Kamis, 28 Februari 2013

Methylone, ATS, dan Penanganannya


Methylone, ATS, dan Penanganannya
Andhika Chrisnayudhanto Pengamat Masalah Narkoba
MEDIA INDONESIA, 27 Februari 2013


MENARIK menyimak berita akhir akhir ini mengenai penahanan artis Raffi Ahmad atas kepemilikan narkoba, utamanya yang terkait dengan zat psikotropika baru yang disebut methylone (3,4-methylenedioxy-N-methylcathinone). Secara hukum nasional, methylone bukan golongan narkotika yang terdaftar dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika. Namun, para ahli menyebutkan zat tersebut merupakan turunan dari metakatinona yang masuk daftar golongan I narkotika. Selain itu, methylone merupakan stimulan yang secara analogi struktural memiliki efek yang sama dengan MDMA (3,4-methylenedioxyN-methamphetamine) atau ekstasi. Sejumlah negara seperti AS, Inggris, dan Selandia Baru menggolongkan methylone sebagai obat terlarang.

Bagaimana dengan di Indonesia mengingat methylone bukan `obat' yang terdaftar dalam golongan I narkotika. Pencantuman methylone dalam UU No 35/2009 hanya bisa dilakukan melalui keputusan menteri kesehatan (pasal 6 ayat 3).
Jika memang sudah ada keputusan itu, apakah berlaku `retroaktif ' mengingat kejahatan dilakukan saat masih terdapat kekosongan hukum?

Bila melihat kasus yang terjadi pada Raffi Ahmad, di satu sisi, penanganan kasus bersifat overkill dalam perkara yang terdapat `kekosongan hukum'. Asumsi itu berdasarkan pengamatan terhadap berita yang terkait dengan kasus Raffi; pada awalnya Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan zat baru yang berasal dari tanaman khat yang secara hukum internasional dan di Indonesia tidak diatur. Kemudian disimpulkan bahwa zat yang ditemukan ialah methylone yang merupakan turunan dari metakatinona dan bekerja sebagai stimulan seperti ekstasi. Itu dilanjutkan dengan pemusnahan massal terhadap tanaman khat di Cisarua, Jawa Barat.

Sikap Reaktif

Berita pun akhirnya berkembang sampai tahap memasukkan Raffi ke pusat rehabilitasi BNN mengingat zat dalam methylone memiliki sifat adiktif. Rentetan peristiwa itu menunjukkan ketidaksiapan aparat hukum dalam menangani kasus narkotika jenis baru dan penindakan aparat hukum yang bersifat `reaktif'.

Di sisi lain, terdapat masalah yang lebih urgen dan memprihatinkan ketimbang penanganan zat baru seperti methylone dan memerlukan penanganan secara komprehensif, yakni masalah amphetamine-type stimulants (ATS). Di Indonesia ATS lebih dikenal dengan jenis narkoba dalam bentuk pil-pil ekstasi (MDMA) dan sabu (methamphetamine).

Hal itu berdasarkan pengamatan bahwa selama ini penanganan ATS belum maksimal. Salah satu argumennya ialah kenyataan bahwa dalam kurun waktu 20 tahunan, Indonesia telah menjadi negara produsen untuk ATS (ekstasi dan sabu). Padahal sejak 1997, sudah terdapat dua produk hukum yang melarang peredaran ATS jenis ekstasi dan sabu, yang pada 1990-an Indonesia masih menjadi negara tujuan untuk jenis ATS dimaksud. Lebih jauh lagi, Dewan Pengawasan Narkoba Internasional (INCB) berdasarkan laporan 2011 menyebutkan skala produksi gelap `ekstasi' di Indonesia menimbulkan keprihatan menjadi sumber utama narkoba tersebut di wilayah regional.

Baru-baru ini Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) bersama dengan BNN mengeluarkan laporan Indonesia: Situation Assessment on Amphetamine-Type Stimulants dari Global SMART Programme (Februari, 2013) yang intinya menyebutkan meluasnya perdagangan gelap dan keuntungan dari ATS merupakan ancaman yang signifikan terhadap keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Secara singkat, laporan menggambarkan: a) Dari jum lah 3,7­4,7 juta (2011) pengguna narkoba, 1,2 juta menggunakan sabu dan 950 ribu menggunakan ekstasi; b) Sejak 2006, sejumlah 135 laboratorium gelap ATS telah terbongkar termasuk 25 laboratorium pada 2011. Di tahun-tahun belakangan ini muncul laboratorium kecil (kitchen-type) ATS; c) Volume terbesar prekursor kimia guna memproduksi gelap ATS berasal dari India, China (termasuk Hong Kong dan Taiwan), dan Amerika Serikat; d) Jumlah kasus narkoba terkait dengan ekstasi dan sabu terus meningkat. Pada 2011 jumlah kasus terkait dengan sabu mencakup 62% dari seluruh kejahatan narkoba. Sebanyak 77% perempuan terkait dengan kejahatan narkoba, pada 2011 terkait dengan shabu; e) Pada 2011 pengobatan akibat dari penggunaan ATS sebesar 46%, 29% untuk sabu dan 17% untuk ekstasi; f) Harga pasaran per tahunan untuk sabu Rp9 triliun­Rp10 triliun dan esktasi Rp2,2 triliun.

Pengawasan Prekursor

Data-data tersebut tidak lain menunjukkan betapa besar permasalahan ATS di Indonesia, utamanya terkait dengan sabu. Dalam hal ini ada tiga hal yang cukup penting untuk mendapat perhatian. Pertama, meningkatnya jumlah pasokan ATS dengan lokasi laboratorium kecil yang berdekatan dengan konsumen.

Kedua, sebagai negara produsen, upaya untuk mencegah masuknya prekursor kimia untuk memproduksi ATS belum maksimal. Ketiga, pengobatan dan rehabilitasi terhadap pengguna ATS yang meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun menunjukkan keperluan agar unsur kesehatan memainkan peran yang sama pentingnya dalam upaya pemberantasan narkoba.

Untuk menanggulangi permasalahan ATS itu, pengamat menyarankan memperkuat rezim pengawasan prekursor. Dalam hal ini, UU No 35/2009 telah membuka upaya untuk pemidanaan diversi prekursor, tetapi perlu pembentukan peraturan pemerintah (PP) dalam kerangka pengawasan prekursor. Sudah saatnya PP tersebut dibentuk guna memperkuat koordinasi antara BNN, kepolisian, Kemenkes, Kemendag, Kemenprin, dan Badan POM.

Selama ini, ada kemungkinan terjadi `kebocoran' dalam pengawasan prekursor mengingat banyaknya pihak yang terlibat dalam pengawasan prekursor tanpa koordinasi yang kuat. Upaya pemberantasan peredaran gelap ATS tidak hanya menggunakan teknik-teknik penyelidikan kepolisian yang bersifat follow the criminal, tapi perlu ditambah dengan upaya follow the money sebagaimana tertuang dalam UU No 35/2009 serta melalui mekanisme rezim antipencucian uang yang sudah ada.

Meningkatnya jumlah pengguna ATS yang menjalani pengobatan dan rehabilitasi perlu didukung infrastruktur yang memadai, berdasarkan pendekatan scientific based evidence serta merupakan suatu mekanisme drug demand reduction yang bersifat menyeluruh mulai primary prevention sampai tahap pengobatan dan rehabilitasi. Pendekatan community based treatment (termasuk pencegahan) dengan memberdayakan unsur masyarakat-madani perlu digalakkan dalam kerangka di luar sistem peradilan pidana yang ada seperti sistem `wajib lapor' bagi pecandu narkoba.

Sebagai konklusi, sudah 20 tahun bangsa Indonesia mengalami pergolakan dalam menanggulangi masalah ATS. Berbeda dengan masalah ATS yang sudah tercakup dalam produk UU saat itu, methylone belum termasuk obat-obatan yang dilarang. Namun, akan sangat mengerikan untuk membayangkan apabila ke depannya methylone tidak diatur secara komprehensif. Sikap pemerintah dan aparat hukum perlu lebih dioptimalkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar