Kamis, 31 Januari 2013

Narkoba dan Kerbau Ki Kuwu Cerbon


Narkoba dan Kerbau Ki Kuwu Cerbon
Tandi Skober ;  Penasihat Budaya Indonesia Police Watch
MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2013



SELEBRITAS pemadat dalam alam pikir abad ke-15 menusa Cirebon terposisikan sebagai dialektika reh-markayang (hamba setan). Sebab itu, para penuhan candu kerap menyebut diri menjadi reang, bukan kula asal dari kawula atau saya (sahaya) juga abdi (ibad). Artefak teosastrawi menyebut lelaku itu dalam sebuah frasa yang kerap ditutur ulang para dalang wayang, “Kadudrung candu, oyod mingmang kewirangan.“

Ketika candu madat menjadi gelisah nafsu, orang akan terbelit akar cakar malu yang mematikan. Dengan disebabkan hal itu, perlu ritual ruwat agar kembali menjadi reh-hyang (hamba Tuhan). Yang membuat saya terkesima, ternyata meruwat menusa madat dimulai dari depan pintu rumah. Di sini, ada akar pikir metafora percakapan `Putri Guri Lawang' bahwa `setya budya pengekese durangkara madat lan dursila angrabeni'.

Hanya dengan mempertajam kecerdasan budi, nafsu madat dan lelaku angrabeni akan menjauh dari pintu rumah kita. Kecerdasan budi bisa jadi kata kunci untuk menutup pintu perilaku keriting madat candu. Tentu, tidak hanya itu.

Bahkan ketika Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan lima orang positif menggunakan narkoba dari 17 orang yang ditangkap di rumah Raffi Ahmad (27/1) yang di antaranya artis, yakni Raffi Ahmad, Zaskia Sungkar, Irwansyah, dan wakil rakyat Wanda Hamidah, nalar saya berlari ke era geger Nyi Mas Gading pada pertengahan abad ke-15. Kenapa? Bermula dari geger Gading ini, manusia madat candu direstorasi ke ruang ukhrawi yang steril.

Penghapus Bedak

Era itu, pertengahan abad ke15 pintu rumah warga Cirebon dipasangi tanda penolak bala berupa darah kerbau. Ada apa? Ambarang wayang kabarkan bakalan datang ronggeng sinden cantik berasal dari Gadingan Indramayu. Itu membuat elite Cerbon cemas.

Nyi Mas Gading Ronggeng ditengarai sebagai penyebar frasa racun madat wadon nirmadat wadonira. Wanita bermahkota dursila yang dari setiap jejak ronggengnya akan lahir wanita tidak tahu malu bernama wadon wirang juga lanang madat mabuk.
Adakah Nyi Mas Gading secantik Ria Irawan, Jennifer Dunn, Sheila Marcia, Ade Ivay, dan entah siapa lagi? Hmm, bisa jadi, memang demikian adanya. Artefak tekstual melukis diri Nyi Mas Gading sebagai sang selebritas. “Bukan gula, bukan air gula, tapi bibirnya manis tak terkira. Betisnya terkuak membersit terang, bercahaya membakar berahi, tampak kuning kehijau-hijauan bagaikan kuncup bunga pandan,“ itu kata nayaga ronggeng sebelum Nyi Mas Gading memasuki areal pertunjukan.

Ronggeng syahwati itu pun menjadi geger rerungon. Tiap kali Nyi Mas Gading pentas, selalu saja ada cerita dur angkara madat lan dursila angrabeni. Hingga pada titik terjauh, ketika ruang mesum kian terbuka, ketika para pria membeli candu madat mabuk, muncul pria lansia berwajah bening bernama Ki Kapetakan. Di ujung malam, jelang fajar, seusai pesta, Ki Kapetakan berujar, “Tinemu wong ngantuk anemu kethuk. Malenuk samargi-margi. Marmane bungah kang nemu. Marga jroning kethuk isi. Kencana candu abyor.“

Akan ditemukan manusia nestapa yang melangkah dalam keadaan tak sadar di jalan-jalan labirin. Mereka menemukan kethuk (gong kecil). Sesaat semringah. Padahal, isi kethuk itu cuma candu kencana.

Ki Kapetakan cipratkan air seraya tuturkan kecerdasan budi sebagai penolak bala atas kehadiran Nyi Mas Gading. Ia bahkan coba mendekati Nyi Mas Gading agar berhenti menjadi ronggeng madat angrabeni. Ia kabarkan bahwa angrabeni (seks) itu berasal dari kata dasar rabi.

Ini agar dimaknai bahwa seks itu ritual ibadah terhadap rabi (istri). “Angrabeni iku kudu kanthi laku,” tutur Ki Kapetakan. Artinya, esensi seks itu ialah amalan lelaku utama dunia sekaligus amalan saleh nganggo akherat. Artinya lagi, seks itu agar diyakini bagian peribadatan yang dari setiap desah napas yang dikeluarkan akan alirkan kearifan ekstasi religi.

Yang malang, tuturan seputar kecerdasan budi Ki Kapetakan dilecehkan Nyi Mas Gading beserta para nayaga. Bahkan pada titik didih tertentu ketika matahari retak di atas Kali anyar, Cerbon pada 1540 M, lihatlah Nyi Mas Gading merayu Ki Kapetakan. 

Perdebatan seputar dur angkara madat lan dursila angrabeni muncrat-muncrat menjadi lakon erotis di antara pusaran candu, mabuk, dan sensualitas seks. Konon, Ki Kapetakan nyaris kepincut tiap kali sebersit cahaya berahi terkuak dari betis Nyi Mas Gading.

Tersebab itu, pria lansia itu memejamkan matanya. Nyi Mas Gading bertutur lirih merayu Ki Kapetakan, “Wahai Batara Asmara, dewanya kain tersibak, sang pembangkit laras di hati. Kakang bagai air mata penghapus bedak. Seandainya kuncup bunga layu asalmu dari sanggul wanita. Kakang adalah sumber dan tujuan rasa berahi melekat.“

Ki Kapetakan ambruk! Ada aliran syahwat mengendap-endap di kain sarungnya. Akan tetapi, Tuhan menyelamatkan Ki Kapetakan. Pada saat Ki Kapetakan pasrah, saat itulah Kerbau Ki Kuwu Cerbon yang baru habis meluku mengamuk dan menghabisi rombongan kesenian itu. Nyi Mas Gading tewas! Ia dikuburkan di Desa Kalianyar Ceribon. Hingga kini makam Nyi Mas Gading Ronggeng tidak pernah sepi diziarahi warga pemuja syahwat. Para peziarah sering kali melakukan sawer.

Sepasang Sayap

Hikmah kearifan lokal yang bisa dipetik, paling tidak, BBN menyadari bahwa ketika para bintang memuja nafsu hewani, hanya binatanglah yang mampu mematikan hasrat buruk itu. Seekor kerbau telah membuat kubangan kuburan untuk Nyi Mas Gading. Namun, dari ruang nalar lain, era itu Ki Kuwu Cerbon memosisikan disiplin rumah—ritual ruwat depan pintu--dijadikan ageman komitmen kultural bersifat holistik.

Ki Kuwu Cerbon ingin tuturkan bahwa dari rumahlah, untuk pertama kali seorang anak mendapat pengetahuan tentang kehidupan. Wong Cerbon menyebut sebagai Putri Guri Lawang. Itu bermakna bahwa seorang ibu rumah tangga yang berada di balik pintu layak disebut putri terhormat manakala bisa memosisikan diri sebagai wanita yang tak pernah letih mengajarkan kualitas moral dalam memfaktualkan nilai-nilai luhur budaya.

Bila itu tidak bisa, lipat saja sang rahim. Biarkan jadi kering tanpa pernah melahirkan anak. Itu tentu duka budaya yang dituturkan penyair Ahmad Nurullah dalam pahatan teks yang pedih, “Dan jangan sekali-sekali bermimpi untuk datang. Kubayangkan, di langit tubuhmu bening bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh air mata. Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada. Bertahanlah terus untuk tak ada. Tak pernah ada!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar