Rabu, 27 Februari 2013

Reformasi Stempel Halal


Reformasi Stempel Halal
Moch Supriyadi  Program Magister Pascasarjana UIN Jakarta,
Pemikir Concern-Consultancy & Research
JAWA POS, 26 Februari 2013


RANCANGAN Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUUJPH) merupakan usulan DPR (komisi VIII) melalui hak inisiatif. Salah satu pasal yang menjadi perdebatan adalah hak sertifikasi halal ada di bawah Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H) pada Bab II Penyelenggaraan JPH-RUUJPH. Selama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai kewenangan otonom untuk mengeluarkan sertifikat halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI.

Peran MUI dalam kebijakan pengawasan dan pengkajian produk terlepas dari sistem koordinasi pemerintahan. Pembentukan LPPOM hanya berlandas surat keputusan internal MUI setelah ditemukan banyak makanan yang mengandung lemak babi pada masa Pak Harto. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim menyarankan MUI mendirikan lembaga pengkajian pangan (jadilah LPPOM MUI) sebagai wujud sikap tegas pemerintah. 

Model Malaysia dan AS 

Lembaga sertifikasi halal lebih dulu didirikan pemerintah Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Bedanya, lembaga sertifikasi di negara tersebut ada di bawah koordinasi kementerian terkait. Sertifikasi halal di Malaysia berada di bawah Jabatan (kementerian) Kemajuan Agama Islam (Jakim) pada unit Bahagian Hal Ehwal Islam (Baheis) sejak 1972. 

Singapura membentuk Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) pada 1972 di bawah Kementerian Pembangunan Masyarakat. MUIS bekerja sama dengan Singapore Institute of Standards and Industrial Research (SISIR) di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri. 

Meski penduduknya mayoritas non-Islam, Australia memiliki Australian Federation of Islamic Councils (AFIC) dan Halal Certification Services Ltd yang berdiri sejak 1964. AS juga mempunyai lembaga pengkajian kehalalan, yakni Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) yang didirikan pada 1990.

Di mana seharusnya peran dan sikap MUI sebagai koordinator ormas Islam dan pemerintah (Kemenag) sebagai patron? Selama 24 tahun MUI menjadi lembaga yang berwenang mengeluarkan izin sertifikasi halal. Sedangkan RUUJPH mereformasi dan mengembalikan wewenang itu kepada pemerintah meski menggunakan sistem standardisasi MUI.

RUUJPH telah mengatur "kavling" MUI, yang semula sebagai lembaga otonom sertifikasi halal, ke sistem koordinasi lembaga perseorangan atau lembaga swasta di bawah pertanggungjawaban Kemenag (pasal 15). Secara tidak langsung, kavling MUI beralih menjadi kewenangan Kemenag dan LPPOM MUI mengalami pergeseran kewenangan sebagai outsourcing sertifikasi halal.

Dalam wacana internasional, semua lembaga yang berwenang mengkaji dan meneliti hasil produksi ada di bawah kewenangan pemerintah. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan antara regulator, operator, dan evaluator. Pemisahan kewenangan diharapkan akan menjadikan sertifikasi halal di Indonesia lebih baik dan profesional. Bukan menjadi "ajang" politik, "jegal-menjegal" antarlembaga.

Hal itu diharapkan dapat membuka kompetisi lembaga sertifikasi halal yang bisa menghasilkan layanan yang lebih baik. Misalnya, NU mendirikan lembaga sertifikasi halal Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) atau bahkan perseorangan yang mempunyai kemampuan sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam RUUJPH mendirikannya.

Halal Pertimbangan Belanja 

Tarik ulur MUI dengan pemerintah dalam pembahasan RUUJPH harus disudahi. Perdebatan pada pasal untuk menentukan kewenangan sertifikasi halal menjadi "potret" untuk "siapa" dan "apa" lembaga sertifikasi itu didirikan. Tujuan asasi didirikannya lembaga sertifikasi halal adalah untuk kepentingan masyarakat, khususnya muslim. 

Kewenangan pemerintah harus tetap menjadi regulator. Dengan banyaknya lembaga sertifikasi halal sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam RUUJPH, para pelaku usaha akan lebih mudah mendaftarkan hasil produksinya secara cepat dan tepat.

Pada 2012 lembaga pengkaji dan pengawas hasil produksi nasional melansir hasil penelitian tentang pengaruh stempel halal pada hasil produksi dengan tingkat penjualan. Survei tersebut menunjukkan bahwa 80,9 persen responden menjadikan kehalalan sebagai pertimbangan pertama dalam berbelanja. Dengan meningkatnya penjualan produk halal, pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan terdorong. 

Dalam pengesahan RUUJPH, terdapat tiga pilar dasar pada penyelenggaraan-nya. Pertama, sistem JPH harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan umat Islam, untuk memperoleh dan mengonsumsi produk-produk halal serta sehat. Kedua, JPH harus menjamin bahwa proses dan prosedur audit serta sertifikasi yang terkait dengan proses halal dilakukan secara sederhana dan mudah untuk memberikan kemudahan bagi produsen dan dunia usaha serta menghindarkan "rekayasa" kebijakan. 

Ketiga, JPH harus memberikan jaminan hasil audit yang akuntabel dengan biaya murah dan proporsional. Sistem JPH jangan terlalu membebani produsen, tetapi justru memberikan nilai tambah bagi produk mereka. Khusus bagi usaha kecil dan mikro, segala biaya sebaiknya ditanggung pemerintah.

Dengan sistem JPH yang baik, masyarakat maupun produsen makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi, serta produk rekayasa genetika akan terlindungi oleh suatu undang-undang. JPH pun akan menjadi jelas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar