Kamis, 31 Januari 2013

Perpustakaan dan Pembangunan Ekonomi


Perpustakaan dan Pembangunan Ekonomi
Intan Indah Prathiwie ;  Alumnus Fakultas Psikologi UI
SUARA KARYA, 30 Januari 2013

  
Kondisi buku-buku di mayoritas perpustakaan kita, jauh dari lengkap dan menyedihkan.
Di dalam film Good Will Hunting (1999), tokoh utama Will Hunting, diperankan Matt Damon, yang meraih Oscar untuk Skenario Asli Terbaik, membuat mati kutu mahasiswa Harvard dalam perdebatan soal perekonomian kapitalis di sebuah bar. Ia pun mempermalukan telak sang mahasiswa dengan kalimat, "Sayang sekali kau menghabiskan puluhan ribu dolar uang orangtuamu untuk ilmu yang bisa engkau dapatkan secara gratis di perpustakaan umum!"
Nah, di tengah pendidikan yang kian mahal di negara ini, kutipan di atas tak pelak memberikan inspirasi untuk menjadikan perpustakaan sebagai basis untuk memberdayakan warga negara. Bahkan lebih jauh lagi, dan ini kerap terluput dari perhatian para pengambil kebijakan, peran perpustakaan sebenarnya bisa digairahkan sebagai sarana untuk memajukan perekonomian masyarakat. Singkat kata, perpustakaan punya peran strategis dalam upaya pembangunan ekonomi.
Life-Skills
lama ini, perpustakaan identik dengan ruangan suram penuh buku yang membosankan atau hanya berkutat pada kegiatan akademis semata. Paling jauh, perpustakaan hanya diposisikan sebagai tempat ngobrol atau tempat untuk tidur sejenak.
Padahal, perpustakaan sebenarnya dapat diposisikan sebagai balai keterampilan untuk melatih pengunjung dengan keterampilan hidup (life-skills) yang bermanfaat bagi siapa pun untuk menjalani realitas kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, pengunjung melalui perpustakaan diberdayakan tidak sekadar dengan pengetahuan tapi juga dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk hidup atau bahasa gampangnya 'cari duit'.
Caranya, perpustakaan dapat memberi pengunjung pelatihan gratis atau berbiaya murah lewat dana perpustakaan sendiri atau lewat kemitraan dengan perusahaan yang ingin menyalurkan program corporate social responsibility (CSR) mereka.
Pelatihan yang dimaksud bisa berfokus pada bidang-bidang yang beririsan dekat dengan dunia baca-membaca dan dunia intelektual, seperti pelatihan menulis novel atau skenario film, berbicara di depan publik (public speaking), membuat dan menulis blog, menyutradarai film, pemanfaatan media sosial untuk pemasaran (Twitter, Facebook dan lain-lain) dan banyak pilihan lainnya.
Sudah banyak contoh sosok yang mampu menafkahi diri dengan kegiatan intelektual terkait tulis-menulis atau baca-membaca. Misalnya, sastrawan Ajip Rosidi, kini mengajar sastra Indonesia di sebuah universitas di Jepang, hanyalah lulusan SMA yang hidup semata dari karang-mengarang. Sebagaimana diceritakan Ajip, ia mendapatkan ilmu mengarang ini dari sebuah perpustakaan di Majalengka.
Atau, Arswendo Atmowiloto. Dia juga hanya memiliki ijazah SMA, namun sukses menggeluti hidup dengan modal membaca di perpustakaan dan menulis. Arswendo kini terkenal sebagai novelis, pembicara seminar, sutradara sinetron dan berbagai profesi lain yang dipelajarinya secara otodidak lewat berbagai sarana, salah satunya adalah perpustakaan.
Dengan berfungsi sebagai balai pelatihan, perpustakaan tidak lagi sekadar tempat membaca tapi juga menjadi wahana untuk memberdayakan masyarakat sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Alhasil, perpustakaan jadi memiliki peran sebagai alat perekayasa ekonomi.
Sebab, terciptanya lapangan pekerjaan identik dengan terciptanya penghasilan (income generation) bagi masyarakat, yang pada gilirannya mendongkrak daya beli serta melesatkan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Kembang-Kempis
Sayangnya, memang, bukan itu yang terjadi sekarang. Kondisi perpustakaan di negeri kita masih jauh dari ideal. Betapa tidak, bahkan perpustakaan dengan dokumentasi rapi seperti Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin kembang-kempis dan terancam habis riwayatnya.
Kemudian, hanya ada segelintir perpustakaan umum pemerintah dan swasta yang buka setiap hari (termasuk Sabtu-Minggu) atau hingga malam hari.
Belum lagi, jika kita melihat kondisi buku-buku di mayoritas perpustakaan kita. Jauh dari lengkap dan menyedihkan! Artinya, dengan kondisi sedemikian rupa, jangankan menjadi balai keterampilan hidup yang mampu memberdayakan perekonomian, berfungsi sebagai tempat membaca yang nyaman pun masihlah jauh panggang dari api.
Berdasarkan kondisi di atas, jelas dunia perpustakaan kita saat ini tak akan mampu menjalankan fungsi pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat secara optimal. Karena itu, peran pemerintah - sebagai organ utama yang diberikan mandat untuk mensejahterakan bangsa - untuk mendorong peran perpustakaan lewat politik penganggaran dan kemitraan dengan pihak swasta yang berkepentingan menjadi suatu keniscayaan. Sebab, perpustakaan jelas merupakan wahana strategis dan cerdas bagi pemerintah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas. Semoga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar