Minggu, 24 Februari 2013

Bahasa dan Kemandirian Bangsa


Bahasa dan Kemandirian Bangsa
Lukman Ajis Salendra Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia
SUARA KARYA, 23 Februari 2013


Selama ini bahasa Indonesia berada dalam hegemoni bahasa asing, terutama bahasa Inggris begitu kuat mengintervensi bahasa Indonesia. Sementara di satu sisi kondisi bahasa daerah seperti bahasa Sunda dalam keadaan megap-megap, bahkan tidak menutup kemungkinan tengah menuju ruang-ruang kepunahan.

Dalam konteks itu, fenomena remaja, muda-mudi pada tingkat pergaulannya cenderung merasa lebih bergengsi apabila berbahasa asing ketimbang menjadi pengguna bahasa Indonesia yang santun dan bermartabat. Sangat disayangkan, apabila bahasa Indonesia yang lahir, mengandungi cita-cita nasional dan perekat bangsa, pun bisa menuju sebuah kepunahan.

Kita pun tak dapat menyangkal bahwa hakikat bahasa itu dinamis akan terus menuju pada perkembangan dan perubahannya. Memang, sesuatu yang niscaya apabila bahasa pada hakikatnya dinamis akan selalu mengikuti arus perkembangan zaman dan peradaban umat manusia yang terus diciptakan sepanjang hayatnya.

Abdul Chaer, pakar bahasa (2003) mengatakan bahwa bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Artinya, manusia terikat dan terkait dengan bahasa, sedangkan dalam kehidupannya dalam konteks bermasyarakat tidak tetap dan selalu berubah. Maka, hal itu pulalah yang menjadikan bahasa tidak statis dan selalu dinamis.

Perubahan dalam bahasa dapat juga bukan terjadi berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat bahasa yang bersangkutan. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasanya lalu menggunakan bahasa lain.

Di Indonesia, kabarnya, telah banyak bahasa daerah yang telah ditinggalkan para penuturnya terutama dengan alasan sosial. Jika ini terjadi terus-menerus, maka pada saat suatu kelak banyak bahasa yang hanya berada dalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.

Keutuhan Bangsa

Masalah bahasa Indonesia dalam konteks keutuhan sebuah bangsa memang diperlukan selama orientasinya bukan 'politik citra' kekuasaan, melainkan penyadaran betapa pentingnya kita berada dalam bangunan sebuah bangsa yang harmonis sanggup menjauhkan diri dari unsur-unsur teroris. Kita dapat 'bebas aktif' bercita-cita mengekspresikan diri dan berkarya tanpa harus 'cas-cis-cus membabi-buta' menggunakan bahasa asing dan begitu pun tanpa harus rendah diri menggunakan bahasa daerah sebagai ranah bahasa ibu kita.

Membicarakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk membangun secara utuh sebuah bangsa adalah melihat bagaimana fungsi dan peran politik bahasa untuk mempersatukan suatu bangsa yang sebelumnya terpisah-pisah, baik oleh etnis, ras, sekat-sekat geografis, maupun agama, dan mereka masing-masing memiliki bahasa komunikasi yang berbeda-beda. Dan, selanjutnya adalah bagaimana bahasa Indonesia dapat ikut menjaga persatuan.

Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan di Pegangsaan Timur Jakarta pada Oktober 1928, pemakaian bahasa Indonesia terus meluas seirama dengan makin meluasnya kebangkitan pergerakan nasional untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini juga didukung makin banyaknya media massa (surat kabar) dan buku-buku (terutama buku sastra) yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Semoga dengan berbahasa Indonesia yang baik dan santun sebagai masyarakat komunitas dunia, kita menjadi bangsa yang 'independen', percaya diri dan bermartabat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar