Rabu, 27 Februari 2013

Pilkada Jawa Barat dan Tsunami Politik


Pilkada Jawa Barat dan Tsunami Politik
Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh
SINAR HARAPAN, 27 Februari 2013


Jika patokannya adalah hasil survei beberapa lembaga survei ternama, hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Barat pada Minggu, 24 Februari adalah sebuah kejutan. Paling tidak empat lembaga survei sebelum hari H memprediksi pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana akan memenangi Pilkada Jabar dalam satu putaran.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya pada 5 Februari lalu, bahwa jika pemilihan dilaksanakan pada saat itu, Dede-Lex akan menjadi pemenang dengan satu putaran (35,3 persen), selanjutnya Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar di urutan kedua (27,4 persen), dan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki di urutan selanjutnya (13,2 persen).
Namun, hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan fakta sebaliknya. Pasangan Aher-Deddy Mizwar dinyatakan sebagai pemenang oleh delapan lembaga survei dan perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar.

Hasil quick count Indo Barometer menyatakan pemenangnya berturut-turut adalah pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar (32,38 persen), Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki (27,18 persen), Dede Yusuf-Lex Laksamana (26,09 %), Irianto MS Saifuddin (Yance)-Tatang Farharu Hakim (12,32 persen), dan Didik Mulyana Arief Mansur-Cecep Nana Suryana Toyib (2,03 persen).

Hasil Pusat Kajian dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) juga memiliki angka yang tidak berbeda. Pasangan Aher-Deddy menjadi pemenang (32,71 persen), selanjutnya Rieke-Teten (28,15 persen), Dede-Lex (24,87 persen), Yance-Tatang (12,54 persen), dan Didik-Cecep (1,86 persen). Demikian pula Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menempatkan Aher-Deddy (32,38 persen) sebagai terunggul, Rieke-Teten menempel ketat di urutan kedua (29,07 persen), dan Dede-Lex pada urutan ketiga (24, 71 persen).

Pancaroba Politik

Beberapa pelajaran penting kita dapat dari Pilkada Jawa Barat. Pertama, untuk kesekian kalinya prediksi lembaga survei tidak dapat memberikan ketepatan hasil, karena politik selalu bersumbu kepada persepsi, dan persepsi selalu berubah bersama dengan perubahan waktu dan detail-detail kecil yang mungkin tidak diperhitungkan.

“Kesalahan” beberapa lembaga survei memprediksi kemenangan Dede-Lex adalah karena hal itu. Lembaga survei cenderung melihat indeks persepsi masyarakat atas petahana (incumbent) yang buruk, dan itu hanya melulu melihat pada simbolisme kepemimpinan Aher.

Secara umum Aher dianggap gagal membangun perekonomian Jawa Barat, meskipun secara statistik angka pertumbuhan ekonomi negeri Parahiyangan ini di atas nasional (6,4 persen). Namun, statistik juga menunjukkan angka tidak mengembirakan lainnya.
Misalnya, Aher dianggap gagal menekan jumlah penduduk miskin (9,89 persen per September 2012 atau 4.421.484 jiwa), yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh penduduk Aceh atau 50 persen penduduk Sumatera Utara. Dari hasil debat kandidat gubernur, pasangan Rieke-Teten menyentil kegagalan Aher dalam menekan angka kematian ibu dan anak, sehingga angka kematian di Jawa Barat masih terbesar se-Indonesia.

Namun, pihak surveyor lupa melihat pasangan Dede-Lex juga merupakan petahana (wakil gubernur dan sekda). Bahkan kadar petahana Aher hanya 50 persen dibandingkan Dede-Lex. Kegagalan Aher harus dilihat sebagai kegagalan Dede dan Lex juga. Ini seperti “longsoran salju” yang juga mengenai siapa saja yang dianggap sebagai “orang yang bersalah pada masa lalu”.

Bahkan, sebenarnya ada problem lain, independensi ketika lembaga survei dibayar salah satu pasangan yang ikut bertanding, sehingga memberikan pandangan “intersubjektif” yang terlalu tinggi dibandingkan jika lembaga survei itu tidak digaji para petanding. Meskipun saya tak mau berprasangka, hal-hal detail seperti di atas mungkin sengaja dilupakan jika lembaga survei yang dibayar. Itu misalnya dapat terlihat dari prediksi Pilkada Aceh dan Jakarta yang keliru.

Kedua, Pilkada Jawa Barat ini menunjukkan berlakunya teori permainan dengan jumlah nol (zero sum game theory). Ini terbukti bahwa perubahan politik negatif kepada salah satu kubu akan menjadi tabungan positif pada kubu lainnya, dan tentu saja tak dapat dilepaskan dengan relasi dengan geo-politik di tingkat nasional.

Jika tak terjadi “Jumat kelabu 22 Februari” kepada Anas Ubaningrum sebagai ketua umum Partai Demokrat (PD), atau dua hari sebelum pencoblosan, bisa jadi pasangan yang diusung PD yaitu Dede-Lex tidak akan mendapatkan bencana separah ini. Bahkan efek bencana itu cukup tinggi, dan menjadi berkah bagi Aher-Deddy dan bahkan Rieke-Teten yang dianggap pasangan “kuda hitam”, baik dari segi logistik kekuatan politik dan juga jam terbang sebagai birokrat.

Ketiga, efek lain politik zero sum game adalah pada bangunan politik partai-partai pesaing dalam Pilkada Jawa Barat di tingkat nasional. Kemenangan Aher-Deddy memberikan nafas baru bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk kembali menyehatkan politiknya yang telah megap-megap pascapenangkapan Presiden PKS pada kasus suap impor daging sapi.

Partai ini bahkan lebih mantap melakukan langkah konsolidasi baru untuk mempersiapkan kemenangan selanjutnya dalam Pilkada Sumatera Utara mendatang. Di sisi lain, kekalahan PD dalam Pilkada Jawa Barat jelas memberikan pukulan telak, meskipun mereka berhasil menang di Pilkada Papua.

Yang paling sial tentu saja Partai Golkar yang terus dirundung kekalahan. Bahkan, masuk tiga besar pun tidak. Ini menunjukkan suara Golkar di provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ini akan semakin suram. Keberhasilan mereka memenangi Pilkada Sulawesi Selatan tidaklah memberi kesan mendalam, karena seperti pandangan makro politik, menguasai politik nasional adalah menguasai pulau Jawa.

Politik Atas Kertas

Namun, sebenarnya praktik politik demokrasi lokal seperti yang terlihat dalam realitas terbaru di Jawa Barat ini pun belum memberikan harapan bagi politik daerah. Sebagai petahana dengan catatan politik yang banyak, Aher tentu harus merealisasikan lebih banyak bukti kepada masyarakat Pasundan terkait apa yang bisa diberikan untuk mengembangkan demokrasi subtantif atau demokrasi kesejahteraan.

Dengan pelbagai temuan praktik politik uang, penggunaan fasilitas negara, dan sikap tidak fair dalam bertanding yang terbaca dari realitas Pilkada Jawa Barat menunjukkan politik masih dipraktikkan sebagai bisnis kebiasaan (business as usual). Tak dapat disalahkan juga karena ini cermin politik nasional yang masih memberhalakan kekuasaan dan kemenangan, bukan mengupayakan kebagiaan (pursuit of happiness) dan kesantunan bagi masyarakat

Politik harus bisa dijadikan panduan untuk memperbaiki situasi sempit dan sumpek masyarakat, memberlakukan keadilan dan kesejaheraan, serta menisbikan kenikmatan atau keegoan berkuasa. Jika itu terjadi, sama dengan menghidupkan mesin oligarki baru. Semoga Aher-Deddy dapat membuktikan sebaliknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar