Rabu, 30 Januari 2013

Otda dan Ekonomi Nasional


Otda dan Ekonomi Nasional
Rudy D Siregar ;  Wakil Komite Tetap Advokasi Hukum KADIN
REPUBLIKA, 29 Januari 2013


Pelaksanaan otonomi daerah (otda) pada era reformasi ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, otonomi daerah diterapkan dengan harapan bahwa pemerintah daerah di seluruh Indonesia memiliki kewenangan atau otonomi untuk mengembangkan ekonomi dan portensi daerah masing-masing yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, di sisi lain, pemberian otda ternyata berkembang menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor. 

Kekuasaan atau otonomi yang diberikan kepada para kepala daerah merangsang para pengusaha, birokrasi, dan politisi untuk berlomba-lomba meraih posisi strategis ini. Akibatnya, terdapat fenomena banyaknya kursi kepala daerah yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada publik.

Permasalahan tersebut sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang dipublikasikan pada Mei 2012, terdapat sekitar 173 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dan pada November 2012, data dari Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa ada sekitar 240 kepala daerah yang memiliki permasalah an hukum.

Meningkatknya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus hukum perlu dijadikan peringatan bagi pemerintah dan para penegak hukum bahwa praktik korupsi di Tanah Air sudah mencapai eskalasi yang mengkhawatirkan.

Perkembangan pelaksanaan otda membuat pola korupsi baru, yakni desentralisasi korupsi yang diwarnai dengan maraknya fenomena raja-raja kecil di daerah. Fenomena ini tidak boleh disepelekan karena memberikan dampak negatif bagi perkembangan ekonomi di daerah.

Kelemahan Sistem

Salah satu penyebab kurang berhasilnya pelaksanaan otda saat ini adalah lemahnya sistem check and balance sehingga membuat para kepala daerah yang mendapat julukan negatif raja-raja kecil ini kurang respek dan patuh pada kewibawaan pemerintah pusat dan aturan hukum. Tanpa sungkan dan tidak takut pada hukum, banyak dari pejabat daerah yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. 

Mereka memanfaatkan celah hu kum dan birokrasi. Modusnya, yaitu dengan korupsi APBD, melakukan mark up anggaran, dan melakukan pungli kepada pengusaha dan masyarakat. Fenomena pungli perlu mendapatkan perhatian khusus karena secara langsung akan berdampak negatif pada iklim investasi. Praktik pungli memberikan dilema tersendiri bagi para pengusaha, pelaku bisnis, serta investor karena akibat hal itu akan menimbulkan potensi kriminalisasi kepada pengusaha.

Penegak hukum dapat mengartikan bahwa pemberian uang kepada pejabat ataupun pegawai negeri sipil dapat dianggap sebagai penyuapan. Selama 2012, tidak sedikit kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi menjadi headline dalam pemberitaan di media yang menjadi sorotan publik. Salah satu contoh yang menarik perhatian masyarakat adalah penyuapan Bupati Buol Amran Batalipu dengan pengusaha Hartati Murdaya.

Kasus Buol ini menjadi bukti lemahnya kontrol dari pemerintah pusat yang terlihat pada dua kerusuhan anarkis yang terjadi pada September 2010 dan Mei 2012. Dalam kerusuhan tersebut, pihak kepolisian yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan, melindungi masyara kat, dan menjaga ketertiban umum tidak mampu menangani situasi sehingga pengusaha harus membayar sejumlah feekepada oknum pejabat setempat agar kondisi kembali aman.

Kasus Buol memperlihatkan bahwa otda berpotensi mengerdilkan peran pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah justru memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar dan dapat menyepelekan pemerintah pusat.

Pemerintah harus bergerak cepat sebelum otonomi daerah menjadi `kanker' baru bagi suksesnya program pengentasan korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan peran institusi penegakan hukum, seperti KPK dan kejaksaan di daerah-daerah. 

Revisi Undang-Undang KPK akan lebih baik jika dapat meningkatkan kemampuan KPK untuk lebih berdaya guna dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dan, UU No 32/2004 tentang Otda juga perlu direvisi secepatnya agar dapat memberikan kewenangan ke pada gubernur sehingga dapat menyederhanakan birokrasi dan dapat memberikan check and balance di daerah, khususnya bagi pemerintahan kabupaten. 

UU No 32/2004 tersebut juga perlu direvisi karena tidak mendorong iklim investasi dan usaha yang kondusif bagi para investor. Karena, hal itu terbukti justru mendorong para kepala daerah melakukan pidana korupsi. Hal yang juga penting adalah pemekaran daerah sebaiknya dihentikan sampai terdapat revisi terbaru UU Otda. Pemekaran daerah yang merajalela akan membuat praktik korupsi di daerah menjadi tak terkontrol. Desentralisasi korupsi harus dicegah sebelum menggerogoti perekonomian nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar