Rabu, 27 Februari 2013

Keterpasungan Perkoperasian


Keterpasungan Perkoperasian
Abdul Sulhadi  Mantan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 26 Februari 2013


SETELAH lama menunggu, lebih dari 12 tahun, penantian komunitas koperasi sampai di ujung. Rancangan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang digulirkan ke Senayan sejak 2000 akhirnya disahkan pada Oktober 2012, menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 

Namun apa lacur, penantian mereka yang cukup lama itu, ujung-ujungnya harus dikompensasi oleh perasaan skeptis bercampur kecewa. Situasi paradoks ini antara lain terungkap dalam proses sosialisasi yang kini dilakukan pemerintah untuk lebih memasyarakatkan regulasi baru mengenai perkoperasian. 

Mereka yang terlanjur menaruh ekspektasi kelewat tinggi, sulit menyembunyikan kegundahan. Ada perasaan prihatin dengan sejumlah kontradiksi seputar regulasi itu, yang dikhawatirkan memudarkan nilai-nilai koperasi. Bahkan ada kalangan yang tengah merencanakan langkah konstitusional mengajukan judicial review ke MK (SM, 08/02/13)

Risiko Kongkalikong

Persoalan kontradiktif itu diawali dari pergeseran mendasar terhadap prinsip demokrasi. Regulasi lama meletakkan prinsip demokrasi pada aspek pengelolaan (Pasal 5 Ayat 1 Butir b), dan regulasi baru telah menggeser prinsip demokrasi ke ranah pengawasan (Pasal 6 Ayat 1 Butir b). Tak bisa dimungkiri, peran pengawas makin dominan dalam pengelolaan. 

Pengawas berperan sejak pengusulan calon pengurus melalui RAT (Pasal 50 Ayat (1), beserta penetapan gaji dan tunjangan pengurus (Pasal 57 Ayat 2 ). Pengawas juga memiliki kewenangan menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru, mendapatkan laporan berkala tentang perkembangan usaha dan kinerja koperasi dari pengurus, serta dapat memberhentikan pengurus untuk sementara waktu (Pasal 50 Ayat 2 ). 

Kewenangan yang menumpuk di tangan pengawas dikhawatirkan mereduksi peran RAT yang merupakan forum pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi (Pasal 32). Situasi demikian juga berisiko memunculkan kongkalikong antara pengawas dan pengurus, yang berimplikasi pada kondisi pengelolaan usaha koperasi yang tidak sehat.

Kekaburan prinsip demokrasi juga menimpa kepentingan anggota koperasi. Sikap yang pada awalnya dengan santun dan terbuka mempersilakan masyarakat secara sukarela menjadi anggota (Pasal 6, ayat 1, butir a), tiba-tiba menjerat anggota dengan keharusan membeli sertifikat modal koperasi atau SMK (lPasal 68 Ayat 1). 

Konsep SMK yang mirip saham ini, lazimnya diperjualbelikan sesuai mekanisme pasar. Tapi keharusan membeli SMK bagi anggota jelas merupakan pemaksaan, jauh dari prinsip demokratis yang selama ini menjadi jati diri koperasi. Pada suatu saat kepentingan koperasi juga bisa ''tergadai'' oleh kehadiran unsur nonanggota dalam kepengurusan. Pasal 55 Ayat 1 memang mengamanatkan bahwa pengurus dipilih dari anggota atau nonanggota. 

Kehadiran pengurus dari unsur nonanggota pada dasarnya bisa diterima, apalagi bila bertujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas. Namun ketiadaan pembatasan secara jelas mengenai komposisi dan peran anggota-nonanggota dalam kepengurusan akan mudah menimbulkan kerancuan. 

Pada suatu saat bukannya tidak mungkin, sebagian besar, atau bahkan seluruh pengurus, terdiri atas unsur nonanggota. Realitas ini mengakibatkan keterpasungan kepentingan anggota sehingga adagium yang selama ini terpateri bahwa prinsip koperasi: dari, oleh, dan untuk anggota akan memudar di tengah hiruk-pikuk kekuatan para pemodal. 

Materi Usang

Memasuki era pasar global, persaingan yang dihadapi koperasi bukan saja menyangkut aspek usaha melainkan juga kesiapan SDM pengelola. Undang-Undang tentang Perkoperasian memelopori perlunya standar kompetensi bagi pengurus dan pengawas (Pasal 92 Ayat 2) namun semangat menciptakan SDM yang kompeten kurang didukung instrumen yang sesuai. 

Instrumen penunjang tersebut adalah standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) bagi pengelola koperasi jasa keuangan yang diterbitkan melalui Keputusan Menakertrans Nomor 133/Men/III/2007. Setelah 5 tahun, standar itu mestinya diperbaiki melalui konvensi nasional karena sejumlah materi penting sudah kedaluwarsa. 

Kalau proses ini tak segera dilakukan, SDM koperasi yang memerlukan pelatihan berbasis kompetensi akan menerima materi usang, yang tak relevan dengan perkembangan terkini. Tak usah jauh-jauh menyongsong pasar global tahun 2020, mulai 2015 tenaga kerja asing pada sektor jasa keuangan sudah bisa masuk ke Indonesia, seiring dengan pemberlakuan Pakta Perdangan Bebas ASEAN. 

Perlu pula mengantisipasi hasil KTT Ke-21 ASEAN di Phnom Penh pada  November 2012; yang melahirkan Pakta Perdagangan Bebas ASEAN dengan 6 negara mitra atau ASEAN Plus 6 (China, Korsel, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India). Melalui pakta tersebut, pekerja asing dari negara mitra, terutama India dan China, antusias mengincar sektor jasa di ASEAN, termasuk di Indonesia. 

Padahal ASEAN Plus 6 akan dilaksanakan tahun 2016. Apakah SDM pengelola koperasi Indonesia telah siap atau hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar