Selasa, 29 Januari 2013

Pertaruhan Bangsa dan Ijtihad RSBI


Pertaruhan Bangsa dan Ijtihad RSBI
Sukemi ;  Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 28 Januari 2013

Lihat Tulisan Sukemi yang dimuat di SINDO 22 Januari 2013 http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/ijtihad-rsbi.html



SIDANG Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1), telah mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Pendidikan ke MK. Putusan MK itu menghapus dasar hukum sekolah negeri berlabel internasional (rintisan sekolah bertaraf internasional/RSBI).

Dasar hukum yang terdapat dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 50 ayat 3, secara lengkap berbunyi, `Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional'.

Dasar hukum itu pulalah yang kemudian melahirkan Permendiknas No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Bagi pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi dan menghormati putusan MK tersebut, sebagai lembaga yang memang bertugas melakukan judicial review terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Itu sebabnya Mendikbud Mohammad Nuh, dalam kesempatan pertama menanggapi putusan itu, menyatakan pihaknya akan patuh dan menghormati apa yang telah diputuskan MK.

Tentu dalam perjalanannya, penghormatan dan kepatuhan dalam menjalankan keputusan itu harus dipilah dan dipilih. Persoalan pendidikan bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan atau mematikan sakelar listrik on-off.

Itu sebabnya MK pun sepakat keputusan terkait dengan penghapusan RSBI dilakukan secara bertahap. Dalam bahasa lugas Mendikbud menyatakan RSBI tetap berjalan hingga berakhirnya semester ini. Apalagi dalam kalimat lain dinyatakan, RSBI bukan ideologi terlarang yang harus serta-merta dienyahkan.

Tentu apa yang disampaikan Mendikbud bukan dalam kapasitas pembangkangan, sebagaimana disampaikan segelintir orang. Itu lebih kepada upaya memikirkan keberlangsungan sebuah proses pendidikan yang memang tengah berjalan. Apalagi diyakini, RSBI ialah sebuah kebijakan yang tidak hadir dan berdiri sendiri sehingga pemerintah harus mencarikan solusi terbaik dan tidak sekadar menutup.

Tulisan berikut ini ingin menyampaikan duduk perkara terhadap pilihan kenapa pemerintah (Kemendikbud) mengambil langkah transisi (bertahap) di dalam melaksanakan putusan MK.

Memang persoalannya sudah selesai ketika Mendikbud dan Ketua MK menyampaikan pernyataan bersama tentang masa transisi untuk menjalankan putusan MK itu. Itu artinya pemimpin MK pun memahami kondisi riil di dunia pendidikan, utamanya di RSBI, yang telah diputuskan bertentangan dengan konstitusi dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.

Sebuah Cita-Cita

Tentu tulisan ini tidak hendak membela atau menyebabkan pembatalan putusan MK tersebut, tapi lebih kepada ijtihad tentang RSBI. Berangkatnya dari pemikiran sederhana bahwa orang boleh memberi penafsiran terhadap lahirnya sebuah UU, sama seperti ketika ulama atau kiai memberi penafsiran terhadap sebuah firman Allah SWT. Bisa jadi ulama atau kiai satu dengan lainnya berbeda dalam memberi pemahaman.

Dengan menggunakan cara pandang itu, harus pula dipahami bahwa lahirnya UU No 20 Tahun 2003, yang di dalamnya memuat sebuah cita-cita luhur agar bangsa ini memiliki lembaga pendidikan bertaraf internasional, ditampung dalam Pasal 50 ayat 3. Dalam perjalanannya, karena memerlukan proses dan tidak bisa sebuah keinginan luhur itu dicapai dalam waktu singkat, dilakukanlah rintisan dalam bentuk RSBI.

Keinginan itu dapat dipahami. Dalam suasana awal-awal reformasi, bangsa ini berada dalam keterpurukan yang sangat akibat dampak krisis global dan krisis multidimensional saat itu sehingga wajar jika muncul cita-cita tersebut, yang kemudian muncul dan dibahasakan dalam sebuah ayat pada UU Sisdiknas.

Pertanyaannya, apakah tidak boleh bangsa ini memiliki cita-cita luhur, dengan sekolah nya yang bertaraf internasional? Apa kah konstitusi kita EBET melarang bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju lebih dahulu? 

Jawabnya tentu tidak. Cita-cita kemerdekaan kita jelas dalam konstitusi. Tekad kita agar bisa maju bersamasama bangsa lain, yang saat itu sudah merdeka, sudah lebih maju, yang dalam UU Sisdiknas diidealisasikan sebagai bentuk cita-cita bertaraf internasional.

Lalu di mana kesalahan RSBI? Tidak ada yang salah jika pola pikirnya seperti itu sehingga sebenarnya tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun harus diakui, dalam praktiknyalah kesalahan RSBI itu muncul sehingga memunculkan diskriminasi, keterbatasan masyarakat tidak mampu dalam mengakses RSBI, pungutan, dan lainnya.

Persoalannya, jika praktiknya yang bermasalah, mestinya praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma UU. Dalam bahasa Mendkibud, norma tidak bisa disandingkan dengan praksis sehingga putusan MK terhadap RSBI lebih menekankan UU sebagai realitas, padahal UU harus ditempatkan sebagai idealitas.
Itu pulalah mungkin `ijtihad' yang dijalankan hakim MK Achmad Sodiki, satu dari sembilan hakim di MK, yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) ketika memutuskan perkara RSBI.

Konsistensi terhadap putusan MK selama inilah yang dipegang Sodiki, sebab ia 
`berijtihad' bahwa kesalahan dalam praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma UU. Ada delapan putusan MK sejak 2009-2012 yang cara berpikirnya seperti itu.

Hakim Sodiki menilai tidak ada kata-kata dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai bahwa pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan liberaisasi, diskriminasi, dan kastanisasi pendidikan, serta menghilangkan jati diri bangsa. Apa yang dikemukakan sebagai keberatan oleh para pemohon ialah gejala gejala dalam dunia praktik pada sebagian penyelenggaraan sekolah yang bertaraf inter nasional, bu kan normanya yang mengan dung arti libe ralisasi atau ralisasi atau diskrimi nasi (Gatra, 23/1).

Pada titik itulah hakim Sodiki --meminjam istilah Andi Irmanputra Sidin--sedang mengingatkan MK untuk melihat UU sebagai idealitas. Jika penerapan di lapangan buruk, bukan berarti normanya juga buruk.

Taruhan Kualitas

Tulisan ini tentu bukan sedang `menggugat' keputusan delapan hakim MK. Ini sebagai sebuah diskursus intelektual yang dalam bahasa agama disebut sebagai ijtihad, yang jika salah sekalipun tetap dapat pahala satu di hadapan Yang Mahakuasa. Apalagi disadari, sebagai manusia kita tidak lepas dari sifat khilaf.

Ke depan kita berharap yang menjadi fokus dan perhatian Kemendikbud ialah bagaimana caranya, meski tanpa embel-embel RSBI atau SBI, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dan lulusannya tetap berjalan karena kualitas bangsa menjadi taruhan.

Itu sebabnya wacana memanfaatkan dana yang selama ini sudah diputuskan pada APBN dalam DIPA RSBI untuk digunakan bagi peningkatan mutu sekolah melalui cara hibah kompetisi, seperti selama ini dilakukan untuk perguruan tinggi, perlu didukung.

Mekanismenya memang perlu disiapkan dan secara transparan harus dikomunikasikan kepada semua satuan sekolah sehingga tidak ada lagi anggapan terjadi diskriminasi sebagaimana dalam praktik RSBI. Kita juga berharap upaya Kemendikbud untuk dalam berkoordinasi, baik dengan DPR maupun Kementerian Keuangan, terkait dengan revisi penggunaan anggaran, dalam waktu yang tidak terlalu lama tidak menemukan kendala.

Ke depan, taruhan kualitas pada satuan pendidikan di berbagai jenjang menjadi sebuah keniscayaan mengingat salah satu tolok ukur keberhasilan kita yang bisa dilihat dalam hasil Trends In International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang diselenggarakan International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, AS, berada di peringkat 40 untuk bidang sains dan peringkat 38 untuk matematika dari 42 negara.

Fakta tersebut harus dijadikan sebagai salah satu pemicu untuk berupaya terus meningkatkan mutu dan kualitas dunia pendidikan kita. Sebagaimana dinyatakan Mendikbud, ada atau tidak ada RSBI/SBI, komitmen Kemendikbud untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan pendidikan yang bermutu pada semua satuan dan jenjang pendidikan. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar