Senin, 28 Januari 2013

Seleb Narkoba, Amnesia Kita


Seleb Narkoba, Amnesia Kita
Reza Indragiri Amriel ;  Akademikus Psikologi Forensik,
Anggota Asosiasi Psikologi Islami
JAWA POS, 28 Januari 2013



BELASAN orang diciduk BNN. Sebagian adalah selebriti yang tengah berada di puncak ketenaran mereka. Bagi saya, peristiwa tersebut menambah kuat sinisme saya terhadap dunia selebriti: modal lahiriah memesona, meskipun bakat akting maupun bakat nyanyi seadanya, terbukti menjadi aset utama untuk menjadi pujaan kelas atas. Dan setelah status ''orang ngetop'' sampai dalam genggaman, perilaku tak senonoh, terutama seks di luar kehalalan nikah dan pemakaian narkoba, diadopsi sebagai gaya hidup.

Ada dua unsur yang lazim muncul pada penyalah guna narkoba, yaitu unsur pendorong dan unsur penarik. Unsur pendorong adalah desakan kelompok bahwa status selebriti hanya bisa diperoleh sempurna jika individu menampilkan perilaku yang serupa dengan anggota-anggota lain dalam kelompok tersebut. Jadi, dengan asumsi bahwa narkoba sudah telanjur menjadi subkultur dalam dunia selebriti, konsumsi narkoba merupakan alat ''pengabsah'' bagi siapa pun yang masuk ke dunia tersebut.

Pada saat yang sama, juga ada unsur penarik. Di sini, tekanan kelompok deras tak tertolak karena individu sendiri tidak mempunyai ketangguhan (resiliensi) memadai untuk mengantisipasinya. Ketangguhan dimaksud adalah keterampilan sosial berupa perilaku asertif, yaitu kesiapan untuk berkata ''tidak'' terhadap unsur pendorong di atas tadi. Bungkamnya mulut selebriti, bahkan kesengajaan selebriti untuk menjajal narkoba, merupakan strategi tak sehat agar dia tetap bisa diterima oleh rekan-rekan seprofesinya.

Tak kunjung menurunnya statistik penyalahgunaan narkoba, termasuk berulangnya operasi penangkapan penyalah guna narkoba dari kalangan selebriti, memperkuat keyakinan saya bahwa kebijakan diskriminasi positif yang diterapkan pemerintah terhadap penyalah guna narkoba adalah kebijakan yang keliru!

Beberapa waktu belakangan ini penanganan hukum terhadap penyalah guna narkoba berbeda dengan perlakuan terhadap pengedar narkoba. Pengedar narkoba dikenai pemidanaan yang punitive (menghukum, ''menyakiti''), sedangkan penylah guna narkoba dengan kriteria tertentu dipidana dengan edukatif.

Kebijakan macam itu, tampaknya, bertitik tolak dari pandangan bahwa penyalah guna narkoba adalah korban, berbeda dengan pengedar narkoba yang nyata-nyata pelaku kejahatan. Dengan perspektif sedemikian rupa, tidak tertutup kemungkinan bahwa penyalah guna akan didorong menjalani rehabilitasi ketimbang dikurung di dalam bui. 

Diskriminasi positif seperti itu, menurut saya, tidak tepat diberlakukan saat ini. Kebijakan tersebut bukannya mengirim pesan humanis agar penyalah guna segera menghentikan kebiasaan buruk mereka, namun justru dipersepsikan sebagai wujud ringannya ancaman sanksi bagi siapa pun yang menyalahgunakan narkoba. Tanggapan semacam itu tidak terlepas dari satu jenis bias kognitif yang memang menja­di kecenderungan banyak orang, yaitu anggapan bahwa ''saya mampu menghindari risiko'', ''saya bisa mengelak bahaya'', dan sejenisnya. Konkretnya, orang yang awalnya bersih dari narkoba kemudian berani mencicipi narkoba dalam porsi kecil karena dia yakin tidak akan mengalami ketergantungan (adiksi) dan mampu menghindari kejaran polisi.

Faktanya berawal dari penyepelean bahaya narkoba dan kompleksitas sosial yang melingkupinya, individu (termasuk selebriti), tak kuasa menahan godaan adiksi hingga akhirnya ditangkap polisi, atau terkapar mati.

Atas dasar itu, penting bagi otoritas terkait untuk membatalkan kebijakan diskriminasi positif bagi penyalah guna narkoba. Setidaknya, untuk masa sekarang, pesan perlawanan terhadap narkoba harus tunggal dan jelas. Yaitu, tak lain, narkoba adalah kejahatan luar biasa sehingga pemakai maupun penyalah guna diperlakukan setara sebagai kriminal tulen. Bahkan, karena para selebriti sedikit banyak menjadi panutan, status tersebut justru sepatutnya diacu hakim sebagai faktor pemberat hukuman.

Boikot Selebriti Jorok 

Tidak sebatas sanksi pemidanaan punitive oleh otoritas hukum, masyarakat juga seharusnya bisa mengambil prakarsa untuk memberikan hukuman ekstra kepada selebriti jorok. Ide dasarnya, sama dengan pemiskinan koruptor, adalah publik menahan diri untuk tidak memperkaya para selebriti kriminal. Boikot rencana pentas para selebriti tersebut, tidak membeli album rekaman mereka, dan tidak menonton program TV mereka merupakan contoh langkah sederhana yang bisa memberikan efek penghukuman besar kepada para selebriti sesat itu.

Asosiasi profesi yang menaungi para selebriti tersebut pun sudah sepantasnya mencabut status keanggotaan mereka. Kendati simpel, saya pesimis masyarakat sanggup menjatuhkan sanksi sosial seperti itu kepada para selebriti, termasuk selebriti penyalah guna narkoba. ''Kita'' memang menempatkan selebriti, khususnya artis, pada posisi istimewa. Sebagai ilustrasi, mari bandingkan respons ''kita'' terhadap Aa' Gym dan Ariel eks Peterpan. Aa' Gym berpoligami resmi, sedangkan Ariel meniduri istri orang dan menzinai anak orang. Namun, tanggapan publik justru jungkir balik. Aa' Gym, seperti dia kemukakan dalam sebuah wawancara televisi beberapa waktu silam, mengakui bahwa majelis yang dia ketuai mengalami guncangan. Bukan hanya satu dua jamaah yang meninggalkan pengajian Aa' Gym, betapapun pilihan hidup Aa' Gym adalah sesuatu yang terbenarkan. Sebaliknya, terhadap Ariel, pasca pemenjaraannya usai, dia kian dipuja-puja.

Realitas itulah yang membuat saya masygul. Hari-hari ini bisa saja banyak orang merutuk dan mengutuk para selebriti yang digerebek BNN pada Ahad kemarin. Tapi, beberapa bulan mendatang, seiring usainya proses hukum atas selebriti-selebriti jorok itu, tepuk histeris dan miliaran rupiah malah akan kembali ''kita'' persembahkan kepada mereka. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar