Kamis, 28 Februari 2013

Politik Impor Sapi


Politik Impor Sapi
Muhammad Zainul Majdi Gubernur Nusa Tenggara Barat,
Penggagas Gerakan NTB Bumi Sejuta Sapi 
REPUBLIKA, 25 Februari 2013


Masalah impor sapi menjadi sebuah isu politik saat pimpinan sebuah partai ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat perkara suap dalam penentuan kuota daging impor. Ingar-bingar pemberitaan mengenai hal itu pada akhirnya mengarah pada politisasi impor sapi karena dikait-kaitkan dengan prospek partai bersangkutan dalam konteks kontestasi politik menjelang Pemilu 2014.

Masalah impor sapi pada galibnya memang sebuah masalah politik, namun dalam lingkup yang lebih besar dibanding sekadar soal kemelut sebuah partai seperti titik fokus selama ini. Impor sapi adalah bagian dari Program Swasem bada Daging Sapi (PSDS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan ketahanan pangan.

Tren positif PSDS 2014 pada intinya berisi idealisme terpenuhinya kebutuhan daging yang bersumber dari potensi lokal sebesar 90 persen. Dengan konsep itu, peningkatan produksi sapi di dalam negeri didorong hingga menekan kebutuhan impor sapi hanya pada kisaran 10 persen saja. Latar belakangnya adalah fakta menyedihkan betapa di tengah potensi besar pengembangan produksi sapi dalam negeri, ketergantungan Indonesia pada sapi impor malah justru membesar. 

Setelah bergulir selama dua tahun sejak tahun 2010, tren ke arah sukses PSDS tampaknya menggembirakan. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 dari BPS, jumlah sapi potong nasional adalah 14,8 juta ekor. Jumlah ini sudah melampaui target populasi ternak sapi 2014 sebanyak 14,2 juta ekor guna terwujudnya swasembada daging sapi.

Terlepas dari keraguan sejumlah pihak pada hasil pendataan itu, tren peningkatan populasi sapi tanah air memang terlihat. Gerakan NTB Bumi Sejuta Sapi (NTB BSS) yang dicanangkan tahun 2008 misalnya mencatat, pada 2009, populasi sa pi di NTB hanya ber jumlah 592.875 ekor. Jumlah ini meningkat menjadi 784.019 ekor pada 2011 dan 916. 560 ekor pada 2012.

Saya berpendapat, ada dua masalah dalam upaya mewujudkan sukses PSDS 2014, yaitu produksi dan distribusi. Dari sisi produksi, tidak semua populasi sapi dalam negeri bersifat ready stock. Hal itu terjadi karena peternakan rakyat individual tidak sepenuhnya berorientasi komersial dan menjadikan sapi sebagai aset yang tidak mudah dijual.

Hampir 90 persen peternakan sapi rakyat di Indonesia adalah peternak yang menjalankan usaha peternakan sebagai usaha sambilan. Dijadikannya NTB BSS sebagai salah satu program unggulan Pemda NTB salah satunya didasari kesadaran akan sifat sosio kultural peternakan rakyat itu. Perlu ada intervensi pemerintah menyiasati upaya ketersediaan sapi ready stockyang bersumber dari peternakan rakyat. 

Meningkatkan populasi sapi ready stock juga bisa dilakukan dengan memacu peternakan sapi komersial. Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong BUMN lebih terlibat di investasi produksi sapi. Pada tataran tertentu, hal itu sudah dilakukan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang menggandeng BUMD kami, PT Gerbang NTB Emas, dengan investasi Rp 75 miliar untuk produksi 2.000 sampai 5.000 ekor sapi.

Di tengah keterbatasan sapi ready stock di tingkat nasional, keterlibatan BUMN dalam `bisnis sapi' tentu saja merupakan sebuah peluang bisnis menjanjikan. Belum lagi, jika bisnis itu bisa dikembangkan tidak semata untuk memenuhi stok daging nasional, namun juga untuk produk-produk olahan seperti sosis dan baso. 

Daerah penyangga Kesan `kelangkaan' daging sapi di tengah tingginya populasi sapi nasional juga terkait dengan masalah distribusi. Kalaupun stok sapi ada, masih dirasakan kendala di sisi transportasi pengangkutan dari sentra-sentra produsen sapi di Jawa dan luar Jawa. Karena itu, saya menilai wajar jika ada ide agar swasembada sapi tidak langsung ber skala nasional dulu, namun ditetapkan per zona.

Pemerintah bisa menciptakan daerah-daerah penyangga pasokan sapi per zona berdasarkan jumlah populasi sapi yang ada. Daerah penyangga menjadi tumpuan ketersediaan pasokan daging di zonanya, meski tentu saja secara fleksibel bergerak pada prinsip supply and demand. Jika pasokan daging di zonanya aman atau ketika demanddari provinsi di wilayahnya minim, tetap terbuka kemungkinan daerah penyangga memasok daging sapi ke luar zona wilayahnya.

Dengan mengatur adanya daerah penyangga berdasarkan zona ini, jalur distribusi daging sapi antarwilayah niscaya akan lebih mudah, efisien dan irit biaya. Apalagi, jika rencana Kementerian Perhubungan membangun terminal khusus pengangkut sapi dan hewan ternak di Sumba dan Lampung dengan kapal khusus pengangkut ternak bisa diwujudkan dalam waktu dekat.

Mengungkap kasus suap kuota impor sapi dan memberantas kartel yang mengendalikan harga daging di pasaran memang suatu hal penting yang perlu dilakukan. Namun, saya pikir, merumuskan `politik impor sapi' yang bisa memutus ketergantungan bangsa ini pada komoditas daging bangsa lain juga tidak kalah strategis dan urgennya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar