Kamis, 28 Februari 2013

Prospek Partai Islam


Prospek Partai Islam
Azis Anwar Fachrudin Analis Politik Islam;
Pengajar pada Ponpes Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta 
REPUBLIKA, 27 Februari 2013

Dalam persepsi umum publik, partai politik (parpol) yang membawa semangat keislaman dan akan meramaikan kontestasi Pemilu 2014 nanti, antara lain: PKS, PPP, PKB, dan PAN. Dua yang pertama adalah partai Islam par-excellence. Dua terakhir, meski berasas Pancasila, adalah partai berbasis massa Muslim (Moslem-based political parties). Bagaimana prospek keempat partai itu dalam pemilu mendatang?

Banyak pihak menilai, citra partai Islam maupun berbasis massa Islam cenderung menurun akhir-akhir ini. Dalam kasus PKS, misalnya, dugaan kasus suap impor daging yang membuat mantan presiden PKS dijatuhi status tersangka oleh KPK berimbas besar pada citra partai dakwah itu. PKS diprediksi akan tertatih-tatih memperbaiki citra demi meraih target tiga besar dalam Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, PKS memperoleh 7,88 persen dari total suara. Beberapa pihak menilai, jangankan tiga besar, untuk mendapatkan hasil sama seperti dalam Pemilu 2009 saja PKS akan kesusahan.

Dengan adanya dugaan kasus suap itu, survei Saiful Muzani Research Con- sulting (SMRC), misalnya, belum lama ini menyatakan, PKS hanya memperoleh 2,7 persen. Parpol Islam lainnya, yakni PPP, pada Pemilu 2009 memperoleh 5,32 persen. Survei SMRC mutakhir menyebutkan PPP mendapat 4,1 persen.

Nahasnya, partai yang tak berhasil melewati seleksi KPU, yang mestinya bisa sehaluan dengan PPP dan diharapkan bisa memperkuat "warna hijau", yakni PKNU, memilih melakukan merger dengan Gerindra. PKNU kemudian menjadi sayap politik Gerindra dengan nama Gerakan Rakyat Ahlussunnah wal Jamaah (Gerak Aswaja).

Sebenarnya, ada dua partai lagi yang kerap dianggap partai Islam, yakni PAN dan PKB. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. PAN dan PKB adalah parpol berasaskan Pancasila. Yang tepat adalah partai berbasis massa Muslim. PAN berbasis massa Muhammadiyah dan PKB berbasis massa NU. Pada Pemilu 2009, PAN mendapat 6,01 persen, sementara PKB memperoleh 4,94 persen.

Citra publik secara umum terhadap kedua partai itu tidak menunjukkan kenaikan simpati. Kedua partai itu tidak banyak memberikan kinerja dan prestasi yang menaikkan perhatian positif dari publik belakangan ini. Bahkan, kedua partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah itu cenderung pragmatis.

Tiga sebab menurunnya tingkat elek tabilitas dan kepercayaan publik terhadap parpol (berbasis massa) Islam ini setidaknya dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, adanya perenggangan politik (political disengagement) dari masing-masing massanya, yang mestinya bisa diharapkan loyalitasnya. Parpol berbasis massa NU, misalnya, susah mendapat saham politik yang be- sar dari sikap NU yang me ngem bangkan wacana "kembali kekhittah 1926"; menjadi organisasi sosial-keagamaan (jam'iyyah diniyyah-ijtima'iyyah) dan tak mengurusi politik. Warga NU yang Muslim-tradisionalis tidak dianjurkan untuk memilih salah satu dari PPP atau PKB. Istilah populisnya: NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

Sikap NU ini tentu saja tidak menguntungkan secara politik. Apalagi, dengan manuver PKNU tadi. Ijitihad politik ala Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tercitrakan kuat sebagai trademark NU nyatanya tidak bersatu. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi NU: bagaimana bisa ormas Islam terbesar justru tercerai berai aspirasi politiknya?

Sementara parpol berbasis massa Muhammadiyah, yang kebanyakan Muslim modernis-perkotaan, harus berusaha mempertahankan loyalitas massanya agar tidak "kabur" ke PKS, yang juga berbasis massa sama. Hal yang mestinya menjadi problem bagi orang-orang Muhammadiyah, citra politik yang dibangun PKS melalui pembingkaian ideologis (ideology framing) lebih kuat, misalnya soal Palestina. Harapan dari PAN adalah bergabungnya suara dari massa partai non pemilu yang merger dengan partai berlambang matahari itu, misalnya PBR.

Kedua, isu-isu sosial-ekonomi akan semakin memainkan peran penting.
Demikian ini seiring dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan masyara- kat. Publik kian melek politik. Apalagi, jejaring sosial menjadi katalisator ampuh untuk meraup simpati publik. Parpol- parpol Islam belum berhasil memainkan peran yang apik dalam ta taran ini.

Ketiga, dengan adanya perenggangan politik, jelas akan banyak Muslim yang menjadi massa mengambang (floating masses). Parpol Islam mestinya bisa kembali merebut hati mereka. Sebab, mereka rawan "tertawan" oleh parpol nasionalis-sekuler lainnya yang kini membuka "rumah khusus" untuk pemilih Muslim. Jelas, "politik aliran" kini sudah di ambang kematian.

Sejak era reformasi, bandul politik publik kian bergerak semakin rasional dalam lanskap sekularisme. Jika di awal faktor figur masih kuat, kini gerakan pemilih lebih pada manuver dalam menyikapi isu-isu panas. 

Untuk itu, parpol Islam, mesti menanggalkan kebanggaannya sebagai wakil aliran tertentu. Politik aliran semacam ini kian tak laku. Dibandingkan parpol yang sekuler-nasionalis, parpol Islam lebih susah melakukan moderasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar