Rabu, 27 Maret 2013

Jalan (Buntu) Demokrasi?


Jalan (Buntu) Demokrasi?
Reza Syawawi  ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
TEMPO.CO, 22 Maret 2013
  

Selintas demokrasi Indonesia diklaim sebagai salah satu prestasi demokrasi kelas dunia. Namun, ibarat pepatah Minang yang mengatakan bahwa demokrasi tak ubahnya seperti adagium rancak di labuah, demokrasi kita begitu indah (rancak), tetapi hanya terlihat di luar (di labuah).

Permulaan demokrasi elektoral yang dimulai setelah lengsernya Soeharto telah membuka ruang yang begitu besar bagi lahirnya partai politik sebagai instrumen utama pendukung demokrasi. Partai politik sebetulnya telah menempuh “ujian” bagi pelaksanaan demokrasi sejak Pemilihan Umum 1999, 2004, dan 2009. Hasilnya, partai politik gagal menjadi aktor yang mengkonsolidasikan demokrasi yang bekerja dan bermanfaat untuk rakyat. Partai politik seakan bekerja sebagai institusi yang sama sekali lepas dari pengawasan publiknya sendiri. 

Dalam pemikiran Marxis, demokrasi memang dirancang untuk membuat para pemilih (electorate) merasa memiliki kekuasaan, tetapi sebenarnya mereka hanya memiliki sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk menentukan kebijakan negara (Etzioni-Halevy, 2011). Kekuasaan publik yang diputuskan dalam bilik suara hanyalah prosedural demokrasi yang tidak berikatan dengan terpilihnya seorang pejabat publik.

Aktor Korupsi
Asumsi ini layak diperdebatkan ketika partai politik justru menjadi aktor demokrasi (procedural) sekaligus sebagai aktor korupsi. Praktek korupsi yang menjerat individu tidak lagi bisa dibaca sebagai tindakan oknum, karena dari sisi jumlah pelaku sebagian besar berasal dari institusi partai politik dengan berbagai latar belakang jabatan: dari kepala daerah, anggota DPR/DPRD, hingga jabatan setingkat menteri. Partai politik sebagai aktor korupsi dari sudut pandang hukum bukanlah hal yang tidak mungkin. Partai adalah institusi yang keberadaannya diakui dan memperoleh legitimasi hukum, maka sudah sepatutnya ia tunduk kepada hukum itu sendiri.

Dalam banyak kasus korupsi, aktor yang terlibat adalah individu-individu yang memegang jabatan strategis di partai politik. Sebut saja sebagai bendahara umum, wakil bendahara, anggota dewan pembina, bahkan sebagai pucuk pimpinan partai (ketua) dan seterusnya. Posisi tersebut di atas adalah posisi yang secara organisatoris bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan arah organisasi. Jadi, bukan suatu hal yang mustahil jika perilaku individu-individu tersebut mencerminkan perilaku organisasinya. Atau, dengan kata lain, partai politik bisa dikategorikan sebagai pelaku korupsi yang dapat dijerat dengan hukum pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya menganut paham bahwa pelaku korupsi bukan hanya individu (natuurlijk persoon), tapi juga korporasi (recht persoon), baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Pendefinisian partai politik sebagai subyek dalam tindak pidana korupsi adalah bagian dari definisi korporasi, yang berarti adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi). Hal ini dipertegas kembali dalam pasal 20 ayat (2) UU Tipikor bahwa tidak pidana korupsi dilakukan korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.

Unsur ini sebetulnya sudah dipenuhi oleh partai politik yang individu, pengurus, dan anggotanya terlibat secara masif dalam berbagai kasus korupsi. Penjatuhan sanksi pun dimungkinkan berupa denda, perampasan aset, pencabutan hak-hak tertentu, hingga penutupan seluruh atau sebagian korporasi dalam jangka waktu maksimal 1 tahun.

Partai politik akan dipaksa untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik dalam jangka waktu tertentu, misalnya tidak diperkenankan mengikuti pemilu atas dasar penjatuhan hukuman pidana korupsi bagi partainya. Ini akan menjadi pintu masuk untuk memberi pelajaran bagi partai agar tidak berlaku korup. Namun, sayangnya, fakta hari ini menunjukkan bahwa penegak hukum tidak cukup mampu untuk menyeret partai politik sebagai salah satu aktor korupsi.

Jalan Buntu?
Penjatuhan pidana dalam konsep pemidanaan adalah upaya terakhir dalam rangkaian penegakan hukum (ultimum remedium). Yaitu sebagai usaha terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia, terutama para kriminal, serta memberikan tekanan psikologis bagi masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Perilaku partai politik yang cenderung korup praktis mengarahkan demokrasi menuju jalan buntu. Demokrasi akan stagnan, terhenti pada satu lajur yang dibajak oleh kawanan koruptor.

Jalan buntu ini tentu saja masih menyisakan harapan bagi partai politik untuk segera berbenah. Catatan kelam para elite partai yang terseret arus korupsi seharusnya dijadikan pelajaran di masa depan. Partai politik diharapkan lebih terbuka, lebih akuntabel, dan tentunya akan menjadi lebih dipercaya publik. Organisasi partai bukanlah milik para pengurus, anggota, maupun simpatisan, melainkan milik publik sebagai pemilih.

Elitisme dan oligarki di tubuh partai juga harus diberangus agar tidak mengembalikan partai ke jalan yang buntu. Jalan yang kembali menyeret partai politik sebagai aktor korupsi sekaligus membunuh cita-cita demokrasi yang diidamkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar