Senin, 28 Januari 2013

Pelajaran dari Gunung Kidul


Pelajaran dari Gunung Kidul
Darmaningtyas ;  Pendidik Otodidaktik
KORAN TEMPO, 28 Januari 2013



Banjir bandang yang melanda Kota Jakarta hingga membawa korban jiwa karena terjebak pada basement UOB merupakan peristiwa memilukan dan sekaligus ironi sebagai kota metropolitan. Pada 2007 pernah terjadi peristiwa serupa, tapi tidak terlalu parah, karena pada saat itu banjir hanya merendam perkampungan di sekitar bantaran kali Ciliwung. Tapi kali ini jantung kota seperti M.H. Thamrin pun terkena genangan air. Kawasan Bundaran HI terendam akibat jebolnya tanggul di Latuharhary, sehingga air dari Sungai Ciliwung meluberi Jalan M.H. Thamrin. Menghadapi bencana banjir yang terus berulang, ada baiknya para pemimpin dan warga Jakarta belajar dari masyarakat Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam mengatasi kelangkaan air bersih.
Seperti diketahui, Gunungkidul selama berpuluh tahun dikenal sebagai daerah tandus dan gersang. Ketandusan mereka itu berdampak pada: pertama, mereka selalu dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan air baku setiap musim kemarau tiba. Tlogo (bilik/danau kecil), yang merupakan sumber mata air, selalu kering pada musim kemarau. Kedua, tandus itu berarti kering, dan kering berarti tidak adanya tumbuhan yang hidup, termasuk rerumputan untuk pakan ternak. Padahal, masyarakat Gunungkidul hidup dari pertanian, termasuk dari ternak, utamanya sapi dan kambing.
Menghadapi kondisi geografis yang buruk tersebut, Bupati Gunungkidul saat itu (1973-1983), Ir Darmakum Darmokusumo, mempunyai program penghijauan. Di sekolah-sekolah pun ada kerja bakti untuk menanam pepohonan. Hasilnya, 30 tahun kemudian, Gunungkidul dikenal sebagai daerah yang hijau royo-royo. Hasil hutan berupa kayu jati, akasia, dan mahoni telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Gunungkidul saat ini. Sedangkan kesulitan air baku diatasi dengan cara membuat bak-bak penampungan air hujan (PAH). PAH ini pertama kali diperkenalkan oleh lembaga swadaya masyarakat Dian Desa pada pertengahan dekade 1980-an di Kecamatan Tepus, yang dikenal paling parah mengalami kesulitan air. Percontohan yang dibuat oleh Dian Desa tersebut telah memberi inspirasi bagi warga lainnya untuk membuat PAH sejenis dengan kualitas yang lebih bagus.
Mengingat kondisi ekonomi masyarakat Gunungkidul yang pas-pasan, pada awalnya pembuatan PAH dilakukan secara bergotong-royong dengan menggunakan sistem arisan. Tapi, mengingat sistem ini terlalu lama (satu bulan baru dapat satu PAH), mereka yang merasa mampu membuat PAH sendiri. Pada saat ini 80 persen penduduk Gunungkidul memiliki PAH masing-masing. Pada saat musim hujan, PAH-PAH tersebut--sesuai dengan namanya--menjadi tempat penampungan air hujan. Sedangkan pada musim kemarau, PAH diisi dengan air pembelian dari daerah Bantul atau Kecamatan Playen dan Wonosari (Gunungkidul), yang memiliki cadangan air tanah cukup.
Kepemilikan PAH oleh mayoritas penduduk Gunungkidul itu telah mampu mengatasi problem air di Gunungkidul. Masalah kelangkaan air yang dulu menjadi masalah publik (urusan pemerintah), sekarang menjadi masalah privat--hanya dialami oleh mereka yang tidak memiliki uang untuk membeli air bersih dari daerah lain. Sekarang ada kabar gembira, karena dalam lima tahun terakhir, proyek pengeboran air tanah di Gua Bribin telah berhasil mengangkat air tanah di dekat samudra tersebut untuk dialirkan ke keran-keran penduduk, khususnya di wilayah Gunungkidul bagian barat. Berbagai usaha tersebut tidak berarti melepaskan Gunungkidul dari problem air dan pakan ternak sama sekali. Masalah tetap ada, tapi gradasinya sudah menurun.
Ada dua pelajaran yang menonjol dan dapat dipetik dari Gunungkidul tersebut, yaitu kesadaran yang tinggi dari warga untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, serta adanya pemimpin (bupati) yang punya visi dengan mencanangkan program penghijauan tersebut. Dua hal tersebut yang menjadi kunci kesuksesan.
Pelajaran bagi Jakarta
Kondisi Jakarta berbeda dengan Gunungkidul. Kondisi geografis Jakarta yang rendah, hampir sejajar dengan permukaan air laut, selalu berkelimpahan air hujan pada musim hujan. Kelimpahan air hujan yang tidak terkelola dengan baik itulah yang kemudian menyebabkan banjir. Jika warga Gunungkidul mampu mengatasi masalah kekurangan air dan ketandusan, apakah warga Jakarta tidak mampu mengatasi banjir tanpa harus menunggu proyek-proyek besar? Penulis yakin Jakarta amat bisa bila mau belajar kepada masyarakat Gunungkidul. Sudah jelas bahwa kondisi geografis dan permasalahannya berbeda, tapi semangat warga dan visi pemimpinnya dapat dicontoh oleh warga Jakarta.
Bila semua warga Jakarta memiliki semangat untuk berkontribusi mengatasi banjir dan kemudian ditunjang oleh kepemimpinan yang memiliki visi, selesailah masalah banjir di Jakarta. Kesadaran warga tersebut diperlihatkan dengan upaya pribadi untuk membuat sumur resapan di rumah mereka masing-masing. Bagi mereka yang memiliki luas tanah minimum 80 meter persegi dan belum terbangun semua, maka yang 2 x 1 meter saja didedikasikan untuk membuat sumur resapan. Caranya, bila tanah tersebut saat ini dibeton untuk garasi atau teras, maka betonnya dibongkar, lalu digali minimal dua meter. Lubang tersebut kemudian diisi dengan batu kali atau kerakal, atau sabut dari aren, kemudian ditutup dengan pasir.
Batu kali atau kerakal tersebut dimaksudkan untuk menciptakan rongga dalam tanah, sehingga air hujan dapat meresap ke dalam tanah secara lancar. Sedangkan pasir dimaksudkan untuk menutup lubang atas agar masih dapat berfungsi untuk yang lain, misalnya jalan, parkir, garasi, dan lain-lain. Tapi, di atasnya jangan untuk mencuci sepeda motor/mobil, karena busanya dapat merusak kandungan air yang ada dalam tanah. Penulis membayangkan, kalau semua rumah tangga dan perkantoran (baik pemerintah maupun swasta) melakukan hal yang sama, itu akan dapat mencegah banjir pada musim hujan, tapi dapat menjadi cadangan air tanah pada musim kemarau. Kesadaran warga yang tinggi tersebut dapat didorong oleh sang pemimpin dengan memberikan insentif bagi yang melakukannya, tapi disinsentif bagi yang tidak melakukan. Bila kesadaran warga belum muncul, tugas pemimpin adalah melakukan pendidikan publik kepada warganya.
Pendidikan publik ini selalu luput dari program-program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, meski sejak lima tahun silam penulis selalu mengusulkan pada setiap Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan). Maklum, pendidikan publik tidak jelas indikator keberhasilannya, berbeda dengan pembangunan jalan yang dalam waktu satu tahun dapat dipakai. Tapi, tanpa ada pendidikan publik yang masif, Jakarta akan selalu mengulang kesalahan yang sama. Sedangkan visi pemimpin Jakarta dapat dilihat dari keseriusannya dalam melakukan revitalisasi sungai. Semua sungai di Jakarta dikeruk, minimal 20 meter, lalu tanggulnya ditinggikan, serta kanan-kiri tanggul ditata untuk menjadi ruang publik yang menarik maupun untuk jalur sepeda. Pastilah langkah tersebut dapat mengatasi banjir dan bencana lainnya di Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar