Kamis, 31 Januari 2013

Republik yang Tersandera


Republik yang Tersandera
Agus Hernawan ;  Pernah Studi Advocacy di SIT-Vermont, Amerika Serikat
KOMPAS, 31 Januari 2013

  
If you repeat a lie often enough, it becomes politics
Ungkapan sinis di atas tampaknya paling tepat dan mewakili opini publik sepanjang 2012. Publik kecewa terhadap segala kebohongan dan prestasi buruk para politisi kita. Baik di pusat maupun daerah, masyarakat menyaksikan semua tingkah laku yang tidak pantas dalam pemberitaan media.
Kepercayaan publik terjun bebas ke titik terendah. Advokasi berbagai kasus pun terpaksa dilakukan secara swadaya melalui situs jejaring sosial, meninggalkan ”rumah wakil rakyat” yang sudah menjadi pasar jual-beli kepentingan kaum tebar pesona.
Kultur kekuasaan politik yang dibidani demokrasi justru menjadi sumber resesi demokrasi. Ia menganga sebagai lubang hitam dalam kehidupan kebangsaan. Di daerah, kekuasaan politik menjadi cara untuk merampok kekayaan daerah.
Sementara itu, di tingkat nasional, kekuasaan politik menjadi ajang pelembagaan dinasti politik. Kekuasaan politik makin jauh dari pemaknaan modalitas keadaban dan kebajikan kepada publik.
Untuk kepemimpinan nasional, opini publik tidak jauh beda. Perhitungan kualitatif pada hasil survei sejumlah lembaga survei yang dirilis tahun lalu, seperti CSIS (Februari 2012), Soegeng Sarjadi Syndicate (Juni 2012), Saiful Mujani Research & Consulting (Juli, 2012), Indonesia Network Election Survey (19 November 2012), Lembaga Survei Indonesia (28 November 2012) menegaskan hal itu.
Sebanyak 25,2 persen menginginkan pemimpin yang jujur, 22,1 persen memilih pemimpin yang tegas, 20,3 persen pada kapabilitas kepemimpinan, 14,8 persen pada pemimpin yang bersih dan tak pernah terlibat KKN, 11,1 persen menginginkan pemimpin yang dapat dipercaya, 2,3 persen memilih pemimpin tidak pernah terlibat kriminal, 1,6 persen pada pemimpin yang prorakyat, dan 1,4 persen pada pemimpin yang cerdas, serta 1,2 persen memilih pemimpin yang mengedepankan pluralisme.
Preferensi mayoritas ialah lahirnya pemimpin yang jujur, bersih, dan dapat dipercaya. Inilah harapan dan impian banyak orang di 2014.
Kultur Kekuasaan Politik
Nelson Mandela, dalam Long Walk to Freedom, menuliskan, ”A leader is like a shepherd. He stays behind the flock”. Konsep kepemimpinan yang disebut leading from behind ini digali Mandela dari khazanah kultur Afrika tentang bagaimana pemimpin itu seharusnya. Dalam praktik, konsep leading from behind ini menjadi kerangka kepemimpinan transformatif dan emansipatif di banyak negara, tidak terkecuali Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Obama.
Di Indonesia, kerangka kepemimpinan masih elitis dan eksklusif. Kekuasaan politik konstitusional yang dilahirkan elektoral supermahal sejauh ini belum berdampak makro pada perbaikan kualitas kehidupan rakyat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mestinya jadi acuan standar tata kelola pemerintahan, termasuk pengawasan oleh legislatif, hanya lembar regulasi mati. Pemenuhan pelayanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi, dan manajemen limbah, dinomorsekiankan.
Yang lebih dikejar ialah arus masuk investasi lewat strategi konversi lahan produktif dan menyepak petani mandiri untuk menjadi stok buruh murah yang berlimpah. Orientasi jelas bukan untuk distribusi keadilan ekonomi, melainkan konsentrasi akumulasi kapital di genggaman sekelompok orang.
Begitupun, aplikasi Fakta Integritas yang dikembangkan oleh lembaga Transparency International pada tahun 1990-an yang dikuatkan oleh Keppres No 80/2003 sama sekali tidak punya nyawa. Aplikasi Fakta Integritas sebatas di atas kertas. Di sejumlah daerah, Fakta Integritas justru dimusuhi karena menuntut transparansi kontrak-kontrak pemerintah, terutama soal pengadaan barang dan jasa, privatisasi, lelang bagi lisensi ataupun konsesi.


1 komentar: