Minggu, 24 Februari 2013

Kegagalan Realisasi Investasi


Kegagalan Realisasi Investasi
Tasroh Kabid Subkerja Sama Penanaman Modal BPMPP Pemkab Banyumas, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
SUARA MERDEKA, 23 Februari 2013


BADAN Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mulai mengurai akar persoalan gagal realisasi investasi (GRI) tahun 2013. Institusi itu mencatat tren peningkatan kegagalan realisasi investasi, terutama dari lanskap investasi padat karya manufaktur. Dari 103 izin prinsip investasi manufaktur yang diterbitkan BKPM pada 2012, hanya 45% yang benar-benar terealisasi, dalam arti investor mengucurkan modal dan berusaha secara nyata serta berkelanjutan (SM, 23/01/13).  

Artinya, sebagian besar investor masih berputar-putar pada tahapan letter of intent (LoI) atau memorandum of understanding (MoU), yang sekadar macan kertas investasi. Mereka belum sampai pada bentuk-bentuk kerja sama berkelanjutan dengan berbagai pihak di Indonesia.

Tapi baru pada tahapan investor manufaktur mengantongi izin prinsip investasi, pemerintah melalui BKPM sudah mulai menghitung sebagai nilai investasi. Bahkan pemerintah mencitrakan sebagai capaian kinerja investasi nasional. Pa­dahal penghitungan nilai investasi hanya bisa dilakukan setelah investor menja­lankan bisnis secara nyata, bukan pada tahap ia mengantongi izin prinsip.

Mendasarkan pada fakta itu, wajar bila banyak pihak, termasuk pemda se-Indonesia, tidak terlalu yakin pada potret capaian nilai investasi yang diterbitkan pemerintah pusat. Jangan-jangan angka dalam capaian itu sekadar pencitraan semu demi kepentingan politik terkait rezim berkuasa.  

Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi bah­kan menyatakan bahwa nilai investasi yang diklaim sebagai hasil kerja keras pemerintah kurang realistis lantaran peran, tugas, dan kewenangan pemerintah justru amat minim.

Apindo menyatakan kendati pemerintah rajin berkampanye mengenai investasi dengan aneka janji fasilitasi, faktanya banyak investor menghadapi sejumlah masalah serius terkait rencana usaha mereka. Janji atau slogan siap melayani investor dengan ikhlas, jujur, dan profesional (ungkapan khas pejabat terkait investasi) sering tidak konsisten dalam tataran praktik. Tahun ini, pemerintah melalui BKPM, menargetkan investasi Rp 390 triliun. Angka ini meningkat dibanding tahun 2011 yang sebesar Rp 240 trilun, dan tahun 2012 senilai Rp 283 triliun. Jika pemerintah bisa merealisasikan nilai investasi itu, khususnya dalam wujud investasi padat modal, bisa menghasilkan multiplier effect luar biasa, terutama penyerapan tenaga kerja serta agenda eradikasi pengangguran dan kemiskinan.

Operasional Investasi

Sayang, nilai investasi yang dilaporkan BPKM kadang masih bersifat abu-abu karena bersamaan dengan itu institusi tersebut belum bisa memastikan apakah nilai sebesar itu benar-benar untuk investasi  padat karya. Profesor Toru Yanagihara tahun 2012 dalam buku riset Emerging Global Investment mencatat beberapa biang kerok yang mengadang investor global merealisasikan investasi mereka di negara-negara dunia ketiga (miskin dan berkembang).

Pertama; bias informasi mengenai kejelasan investasi pada berbagai level birokrasi (pusat dan daerah). Pejabat pusat (kementerian/lembaga pemerintah) biasa mengatakan, ''Kita siap merealisasikan investasi sesuai dengan keinginan investor''. Faktanya, ketika investor mendatangi lokasi yang dijanjikan oleh pejabat pusat, respons pejabat daerah justru sebaliknya.

Kedua; masih ada watak birokrasi korup, kolutif. Jika ada investor besar yang benar-benar mampu merealisasikan investasi, hal itu lebih karena ia berhasil menjinakkan hasrat perburuan rente oleh pejabat pada berbagai level; dan bukan lantaran kejelasan sistem berinvestasi. Ketiga; keminiman database konflik sosial dan lahan. Hal ini terlihat ketika pemerintah menyatakan lahan itu tak ber­masalah, ternyata menyisakan persoalan dan mengancam eksistensi investor.

Pemerintah pusat juga harus mempunyai beberapa strategi guna memberangus biang kerok kegagalan realisasi investasi. Pertama; semua level birokrasi harus meramu database informasi investasi sedetail mungkin, khususnya lahan. Jika faktanya lahan itu masih dalam konflik, pemerintah harus jujur sekaligus siap dan cepat menyelesaikan masalah itu sebelum penanam modal merealisasikan investasinya.

Kedua; membangun kolaborasi lintas stakeholders, semisal menggalang dukungan, partisipasi, dan deliberasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk dengan ormas, LSM, partai politik, ataupun kalangan eksternal birokrasi lain. Strategi ini untuk memangkas potensi konflik sosial yang mungkin timbul.

Ketiga; mengawasi hingga tataran operasional investasi. Ketika semua persyaratan administrasi investasi terpenuhi, jajaran birokrasi jangan buru-buru santai, apalagi menunggu setoran dari investor. Sebaliknya, birokrasi harus bisa memastikan bahwa operasionalinvestor benar-benar bisa berjalan sesuai dengan aturan legal.

Dalam konteks ini, pemerintah, dari pusat hingga daerah, harus bersama-sama mengawasi investasi secara berkelanjutan. Sinergitas ini tidak hanya membantu keamanan, kenyamanan, dan ketertiban berinvestasi, tetapi juga akan mempersempit ruang gelap mafia investasi beroperasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar