Kamis, 31 Januari 2013

Pembangunan Minus Kesejahteraan


Pembangunan Minus Kesejahteraan
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras 
SINDO, 31 Januari 2013



Secara makro, kinerja ekonomi Indonesia 2012 amat mencorong. Di saat benua Eropa dan Amerika Serikat bergulat dengan krisis, ekonomi Indonesia tumbuh 6,3%, tertinggi kedua di dunia setelah China. 

Inflasi ditekan rendah: 4,3%. Indeks harga saham gabungan (IHSG) hampir menembus rekor baru: 4.500. Cadangan devisa meningkat tiada henti. Produk Domestik Bruto Rp7.417,2 triliun. Delapan tahun terakhir, pendapatan perkapita naik lebih dari 3,2 kali: dari USD1.110 (2004) menjadi USD3.500 (2012). Ini bukan kali pertama. Selama delapan tahun di bawah kepemimpinan Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi bisa dijaga rata-rata di atas 5% per tahun, inflasi terkendali di bawah satu digit, dan nilai tukar rupiah relatif stabil. 

Indonesia juga kembali meraih investment grade. Namun, di balik berbagai prestasi pembangunan itu tersimpan sejumlah ironi: ironi ketimpangan (antarwilayah, antarsektor ekonomi, dan pendapatan antarpenduduk), ironi penciptaan lapangan kerja yang semakin mengecil, dan ironi penurunan jumlah kemiskinan yang rendah—yang semua itu mengarah pada defisit kesejahteraan.

Gemuruh pembangunan ekonomi memang mengesankan, namun meninggalkan residu yang tidak kalah gawat. Jika tak ditangani, ini bakal meninggalkan bom waktu yang tak kalah serius. Sampai saat ini kue pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Kawasan barat Indonesia (Sumatera dan Jawa) menguasai sekitar 82% PDB nasional,jauh meninggalkan kawasan timur Indonesia yang hanya menempati 18%.

Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada 2012 Jawa menguasai 58% PDB nasional dengan tiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46% PDB nasional. Ketimpangan antar-sektor tidak kalah serius. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir hanya didorong sektor modern atau nontradable, seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/ hotel/restoran.

Tahun 2012, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi,melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (6,3%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) hanya tumbuh rendah. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. 

Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa Orde Baru misalnya, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera. 

Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2012 hanya 14,4%. Padahal, sektor ini menampung 43% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai massifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Ini yang kemudian memunculkan ketimpangan yang ketiga: disparitas pendapatan antarpenduduk.Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. 

Ini terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966,ini pertama kalinya Gini Rasio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Kesenjangan akut tampak dari penguasaan kue ekonomi. Pada 2010 kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp680 triliun (USD71,3 miliar),setara 10,3% PDB Indonesia. 

Jumlah kekayaan 40 orang itu setara kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin (Prakarsa, 2011). Bila dilihat lebih jauh, 0,02% penduduk terkaya akumulasi kekayaannya setara 25% PDB (Winters, 2011). Kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang. Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk dibandingkan kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997).

Saat itu kekayaan 1% penduduk masih setara dengan kekayaan 28% penduduk. Kekayaan yang semakin terkonsentrasi di secuil warga juga terjadi pada aset tanah. Bila pada 1983 indeks gini kepemilikan tanah 0,50, pada 2003 indeks gini mencapai 0,72. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri amat akut: 56% aset nasional hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. 

Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah apabila dibandingkan negara tetangga: 3 kali lebih tinggi dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dibandingkan Singapura (Winters,2011). Uraian ini berujung satu hal: empat strategi Presiden SBY hanya pro-growth, tapi tidak pro-environment, apalagi pro-poor, dan pro-job.Tidak ada yang salah mengejar pertumbuhan tinggi.

Namun, pertumbuhan hanyalah alat, bukan tujuan pembangunan. Demikian pula pertumbuhan pendapatan nasional. Tujuan pembangunan bukan hanya soal uang. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional tinggi apabila lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman. Karena itu, sejumlah negara mengadopsi alat baru dalam mengukur kemajuan perekonomian. 

Beberapa di antaranya kemiskinan, pengangguran, kelestarian lingkungan, kesehatan, dan kepuasan hidup. Sungguh menyejukkan apabila Presiden SBY berani menginisiasi dan mengadopsi ukuran- ukuran baru keberhasilan pembangunan.Pada saat yang sama, langkah itu harus dibarengi pelaksanaan reforma agraria untuk merombak struktur sosial-ekonomi yang timpang. 

Untuk menekan pengangguran dan kemiskinan,prioritas harus diberikan kepada sektor tradable, terutama pertanian, dengan membangun industri perdesaan, seperti disertasi Presiden SBY di IPB: “Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal”. Jika itu dilakukan, kita berpeluang meninggalkan “pembangunan minus kesejahteraan”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar