga, perluasan otonomi daerah. Lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, serta Undang-Undang Otonomi Khusus untuk daerahdaerah yang memiliki corak budaya yang khas seperti Aceh dan Papua dianggap sebagai wujud konkret dari agenda perluasan otonomi daerah. 

Keempat, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) untuk membangun clean governance dan good government. Dianggap telah sukses dengan lahirnya ketetapan-ketetapan: (1) Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN; (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Tap MPR Nomor VII I Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN; serta (4) UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Kelima,menegakkan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM). Agenda ini pun dianggap sukses dengan lahirnya: (1) UU No 39 Tahun 1999tentangHak AsasiManusia; (2) Keppres tentang Pembentukan Komisi Hukum Nasional; (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; (4) Keppres No 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM; dan (5) Keppres No 96 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. 

Masalahnya, keberhasilan gerakan reformasi yang sejati tak bisa diukur hanya dengan lengsernya rezim otoriter atau dengan ditetapkannya ketentuan- ketentuan hukum yang sesuai dengan agenda reformasi. Agenda reformasi di suatu negara baru dikatakan berhasil jika setiap agenda yang telah ditetapkannya bisa direalisasikan dan memberi manfaat yang positif bagi segenap warga negara yang bersangkutan. 

Dari lima agenda reformasi yang disebutkan di atas,kiranya belum ada satu pun yang sudah dijalankan secara substantif. Semuanya masih terbatas pada capaian-capaian formalistik dan relatif belum bisa dirasakan manfaatnya oleh segenap rakyat Indonesia.Banyak kalangan bahkan melihat reformasi hanya tinggal puing, yang tersisa hanya “repotnasi” atau kesulitan-kesulitan hidup yang ditimbulkan akibat dari gerakan reformasi. 

Karena itu, upaya yang serius untuk menata kembali puing-puing dari gerakan reformasi melalui upaya substansiasi reformasi dibutuhkan yakni suatu gerakan yang menyentuh aspekaspek substansial dari reformasi. Bagaimana caranya? Memang tak semudah membalik telapak tangan. 

Tapi, jika kita harus memilih skala prioritas, prioritas pertama yang penting dan mendesak adalah mengusahakan tampilnya kepemimpinan nasional yang reformis, berani, punya integritas moral, bersih, dan bebas KKN. Mengapa penting dan mendesak karena beberapa bulan lagi kita akan memasuki hingar-bingar pemilihan umum (pemilu), baik untuk legislatif maupun eksekutif. 

Ada pepatah lama yang senantiasa aktual, “ikan membusuk dimulai dari kepalanya.” Gerakan reformasi tak mungkin bisa berjalan efektif tanpa ada contoh konkret dari para pemimpinnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar