Kamis, 31 Januari 2013

Takluknya Hukum di Tangan Bandar


Takluknya Hukum di Tangan Bandar
Mariyadi Faqih ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Universitas Brawijaya
MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2013



“JIKA dalam diri seseorang masih memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), para penjahat akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya,“ demikian pernyataan Syafik A Hasan (2011) yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak gandrung dengan perburuan kesenangan seperti kepuasan instan.

Sayangnya, tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara ini yang lebih memilih dan menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan kepuasan sesaat, meski kepuasan sesaat itu jelas-jelas menyesatkan dan potensial menghancurleburkan diri dan orang lain.

Itu dapat terbaca dalam kasus keterperangkapan sejumlah artis atau selebritas terhadap penyalahgunaan narkoba. Mereka itu seperti tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narkoba sebagai `teror' yang mematikan dirinya. Dirinya seperti sudah menyerah pasrah dilucuti dan dijadikan objek mainan oleh para produsen dan distributor narkoba.

Para artis yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu tak ubahnya zombi (mayat hidup). Konsekuensi sebagai mayat hidup itu ialah menerima diperintah pihak-pihak yang menguasainya. Mereka kehilangan kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa dan tidak terbiasa melakukan penolakan saat para pebinis narkoba menguasai mereka. Konstruksi pikiran dan gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus atau doktrindoktrin jagat bisnis sesat yang dikonstruksikan pihak yang mencengkeramnya.

Para selebritas itu menjadi sangat gampang dicengkeram atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis narkoba lebih karena praktik `korupsi' moral profetik yang dilakukan oknum hakim yang juga menyerah, dan takluk di bawah kekuatan mafioso narkoba.
Karena yang dikuasai pebisnis narkoba ialah kekuatan utama di lini penegakan hukum (law enforcement), jelas akibatnya tentulah sangat fatal bagi keberlanjutan hidup bangsa. Bukan hanya norma yuridis, jagat peradilan, atau wilayah berlakunya hukum yang terdestruksi, melainkan juga konstruksi kehidupan masyarakat rusak di sanasini. Jaringan pebisnis narkoba menjadi kian liberal dan akseleratif.

Dosa Hakim

Terbukti, negeri ini semakin lama semakin nyaman bagi pebisnis narkoba. Mereka tak pernah jera karena para pengelola negeri ini masih saja gemar bermainmain dengan hukum. Beberapa tahun lalu, Indonesia cuma menjadi negara transit oleh sindikat internasional. Namun, label itu telah lama luntur dan l berubah wajah menjadi destib nasi penjualan.

Indonesia bahkan mulai dikenal sebagai sentra produksi narkoba itu. Narkoba dari mancanegara tiada henti membanjiri negeri ini. Ingat saja bagaimana Polda Metro Jaya menyita 351 kg sabu asal China, Mei 2012. Dua pekan berikutnya, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) mengamankan 1,5 juta pil ekstasi juga asal China. Setelah tiarap beberapa saat, gembong narkoba kembali menggila akhir-akhir ini. 

Pada Kamis (11/10), sebanyak 2,6 kg sabu dicoba diselundupkan di Bandara Internasional sional Lombok, tapi d i ga galkan aparat. Dua hari berselang, di tempat yang sama, giliran 3,7 kg hasyis atau olahan ganja dapat disita. Begitu juga 5 kg sabu yang hendak diselundupkan lewat Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah.

Kasus tersebut tidak bisa tidak kecuali menuntut pertanggungjawaban moral aparat penegak hukum (hakim). Hakim menanggung dosa yang tidak ringan terkait dengan maraknya bisnis narkoba dan berbagai bentuk dampak serius yang menyerang bangsa ini akibat distribusi narkoba. Selebritas yang makin banyak terlibat narkoba hanya menjadi contoh. Mereka menjadi contoh pembenaran bahwa pebisnis narkoba semakin sukses menjadikan negeri ini sebagai ‘zamrud khatulistiwanya’.

Dampak itulah yang sering tidak menjadi substansi cerdas dan empiriknya konsiderasi putusan hakim. Hakim barangkali hanya terfokus menjatuhkan vonis sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, dan tidak benarbenar mempertimbangkan sisi dampak yang terjadi di tengah masyarakat akibat putusan yang dijatuhkannya. Apa yang diputuskannya lebih condong pada kepentingan formalisme hukum dan hak asasi pelaku, serta perkoncoannya dengan pebisnis. Sementara itu, kepentingan publik terabaikan.

Gurita Jaringan

Praduga terhadap kinerja beberapa oknum hakim dan relasinya dengan sindikat narkoba itu setidaknya dapat dikaitkan dengan kondisi berikut; pertama, ditangkapnya seorang hakim saat sedang menjadi pecandu atau pengguna narkoba. Sangat disayangkan masyarakat, sosok yang diharapkan menjadi subjek hukum yang teguh menjalankan (menegakkan) norma-norma yuridis justru terlibat dalam perkara pidana yang pidana yang sedang menjadi musuh bersama di tengah masya rakat.

Kedua , `keberanian' hakim dalam menjatuhkan putusan yang meringankan atau menggagalkan putusan hukuman mati atas pelaku narkoba. Hukuman mati bagi pelaku narkoba itu sudah tepat seiring dengan kebijakan pemerintah yang memang sudah menetapkan pebisnis narkoba ialah musuh bersama yang wajib dihukum seberat-beratnya.

Faktanya pebisnis narkoba tidak bisa dianggap main-main oleh siapa pun, termasuk oleh hakim yang memeriksa atau memutus perkara narkoba.

Pebisnis narkoba merupakan salah satu rezim global yang mempunyai jaringan besar dan kuat untuk mengamankan, memperluas, dan melanggengkan bisnis mereka. Mereka tidak ingin jaringan bisnis sampai diputus, dilemahkan, atau dibuat kehilangan pasar strategisnya akibat ulah aparat penegak hukum.

Kuatnya pasar narkoba itu dapat terbaca dalam data BNN yang menunjukkan di negara ini, bisnis narkoba merupakan profesi `primadona'. Terbukti sebanyak 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011.

Profesi `primadona' itu semakin mendapatkan tempat akibat kinerja peradilan (hakim) yang bersedia menjadi zombi atau menyerah memperlakukan dirinya sebagai mesin mati yang dioperasikan pebisnis narkoba.

Para peneliti atas putusan hakim menyampaikan testimoni konklusi mereka, bahwa Indonesia sudah sampai taraf darurat narkoba. Sekitar 15 ribu warga setiap tahun mati percuma. Kita miris, tetapi lebih miris lagi lantaran pengelola negara ini justru terus larut dalam ketidakberdayaan (empowerless). Ketidakberdayaan itu dapat terbaca dengan gampang melalui kinerja hakim yang memanjakan pebisnis narkoba. Mereka membuat pebisnis itu masih berpeluang besar memperluas dan memperbesar jaringan.

Sebagaimana diungkap Subhan Hadi (2011), ketertaklukan aparat penegak hukum di tangan sindikat narkoba merupakan wujud kemenangan pebisnis narkoba. Narkoba tidak hanya mampu mengalahkan aparat atau membuat aparat penegak hukum kehilangan kecerdasan nurani dan intelektualitasnya, tetapi juga kehilangan sensitivitasnya terhadap kebutuhan bangsa ini atas kualitas moral generasi.

Ketertaklukan hakim untuk dimainkan sindikat (pebisnis) narkoba telah terbukti mengakibatkan jagat hukum mengalami centang-perenang atau sengkarut. Jagat hukum bisa dinilai oleh publik bukan sebagai lembaga pengayom dan penjaga keberlanjutan hidup manusia, tetapi dinilainya sebagai mesin-mesin pembunuh atau korporasi yang merestui penjagalan hak hidup masyarakat.

Hukum yang menurut filsuf Van Kant berorientasi memberikan kedamaian bagi manusia justru menjadi instrumen untuk menyebarkan atau merestui merajalelanya ‘teror’ lewat zat-zat adiktif. Ulah hakim agung yang menganulir vonis mati gembong narkotika (kasus Hanky Gunawan) tidak boleh ditiru dan dikembangkan hakim lainnya. Pebisnis narkoba itu telah secara sistematis dan masif melakukan pembunuhan terhadap generasi muda, termasuk secara tidak langsung menjadikan selebritas sebagai lahan pembantaian.

Idealnya hakim bisa memutus jaringan narkoba dengan cara menjaga konsistensi di lini penegakan hukum maksimal dan progresif terhadap berbagai keinginan terpidana atau narapidana, kecuali hakim itu memang telah menyerah dalam cengkeraman pebisnis narkoba itu. Jika hakim bermental demikian itu tidak berusaha menyembuhkan dirinya, ditakutkan negeri ini akan semakin mengabsolut untuk dijadikan lahan pemasaran utama para pebisnis narkoba, di samping keberadaan hakim tak lebih hanya menjadi aktor terjadinya penyebaran berbagai ragam penyakit yang menggerogoti dan mematikan setiap elemen bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar