Selasa, 26 Maret 2013

Cebongan, Guncangnya Modal Sosial


Cebongan, Guncangnya Modal Sosial
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, NTT
JAWA POS, 26 Maret 2013
  

NODA kekerasan kembali membercak di negeri ini. Penyerangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Jogjakarta, oleh belasan orang ''tak dikenal'' pada Sabtu, 23 Maret 2013, yang menewaskan empat tahanan (Hendrik, Adrianus, Yohanes, dan Gamaliel) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) sungguh di luar perikemanusiaan. Dengan pistol, granat, serta senjata api jenis AK-47 dan FN, mereka menerobosi sel tahanan, lalu menembak dari jarak dekat empat korban tersebut yang juga tersangka penganiayaan terhadap anggota Kopassus Sersan Satu Santoso pada Selasa, 19 Maret 2013.

Aksi hitam dini hari itu dikecam sebagai peristiwa keji dan memalukan karena mencoreng fungsi serta atribut negara sebagai pelindung rakyat. Di Kupang, NTT, seribu lilin perkabungan dari sejumlah warga kota dipasang berderet di sepanjang Jalan El Tari, Kupang, sebagai tanda dukacita dan keprihatinan mendalam atas tragedi tersebut.

Wajar jika akal sehat mempertanyakan di mana fungsi sistem kewaspadaan dini negara yang seharusnya hidup 24 jam. Dalam pertanyaan lebih ekstrem, masihkah negara mengklaim dirinya pelindung rakyat, jika nyawa warganya dengan mudah melayang justru di dalam area terlindung lapas yang merupakan simbol hukum dan keadilan negara?

Apalagi, kejadian ini adalah kali pertama dalam sejarah lapas di Indonesia diobok-obok pasukan siluman hanya dalam 15 menit. Saat sudah di ''zona aman'', nyawa rakyat pun masih terancam peluru dan granat sekelebat waktu. Masihkah rakyat diharuskan tetap berharap dan percaya pada institusi hukum dan segala nilainya?

Inilah pertanyaan kontemplatif buat seluruh jajaran penegak hukum dan pemerintah agar rumusan hukum yang eksak di negeri ini tak digeser menjadi dogma hukum rimba yang memberikan ruang kepada mereka yang kuat untuk menghabisi yang lemah.

Eksistensi Terluka 

Tak perlu ada pretensi mengambinghitamkan institusi tertentu atau pemerintah. Namun, jika kekerasan yang melibatkan aparat sudah kerap terjadi dan menebar teror di depan mata negara, semestinya hal itu menjadi alarm bahwa rakyat sedang terancam. Kebutuhan dan eksistensi kewargaan rakyat terhadap hak keamanan sedang dilukai. Dampak kekerasan tersebut pun bisa berpilin dan menerbitkan spiral keresahan baru bagi warga. 

Di Jogjakarta, misalnya, (keluarga) mahasiswa asal NTT sangat mengkhawatirkan keselamatan diri mereka pasca-insiden Cebongan. Bahkan, asrama mahasiswa NTT di Kota Jogja di Jalan Tegalpanggung tidak berpenghuni sejak enam jam pasca pembunuhan anggota Denintel Kodam Diponegoro yang pernah bertugas di Kopassus, Sertu Heru Santoso, di Hugos Café (JPNN, 25/3). Diduga, para penghuni resah dan mengungsi menyusul beredarnya SMS gelap akan adanya sweeping aparat terhadap mahasiswa NTT. 

Akumulasi keresahan yang tergelar sebelumnya dari, misalnya, bentrokan aparat TNI-polres di Ogan Komering Ulu (OKU) maupun merebaknya isu kudeta terhadap pemerintah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di tengah aneka eskalasi kekerasan rutin (perampokan, pembunuhan, dan konflik keyakinan), dalam batas tertentu kian menginfiltrasi kenyamanan sosial serta mengganggu apa yang oleh Hegel disebut sistem kebutuhan masyarakat. Sistem kebutuhan yang dimaksud adalah penegakan tertib masyarakat sipil dan penegakan hukum (die Rechtspflege) oleh aparat hukum. 

Hilangnya dua hal tersebut merepresentasikan sirnanya kendali negara terhadap penegakan tertib sosial yang dijamin konstitusi. Padahal, jika itu dibiarkan berlarut-larut, rekening kesabaran sosial justru akan terkuras. Bahkan, menurut John Field (2010: 186), hal itu akan menjadi titik awal suatu negara dijemput ''kematian modal sosial''. Kematian modal sosial tersebut selalu berekses pada lahirnya aksi dan insting kekerasan yang ''dilegitimasi'' kevakuman norma dan pranata, sehingga nurani, solidaritas, toleransi, dan keadilan substantif yang menjadi napas legitimasi negara secara organik tidak lagi memiliki jejak asalinya.

Itulah yang sebenarnya kita takutkan, bahwa imajinasi rakyat terhadap kredibilitas negara sedang diganggu berbagai insiden kekerasan yang belakangan terus mereproduksi diri dan seperti dibiarkan terjadi di tengah-tengah rakyat.

Dalam konteks simbolisme kejahatan, penyerangan Lapas Cebongan juga menjadi kritik terhadap tatanan hukuman di negeri ini yang kian banyak menampung penjahat maupun bromocorah dalam pelbagai versi kejahatan tetapi selalu gagal menjerakan si terhukum. Penjara bagi koruptor, misalnya, tak akan cukup luas kalau atribut konstelasi hukum dan sistem penghukuman kita akhirnya selalu membaptis para residivis koruptor itu dengan berbagai keringanan hukum sistemik, dengan sejumlah privilege dan hiperbola sosial yang dikenakan secara ''gagah'' ke diri mereka. 

Kita berharap insiden Cebongan menjadi titik balik dan reinstitusionalisasi kewibawaan aparatur negara di hadapan rakyatnya. Siapa dan apa pun motifnya, pelakunya harus dihadapkan di depan pengadilan. Harus ada kepastian target waktu yang diberikan pemerintah kepada Polri maupun TNI untuk mengungkap penyerbuan berdarah tersebut. Sebab, yang dipertaruhkan bukan saja soal rasa kemanusiaan warga, tetapi juga harga diri negara di depan publik maupun dunia internasional.

Di mana pun, negara demokrasi tidak bisa pernah eksis dengan humus kekerasan dan segala pembiarannya. Ia hanya hidup dan kuat oleh rasa keadilan yang dijunjung pemerintahnya tanpa pandang bulu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar