Senin, 25 Februari 2013

Pers, Indonesia dan Kekuasaan


Pers, Indonesia dan Kekuasaan
Sabam P Siagian  Redaktur Senior The Jakarta Post
KOMPAS, 25 Februari 2013


Menko Polhukam Djoko Suyanto telah menurunkan tulisan yang sarat makna sehubungan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari. Judulnya: ”Pers, Indonesia dan Kemanusiaan Kita” (Kompas, 13/2).

Pada awal tulisan terdapat kerancuan pengertian tentang ”berita, informasi, media, dan pers”. Dalam rangka percakapan Hari Pers, kita batasi dulu perkembangan sekitar media dan pers dalam bentuk yang sudah didefinisikan seperti dimaksud Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berita dan informasi, termasuk gosip, dapat disiarkan oleh media sosial. Dan, informasi resmi disebarluaskan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang bersangkutan.

Pemilahan demikian penting. Sebab, pada ujung tulisan Djoko Suyanto dikemukakan soal tanggung jawab, di mana sebutan yang berat itu timbul sampai 10 kali! Terkesan seolah-olah hanya media dan perslah yang memikul tanggung jawab melayani kemanusiaan dan nurani.

Terus Berbenah

Mari kita lihat permasalahannya secara beruntun. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga kita tiba pada situasi ini?

Pada 1998, ketika Presiden BJ Habibie mengambil alih pimpinan nasional, Menteri Penerangan Junus Yosfia menghapus persyaratan yang membatasi kemerdekaan pers: perizinan dan sensor dihapuskan. Prosedur mendirikan pemancar radio dan pemancar televisi disederhanakan. Bermunculanlah koran dan tabloid, kemudian disusul pemancar-pemancar radio dan televisi daerah. Diberlakukannya UU Otonomi Daerah, yang disusul kelancaran arus dana ke daerah, diperkirakan mendorong berkembangnya kegiatan pers dan media di daerah. 

Suburnya industri media dan pers yang meningkatkan demokratisasi di Indonesia telah dilembagakan dengan disahkannya UU No 40/1999 itu. Di awal reformasi itu, beberapa rekan telah bekerja keras merampungkan UU itu sehingga agak terburu-buru dan dengan sendirinya tak sempurna. Sudah disepakati akan dilakukan penyempurnaan, yang nantinya masih sempat disahkan DPR saat ini.

Apa konsekuensi dari pemekaran pesat industri media yang difasilitasi merekahnya kebebasan pers di awal Reformasi? Sebagai anggota yang diangkat dari MPR Reformasi, 1999-2004 (Fraksi Utusan Golongan/utusan Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia), saya saksikan proses reformasi yang deras ini. Proses tersebut lebih meningkat ketika Abdurrahman Wahid jadi Presiden menjelang akhir 1999.

Sejarah modern Indonesia akan mencatat, MPR Reformasi telah mengganti dua presiden secara berturut-turut tanpa timbul anarki yang memecah negara dan bangsa. Urutan peristiwa serba intens itu telah diliput secara maksimal oleh media yang menikmati kebebasan meskipun tak selalu berkualitas.

Namun, industri media yang sedang mekar ini menghadapi masalah amat sulit. Karena sumber daya jurnalistik yang pas-pasan selama tahun-tahun akhir, Orde Baru tiba-tiba diserbu oleh permintaan yang mendesak. Tersebarnya tenaga-tenaga jurnalistik yang kompeten ke mana-mana sehingga menipis dan masuknya wartawan dan tenaga redaksional baru, kadang tanpa pendidikan ataupun pengalaman, berakibat pada penurunan kualitas jurnalisme. Timbul keluhan dari masyarakat bahwa pers Indonesia tidak dapat diandalkan lagi.

Apa yang wajib dilakukan, khususnya oleh organisasi profesional seperti Persatuan Wartawan Indonesia? Keluhan masyarakat itu telah dibicarakan pada Hari Pers di Palembang, 9 Februari 2010. Diputuskan: PWI bersama pemerintah daerah/ provinsi menyelenggarakan sekolah jurnalisme. Rencana ini menyangkut suatu program peningkatan pengetahuan serta keterampilan bagi wartawan muda yang telah bertugas sekitar lima tahun pengalaman.

Sekolah jurnalisme diselenggarakan di ibu kota provinsi dengan tim pengajar dari PWI (Jakarta). Sekolah jurnalisme ini sudah berlangsung tiga tahun dan pernah diselenggarakan di Palembang, Semarang, Bandung, Makassar, Samarinda, Banjarmasin, Pekanbaru, dan Bandar Lampung. Sebagai anggota tim pengajar (tentang ”Hubungan Media dan Pemerintah”), pengalaman ini sungguh memperluas pemahaman saya tentang tantangan yang dihadapi media. Juga tanggung jawab yang dibebankan di atas bahu seorang wartawan.

Dapat ditambahkan juga, kegiatan Lembaga Pers Dr Soetomo, program-program pendidikan intern yang dilakukan sejumlah penerbitan dan pemancar radio/TV masih belum mencukupi. Alokasi investasi untuk meningkatkan pendidikan wartawan harus juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar. 

Cenderung Mengkhotbahi

Akan tetapi, peningkatan pengetahuan dan kompetensi untuk memperdalam rasa tanggung jawab profesional tidak hanya harus dilakukan di bidang industri media dan pers. Kalau kualitas penghidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia ingin ditingkatkan, maka, terutama bidang kekuasaan negara, mendesak supaya dikoreksi. Malahan, ada bagian yang perlu mengalami amputasi.

Di sinilah cacat utama tulisan Djoko Suyanto. Ia fokuskan perhatian hanya pada perlunya koreksi di bidang industri media dan pers. Ia melihat ”paradoks” (mungkin bukan istilah yang tepat) antara independensi wartawan dan intervensi pemilik perusahaan pers. Namun, katanya, pesimismenya terhapus setelah membaca Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 tentang kewajiban wartawan bersikap independen.

Sebaliknya, saya bersikap makin pesimistis melihat budaya kekuasaan yang masih dominan di sementara aparat keamanan negara, karena seakan-akan sudah lupa Sumpah Jabatan dan Sapta Marga. Kejadian di Pekanbaru, Riau, pertengahan Oktober tahun lalu, yakni penganiayaan oleh perwira menengah AURI terhadap para wartawan, khususnya wartawan/fotografer Didik, bukanlah suatu insiden yang mencuat secara lepas.

Tindakan Letkol Robert Simanjuntak itu adalah cerminan betapa masih tipisnya kesadaran di kalangan aparat negara supaya mematuhi kebebasan pers dan hak seorang wartawan melakukan tugasnya. Suatu kesadaran yang harus ditanam sejak si calon perwira memasuki akademi militer, kemudian di sekolah staf dan selanjutnya, karena kesadaran itu adalah bagian integral dari kewajiban melindungi UUD RI.

Kalau ekses kekuasaan demikian terjadi ulang pada diri seorang wartawan yang sedang bertugas, rekan-rekan telah sepakat bahwa sekali ini kasusnya akan dibawa ke sidang pengadilan. Era saling memaafkan sudah lewat karena tampaknya kesadaran menaati hukum itu masih juga belum mantap di kalangan aparat sekuriti negara.

Kelemahan tulisan Djoko Suyanto itu, yang cenderung mengkhotbahi kami yang bertugas di bidang industri media dan pers dan berusaha sekuat tenaga membenahi diri, adalah dia tak melihat persoalan secara keseluruhan. Ketimpangan-ketimpangan di birokrasi dan aparat negara dengan rentetan korupsi yang semakin parah, sikap dan tabiat para politisi—di pusat dan daerah—yang aneh-aneh sehingga cenderung menjadi bahan infotainment (itu rupanya yang dimaksud penulis sebagai gejala membentuk ”pahlawan dan idolanya sendiri”) mempersulit tugas pers yang serius untuk meliput peristiwa sosial-politik secara akurat, berimbang tanpa tergoda oleh sikap menghakimi. Pers, Indonesia dan Kekuasaan, itulah aspek permasalahannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar