Selasa, 26 Maret 2013

Gunung Es Harta Haram Polisi


Gunung Es Harta Haram Polisi
Laode Ida  ;  Wakil Ketua DPD RI
KORAN SINDO, 26 Maret 2013

  
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Irjen Polisi Djoko Susilo (DS) tampaknya sangat nahas.  Kini ia jadi tahanan KPK, tersangka korupsi proyek simulator pengadaan SIM, hartanya disita, dan beberapa istri mudanya bukan saja tersingkap ke publik, melainkan juga terpaksa berhadapan dengan proses hukum. Soalnya harta para selir itu tampaknya juga dicurigai berasal dari sumber ilegal alias “haram” sehingga bukan mustahil semua yang sebelumnya dinyatakan “milik para istri” juga akan beralih status ke milik negara. Harta DS memang diperkirakan mencapai lebih dari Rp100 miliar, sungguh sangat fantastis. 

Secara logis dan empiris, besaran harta seperti itu tak bisa diterima akal sehat jika dibandingkan dengan total pendapatan resmi dari seorang perwira tinggi polisi. Sangat beralasan ketika resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, jejak-jejak harta yang terkait DS ditelusuri dan (sebagian) sudah ditemukan. Cara KPK ini mungkin akan sangat efektif menciptakan efek jera pada koruptor dengan “memiskinkan” dan mempermalukan pelakunya serta mengembalikan harta rampokan koruptor itu pada negara. 

Pertanyaannya, apakah DS hanya individu oknum yang berperilaku menyimpang dan korup ataukah sudah jadi semacam trenperilaku kolektif di intern Polri di mana satu sama lain sudah saling tahu sama tahu (TST)? Ataukah juga perilaku seperti itu produk dari sebuah sistem yang selama ini telah dinikmati, di mana DS hanya secara kebetulan terbuka pintu masuknya lantaran ditemukan fakta hukum terlibat korupsi proyek simulator SIM? Pertanyaan-pertanyaan itu tentu perlu dijadikan pijakan untuk selanjutnya memeriksa atau (bagi akademisi) meneliti kondisi intern Polri terkait sistem dan perilaku aktor-aktornya. 

Apalagi pada awal-awal langkah KPK menyelidiki indikasi keterlibatan DS, resistensi Polri sangat tinggi. Sampaisampai ada upaya kriminalisasi seorang penyidik KPK yang ikut menangani kasus korupsi simulator SIM (Noval, yang kebetulan anggota Polri) dengan tuduhan pernah terlibat melakukan pembunuhan saat bertugas di Bengkulu. Jika diletakkan pada perilaku DS saja, kita akan sangat terganggu dengan sistem pengawasan dan kendali perilaku dalam kepemimpinan Polri. 

Apalagi terhadap figur perwira tinggi Polri yang jumlahnya terbatas, di mana seharusnya perilaku mereka akan mudah terdeteksi, termasuk sumbersumber perolehan hartanya. Tepatnya, pimpinan Polri seharusnya tak ada alasan untuk tidak tahu menahu dengan kelakuan, perolehan harta, dan atau cara-cara korup (termasuk mark up anggaran proyek simulator SIM) yang dilakukan seorang DS. 

Atau, jika memang para kolega tidak tahu perilaku dan praktik korup DS, kepemimpinan di intern Polri sungguhsungguh lemah dan sekaligus membuka ruang untuk korup yang sekaligus bisa menguntungkan diri atau pihaknya. Pada tingkat tertentu, Presiden RI sebagai pengusul dan sekaligus mengangkat Kapolri (setelah fit and proper test oleh DPR) bisa berarti telah secara terbuka menunjukkan kekeliruannya karena memberi mandat pada figur yang tak pantas. 

Kecurigaan lain pun kemudian bisa terarah pada Presiden RI yakni mempertahankan seorang pimpinan Polri yang lemah lantaran pihaknya memperoleh cipratan atau keuntungan materi melalui jaringan oknum “yang beroperasi” pada jabatan lapis bawah. Penjelasan di atas, pada tataran praktik, bisa diterima akal sehat. Soalnya, yang menghandle secara langsung berbagai proyek atau kebijakan operasional lain “yang menghadirkan materi secara ilegal” pada dasarnya bukanlah pimpinan, melainkan figur-figur yang berperan dan berwenang di jabatan level operasional, di mana pemimpin di atasnya “tinggal terima bersih” dan “akan selalu terkesan bersih”. 

Jika ada temuan masalah dan inilah yang kerap terjadi termasuk pada kasus DS, pimpinan yang sebenarnya memperoleh “porsi harta ilegal” lebih banyak dibanding dengan figur yang menangani langsung proyeknya tetap aman-aman saja. Akan ada cerita lain, tentu saja, jika figur bawahan yang tengah nahas itu mau bernyanyi atau bukanbukan di mana hal ini juga jadi bagian yang diharapkan publik bangsa ini terhadap DS. 

Apa yang mau dikatakan di sini bahwa kasus DS boleh jadi hanya butiran gunung es di tengah perilaku dan kebiasaan korup yang berlangsung lama terjadi di intern Polri. Kita semua masih ingat misalnya terungkapnya “rekening gendut” dari sejumlah petinggi Polri yang sempat mencuat beberapa tahun lalu, di mana kini tenggelam seolah lenyap terhisap waktu. KPK pun seperti tak peduli dan terus saja membiarkan pemilik rekening gendut itu bebas menikmatinya bersama keluarga. 

Masyarakat luas juga, harihari ini, bisa menyaksikan secara langsung tampilan fisik harta (berupa rumah dan mobil-mobil pribadi nan mewah serta gaya hidup beserta keluarga yang berada di atas standar layak) dari sejumlah petinggi dan anggota Polri termasuk pimpinan Polri, namun tetap saja dibiarkan karena mungkin dianggap wajar-wajar saja. 

Presiden SBY pun tampaknya tak mau peduli atau bersikap kritis tentang semua itu sehingga wajar jika ada kritikan bahwa negara ini “surga bagi para pejabat korup” karena yang tertangkap dan dipenjarakan hanyalah mereka yang kebetulan lagi nahas. Persoalannya kemudian, instansi Polri juga terus saja diberi kewenangan untuk menjadi penyidik kasus-kasus korupsi. 

Padahal dengan fenomena di atas, seharusnya Polri sudah tidak memiliki legitimasi moral lagi untuk tetap diberi kewenangan untuk memberantas korupsi sebab bagaimana mungkin bisa membersihkan yang lain sementara dalam dirinya sendiri bercampur kotoran berbau busuk. Boleh jadi, kewenangan untuk memberantas korupsi hanyalah tameng, dan jadi “sebuah proyek” yang bisa disalahgunakan untuk, lagi-lagi, mengumpulkan harta. 

Singkatnya, jika Presiden SBY memiliki kesadaran kritis untuk membersihkan instansi polisi dari figur-figur korup, sebenarnya sudah harus mengambil langkah untuk (1) mendeteksi seluruh harta kekayaan para petinggi Polri dan (2) mengambil langkah-langkah konkret agar melepaskan kewenangan Polri menangani kasus korupsi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar