Rabu, 27 Februari 2013

Badai Baru KPK


Badai Baru KPK
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara
dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KOMPAS, 27 Februari 2013


Dalam tiga bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi kian menunjukkan tajinya. Dengan derap langkah pasti, sejumlah kasus yang sangat kental berkelindan dengan pusaran pemegang kekuasaan politik ditingkatkan status hukumnya. Tak tanggung-tanggung, mereka yang kena sasar adalah tokoh paling sentral di sejumlah partai politik.
Dari rangkaian kasus-kasus besar (terkategori megaskandal) yang ditangani KPK, proses hukum indikasi korupsi kompleks olahraga terpadu di Bukit Hambalang dapat dikatakan yang paling jelas dan konkret kemajuannya. Dalam proses hukum kasus ini, KPK telah meningkatkan status hukum Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka.
Tidak hanya kedua tokoh sentral Partai Demokrat ini, endusan KPK di sekitar ”bau tengik” kongkalikong impor daging sapi menjadi berita menggemparkan. Dalam kasus ini, Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan sekaligus anggota Komisi I DPR RI, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap KPK. Dalam kejadian ini, Luthfi Hasan menjadi tokoh sentral partai politik pertama yang dijadikan tersangka, ditangkap dan langsung ditahan sang superbody.
Meski demikian, dalam capaian tersebut, KPK tengah menghadapi persoalan pelik, terutama terkait dengan tuduhan banyak pihak bahwa lembaga ini tidak independen. Paling tidak, tuduhan itu terbaca jelas setelah beredarnya atau bocornya dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum. Celakanya, dokumen sprindik itu beredar seperti menjadi rangkaian dengan jumpa pers Presiden Yudhoyono di Jeddah (5/2) yang memberi sinyal kepada KPK untuk segera menuntaskan kasus Hambalang.
Akankah penilaian tidak independen tersebut menjadi sebuah awal badai baru yang melanda KPK? Pertanyaan sederhana itu menjadi penting dikemukakan karena setiap gangguan hampir dapatdipastikan akan menguras pemikiran dan tenaga yang tidak sedikit. Banyak kalangan percaya, apabila badai baru di tengah perjalanan kapal KPK terjadi, agenda pemberantasan korupsi berpotensi memasuki krisis panjang nan melelahkan.
Serangan Eksternal
Dalam perjalanan lebih dari satu dasawarsa, tidak terbantahkan KPK merupakan lembaga penegak hukum yang paling banyak mendapat perlawanan. Penyebabnya sangat sederhana, KPK berhasil menjamah hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah penegakan hukum negeri ini, belum pernah ada lembaga yang berani ”mengusik” lembaga perwakilan, posisi eksekutif tertinggi di pusat dan daerah, penegak hukum, politisi, dan partai politik.
Karena itu, para penikmat uang haram yang selama ini tidak pernah terganggu oleh proses hukum berupaya secara sistematis menyerang KPK. Bahkan, sejumlah langkah yang diambil adalah dengan menggunakan jalur hukum. Misalnya, merujuk catatan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang telah 17 kali diuji. Jumlah itu membuktikan betapa intensifnya langkah melumpuhkan KPK memakai jalur hukum. Bahkan, dalam banyak kejadian, jalur hukum acap kali bersahutan dengan jalur politik.
Selain itu, serangan atas KPK banyak pula terjadi di antara sesama lembaga penegak hukum. Salah satu yang paling monumental adalah langkah kriminalisasi yang dilakukan atas pimpinan KPK. Ketika kejadian ini berlangsung, KPK seperti mengarungi lautan di tengah hantaman badai gelombang mahadahsyat. Cacatan tersebut bisa ditambah dengan resistensi institusi kepolisian dalam kasus suap proyek simulator SIM. Dalam kasus ini, kepolisian seperti hendak mempertontonkan ke masyarakat betapa hebatnya upaya melindungi korps lalu lintas kepolisian.
Dalam rangkaian kejadian itu, pepatah klasik ”sengsara membawa nikmat” seperti menemukan perwujudan yang sesungguhnya. Langkah sistemik tersebut tak hanya gagal menghentikan laju KPK, tetapi juga menghadirkan simpati dan dukungan masyarakat yang luar biasa. Bahkan, semua rangkaian serangan yang diarahkan ke KPK mampu membangun kesadaran baru, yakni pemberantasan korupsi tak mungkin dilaksanakan tanpa dukungan masif masyarakat. Sadar atau tidak, dukungan masyarakat itu pula yang menjelma menjadi napas baru KPK untuk terus bertahan di tengah gempuran ini.
Masalah Internal
Dibandingkan dengan rangkaian serangan di atas, persoalan yang dihadapi KPK sekarang jauh lebih rumit dan sangat tidak sederhana, yakni persoalan internal. Misalnya, dalam beberapa waktu terakhir, sering diberitakan hubungan yang tidak harmonis di antara pimpinan KPK. Bahkan, sering pula terdengar terjadinya pembelahan pandangan di antara pimpinan saat penuntasan kasus tertentu. Dalam hal ini, banyak pihak percaya, yang terjadi sesungguhnya bukan hubungan yang tak harmonis, melainkan lebih pada perbedaan pandangan melihat sebuah kasus.
Meski demikian, karena berita seperti ini sering hadir ke permukaan, hari demi hari amat mungkin mengubah pandangan banyak pihak terhadap pola hubungan antar-pimpinan. Dalam hal ini, KPK masih bisa membantah karena adanya ketentuan bahwa bangunan hubungan di antara pimpinan adalah kolektif-kolegial. Dengan ketentuan tersebut, tudingan perpecahan di antara pimpinan KPK sulit dilacak secara nyata di permukaan. Paling-paling masyarakat hanya bisa melacak dari penuntasan kasus yang berjalan lamban.
Persoalan paling rumit dan tidak sederhana di internal KPK, sepertinya, terwakili dengan munculnya dokumen sprindik Anas Urbaningrum. Sebagai orang yang percaya pada independensi KPK, saya tidak percaya penetapan status hukum Anas sebagai tersangka merupakan bentuk pelaksanaan isyarat Presiden Yudhoyono. Sebagai rangkaian dari proses hukum yang telah berlangsung panjang dan melelahkan, penetapan status Anas menjadi tersangka jauh lebih tepat disebut sebagai faktor kebetulan semata, bertemu pada waktu dan titik yang sama.
Meski demikian, tetap saja tidak mudah menjelaskan bocornya sprindik di tengah kisruh yang melanda Partai Demokrat. Ditambah lagi, dalam proses investigasi internal, kuat indikasi bahwa bocornya sprindik berasal dari internal KPK. Pada titik ini, badai baru yang tengah menghadang KPK adalah kelanjutan dari proses pengawasan internal. Kemungkinan penjatuhan sanksi bagi pembocor sprindik dapat menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi, dapat memberi kesan positif bahwa mekanisme internal KPK berfungsi dengan baik, tetapi di sisi lain hasilnya sangat mungkin dijadikan sebagai senjata untuk memukul balik KPK.
Karena itu, langkah yang harusnya dilakukan, KPK bekerja keras menuntaskan kasus hukum Anas Urbaningrum. Dengan cara begitu, hantaman badai baru yang mungkin muncul dari proses penegakan kode etik dapat dikurangi secara signifikan. Jika tidak, hantaman badai baru berpotensi menenggelamkan KPK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar