Rabu, 27 Februari 2013

Bahasa Kamera Cinta Laura


Bahasa Kamera Cinta Laura
Rhenald Kasali  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 26 Februari 2013


TANPA kamera, selebriti akan berpakaian sama seperti Anda: tanpa make-up, rambut palsu, pakaian ciri ''khas'', dan tentu tanpa gaya bicara mereka yang biasa Anda lihat di layar kaca. Saat Barack Obama berkunjung ke Indonesia, sejumlah orang membandingkan bahasa Indonesia yang dia ucapkan dengan bahasa Indonesia selebriti remaja Cinta Laura. Di situs berita inilah.com (10 November 2010) saya menemukan komentar yang dikutip dari pengguna Twitter:

"Mendengar Obama bisa bahasa Indonesia membuat saya makin benci sama Cinta Laura," tulis akun Twitter Syzdasyz. Yang lain membuat lelucon jika Cinta Laura menjadi Obama. Mungkin Cinta Laura akan bilang 'Bhineyka Cunggal Ikya', tulis Nurri. "Bahasa Indonesia Obama tidak berlebihan, tetapi kok Cinta Laura berlebihan sekali ya?" tanya Eliazer.

Namun, benarkah Cinta Laura tidak mampu mengucapkan kata-kata dalam lafal bahasa Indonesia yang baik? Cara bicaranya yang unik ini bahkan menjadi pembahasan di salah satu blog. Yaitu: http://jerryhadiprojo.wordpress.com/2008/02/21/analisis-perilaku-dan-perkataan-cinta-laura/.

Dalam film layar lebar ternyata Cinta Laura bisa berbicara dalam bahasa Indonesia yang normal. Coba buka potongan film pada link di situs Youtube.com berikut ini (Cinderella Rp 156, Part 4/6), September 30, 2007: http://www.youtube.com/watchv=8S7RRYRbDac&feature=youtube_gdata_player. Seorang kamerawen televisi melaporkan, dalam percakapan biasa Cinta Laura ternyata berbicara dalam lafal bahasa biasa, normal-normal saja. Dia baru berubah saat kamerainfotainment menyalakan lampu-lampu sorot dan bertanya kepadanya.

Saat mendiskusikan topik camera branding, seorang follower saya (@Rhenald_Kasali) di Twitter, menulis begini: "Prof @Rhenald_Kasali saya pernah mkn, meja samping saya CinLau w/ her fam. Bicaranya biasa kok, wlo sskli ngmg Jerman ke bpknya & English."

Hidden Camera 

Demikianlah akting manusia dalam peradaban kamera. Saya yakin akting bukan hanya ada di kalangan artis. Tanpa kehadiran kamera di ruang parlemen, saya kira anggota-anggota perlemen yang terhormat tidak akan ber-''akting'' seperti layaknya pemain sinetron. Mereka tidak akan saling menunjuk jari, mengepalkan tangan, menggebrak-gebrak meja, atau menuding-nuding tidak santun. Buktinya, selesai sidang mereka bisa dengan mudah berangkulan dan menyatakan, ''Kami tak ada masalah kok!'' Dan, saat tertangkap tangan oleh KPK, publik terkejut: mereka yang berseteru di layar kaca saat sidang berlangsung ternyata bersahabat dalam menggarap proyek-proyek tertentu.

Demikian pula saya yakin Hotman Paris dan Ruhut Sitompul tak akan berbicara seperti tengah berkelahi. Sama seperti Anda. Ketika berfoto Anda yang jarang tersenyum bisa menjadi semringah dan anak-anak alay menjadi tampak gembira bergaya. Sedangkan direksi yang tengah difoto untuk company profile menegakkan dagunya agar tampak berwibawa.

Inilah dunia yang serbasalah. Tak ada kamera, orang bisa memeras tanpa alat bukti, uang negara dikuras koruptor, dan kejahatan sulit diungkap. Tapi, bila ada kamera manusia langsung berakting. Maka, tak heran kalau manusia umumnya lebih percaya pada hidden camera.

Sosiolog Erving Goffman mencatat kehidupan ini tak ubahnya "a never-ending play" yang menjadikan semua orang pemain sandiwara dengan berbagai peran. Dia membedakan panggung depan dengan panggung belakang. Namun, manusia modern senang menghabiskan waktu sehari-hari di panggung depan, menampilkan kemampuan dan peran secara terbuka: Perayaan perkawinan, memberikan penjelasan, memimpin, mengajar, mengemudi, melayani, dan seterusnya. Tetapi, siapa yang tidak letih terus-menerus berada di panggung depan? Goffman menyarankan agar pemain panggung sedia keluar secara berkala, kembali ke belakang panggung menjalani kehidupan normal.

"In these private areas, we don't have to act. We can be our real selves. We can also practice and prepare for our return to the front stage" - Erving Goffman.

Bila ini diteruskan, manusia yang berakting terus-menerus dapat menjadi aktor yang manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pibadi. Inilah yang disebutnya sebagai impression management. Coba buka video rekaman Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat memimpin rapat resmi dengan kepala Dinas PU Pemprov DKI. Di situ dia terkesan marah-marah saat menuntut agar biaya pembangunan infrastruktur dipangkas 30 persen.

Namun, di lain kesempatan, juga di Youtube.com kita membaca bahwa dirinya tidak benar-benar marah ketika itu. Menganalisis kedua video yang berbeda kesan ini mungkin Anda akan bingung. Tetapi, inilah peradaban kamera dan peradaban advanced dramaturgy. Semua pemimpin hanyalah ber-acting saat berada di panggung depan. Dalam studi tentang camera branding yang saya lakukan, kami menemukan bahwa kamera telah banyak digunakan untuk membentuk personaldan corporate brand. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar