Selasa, 26 Februari 2013

Monster Tronton dan Solusi KA Barang


Monster Tronton dan Solusi KA Barang
Saratri Wilonoyudho Dosen Universitas Negeri Semarang,
Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan
JAWA POS, 25 Februari 2013


KECELAKAAN di Cianjur, Jawa Barat, karena rem blong truk tronton yang kemudian menyasak kendaraan lain serta rumah akhirnya menewaskan 16 orang (Jawa Pos, kemarin). Peristiwa itu semakin menegaskan betapa berbahayanya truk-truk tronton raksasa yang merajai jalanan. Barang yang beratnya berton-ton itu semestinya bisa lebih aman diangkut dengan kereta api.

Lihat saja sepanjang jalanan Surabaya-Jakarta lewat jalur pantai utara, truk-truk raksasa tersebut berjalan bagai siput. Pelan dan menyusahkan pengguna jalan lain karena harus antre. Jangankan mereka celaka, baru patah as atau kempis ban di tengah jalan saja sudah menimbulkan kemacetan panjang yang merugikan banyak pengguna jalan lainnya.

Alangkah tidak adilnya. Si pengusaha yang barangnya diangkut lewat truk menikmati keuntungan berlipat, namun ribuan orang lain sengsara karena jalannya terganggu. Apalagi jika truk tronton tersebut melalui jalan sempit dan berkelok. Dipastikan terjadi ular-ularan kendaraan.

Berat truk tronton raksasa tersebut jelas merusak jalan. Bahayanya, ketika di jalanan menurun, jika rem blong, kecepatan truk akan meningkat. Jika menyasak kendaraan lain, truk jadi monster yang siap menerkam siapa saja.

Selama pemerintah belum mampu menyediakan sarana jalan yang lebar dan kuat serta regulasi perizinan yang ketat bagi mereka, ratusan nyawa bakal menjadi korban. Di negara-negara maju, rata-rata truk tronton berkondisi prima karena dikawal regulasi ketat serta didukung sarana jalan yang lebar, sehingga tidak mengganggu dan mengancam pengguna jalan lainnya.

Jika barang yang berton-ton tersebut diangkut kereta api, jalanan akan aman dan tidak rawan macet. Kalaupun ada tempat tujuan yang tidak dilalui jalur KA, barang dapat dioper di setiap stasiun terdekat. Memang akan menambah tahap bongkar muat. Tapi, ini demi keselamatan dan kelancaran bersama. Selain menambah kapasitas gerbong barang, pembangunan rel ganda (double track) KA Pulau Jawa diharapkan mengurangi beban angkutan barang di jalan raya.

Tentu saja ada beberapa hal yang pantas dipikirkan. Yakni, kemungkinan pengangguran para sopir, kernet, pemilik warung-warung di pinggir jalan, jasa tambal ban, dan seterusnya. Kalau hal tersebut menjadi pertimbangan, harus konsekuen, yakni membangun jalan yang kuat dan lebar. Apalagi, ekonomi terus tumbuh pesat.

Penyebab kecelakaan juga banyak. Mulai sempit dan buruknya jalanan, buruknya kualitas kendaraan, pengemudi yang ugal-ugalan, sampai buruknya birokrasi di bidang transportasi. Sudah bukan rahasia, jalan-jalan penting di negeri ini -apalagi di luar Jawa- luar biasa sempitnya dan di sisi lain sangat buruk pula kualitas konstruksinya.

Korupsi Mel-melan 

Kecelakaan tragis tersebut sering hanya menyalahkan si sopir belaka. Padahal, kalau dirunut, berbagai kecelakaan boleh jadi merupakan akibat jeleknya birokrasi di negeri ini. Budaya korupsi berupa ''ngemel'' alias pungli, misalnya, menjadikan kendaraan berat sebatas objek pemerasan. Artinya, silakan rem blong, silakan melebih tonase, silakan membahayakan orang lain, asalkan bayar kami, Anda boleh jalan!

Demikian pula soal uji kir kendaraan. Setali tiga uang. Kalau benar budaya ''mel'' kendaraan atau di setiap uji kir kendaraan masih ada, silakan oknum pegawai yang melakukannya berkunjung kepada 16 keluarga korban yang tewas itu. Silakan mereka ''uji nyali'', meneteskan air mata atau tidak. Syukur mau membayangkan jika itu terjadi pada dirinya dan keluarganya.

Budaya ''mel'' merupakan salah satu cikal bakal kecelakaan karena melawan kodrat. Pabrik kendaraan pasti sudah berhitung kekuatan tonase kendaraan, kapan rem harus diganti, kapan mesin harus di-tune up. Jika itu lalai, pasti maut akan mengintai. Jalanan pun akan menambah orang miskin baru dari anak yatim dan janda. Sebab, kebanya­kan yang mengalami kecelakaan adalah usia produktif. 

Kalau menyangkut nyawa manusia, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap mutu kendaraan dan jalan. Birokrasi juga mesti ketat dalam membangun serta menguji mutu jalan, pelabuhan, kelaikan jalan angkutan darat dan laut, kelaikan terbang, penurunan mutu bandara, serta perkembangan bangunan dan gangguan di sekitar bandara.

Selain birokrasi yang jujur dan kredibel, budaya masyarakat harus dibangun. Di negara-negara yang sarana transportasinya maju, pejalan kaki, penyeberang jalan, pengguna sepeda, dan ''orang kecil'' lain di jalan sangat dihormati. Nyawa manusia semestinya bukan sekadar angka statistik yang dikomentari ringan layaknya berita artis saja. Karena itu, uji kelaikan jalan angkutan umum masal sudah saatnya diperketat jika tidak ingin nyawa manusia terus melayang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar