Jumat, 29 Maret 2013

Jika SBY Pimpin Partai Demokrat


Jika SBY Pimpin Partai Demokrat
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi;
Salah satu Ketua Bidang Pengembangan Cabang, BPPPerhumas
INILAH.COM, 28 Maret 2013



Jangan heran bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jadi Ketua Umum Partai Demokrat. Menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali, akhir Maret ini, kita menyimak ramainya usaha ke arah itu dilakukan para petinggi Partai Demokrat (PD).
Mereka serentak hendak mengarahkan agar Ketua Dewan Pembina PD itu secara mulus dapat menggantikan posisi Anas Urbaningrum yang lengser belum lama berselang.
Apakah posisi sebagai Ketua Umum PD menurunkan derajat SBY, itu bisa diperdebatkan. Yang jelas, tampaknya SBY sudah ‘tidak sabaran’ untuk secara serius mengambil peran yang lebih strategis guna membenahi partai yang didirikannya itu agar segera ‘come back’ dari krisis yang melandanya.
Sikap itu kelihatan, antara lain, dari polemik via pesan pendek (sms) antara SBY dengan Ketua DPR Marzuki Alie belakangan ini. Sebagai diberitakan Inilah.Com Rabu (27 Maret), di antara salah satu SMS itu, SBY mempertanyakan bahwa ada informasi yang menyebutkan Marzuki mengumpulkan Ketua DPC di Jakarta. "Saya tidak tahu apa yang menjadi agenda Pak Marzuki Alie di kala partai kita masih berada dalam cobaan seperti ini," kata SBY dalam sms itu.
Meski sempat ‘gerah’, Marzuki membantah bila dirinya bermaksud menggalang kekuatan untuk maju sebagai Ketua Umum di KLB itu. Di antara salah satu jawaban sms Marzuki kepada SBY mengatakan, bahwa ia melaporkan mereka yang datang ke Jakarta saat itu, seperti yang dimaksudkan SBY, adalah dalam rangka transit menuju Bali. “Oleh karena pesawat ke Bali tidak mudah, maka saya bantu mereka mencari tempat penampungan, sekaligus menyiapkan SURAT DUKUNGAN MEREKA, MENDUKUNG BAPAK SBY SEBAGAI KETUM SESUAI KESEPAKATAN CIKEAS, karena saya sangat tahu tidak semua DPD mampu mengendalikan DPC. Itu dilakukan oleh Pak Opat (Syofwatillah Mohzaib) sendiri, dengan melaporkan perkembangan kepada Mas Ibas dan juga sudah memberikan info sebelumnya ke Ibu Ani,” bunyi salah satu sms itu.
Sejalan dengan Marzuki, Syofwatillah, yang juga salah seorang Wakil Sekjen DPP PD, bilang bahwa pihaknya hanya memfasilitasi untuk transit para pengurus DPC Partai Demokrat. "Ada 99 DPC. Kawan-kawan minta tolong difasilitasi, ya kita fasilitasi," kata Syofwatillah.
Bagaimana pun, kelihatannya Marzuki, sebagaimana banyak elite PD yang lain, sadar bahwa SBY memang harus didukung untuk menduduki posisi Ketua Umum PD yang baru. Sejak jauh hari sebelum KLB itu pun berbagai upaya untuk melancarkan proses ke arah itu sudah dilakukan berbagai pihak. Kalau pun tidak secara aklamasi, minimal SBY didukung mayoritas suara yang hadir.
Namun sebenarnya yang penting bagi PD bukan hanya siapa yang menjadi Ketua Umum pengganti Anas Urbaningrum. Yang menjadi soal adalah apakah partai itu bisa benar-benar ‘come-back’, dan bagaimana caranya agar ia segera muncul kembali sebagai partai yang dipercaya pemilih, dan disegani. Bisakah ia segera meraih kembali reputasinya sebagai partai rakyat, setelah krisis yang menimpanya belakangan ini?
Untuk itu, ada banyak saran yang dikemukakan para ahli dalam menangani krisis semacam itu. Di antaranya, yang populer adalah empat langkah berikut, yang mungkin bisa dilakukan Partai Demokrat guna memulihkan reputasinya. Keempatnya adalah: membuat respon, mengakui secara jujur dan menyesali apa yang terjadi (regret), membayar ‘ganti rugi’ atau hutang-hutang akibat kesalahan yang terjadi sebelumnya (restitusi), melakukan pembenahan dan penyesuaian secara fundamental (reformasi), sehingga ‘sehat kembali’ ke situasi normal (recovery).
First thing first. Melakukan respon sebagai langkah awal menanggapi kejadian yang ada sangatlah penting. Secara umum, setiap organisasi yang menunjukkan simpati kepada korban (dalam setiap krisis) akan memperoleh empati dari khalayaknya. Dalam kaitan dengan PD (dan juga partai politik yang lain), korbannya adalah rakyat, yang sakit hati karena merasa dikhianati wakil mereka di DPR. Akan halnya PD, tampaknya sejauh ini partai itu belum pernah membuat reaksi ke luar secara gamblang, mengakui kesalahan yang dilakukan kadernya yang terjerat korupsi.
Jadi, selayaknya PD mengakui kesalahan itu. Kemudian, menyampaikan penyesalan. Memang ada kalanya petinggi atau pengacara (lawyer) sebuah organisasi kuatir bahwa penyesalan dianggap sebagai ‘pengakuan berbuat salah’ yang bisa berujung pada tuntutan hukum dan membawa konsekuensi biaya. Selain itu ‘kerusakan’ (damages) yang terjadi bisa mengakibatkan munculnya biaya restitusi tambahan.
Padahal tidak seharusnya selalu begitu. Penyesalan dan permintaan maaf secara tulus tetap bisa tampak elegan. Petinggi PD misalnya, bisa mengakui adanya sejumlah oknum yang mencederai nama baik partai lewat tindakan korupsi. Dan itu jelas salah dan memalukan. “Kami belum tahu apa yang menyebabkan sejumlah kader melakukan hal itu, selain karena sikap rakus mereka,” begitu kira-kira yang dapat disampaikan. Lalu tambahkan, “Tapi kami sangat menyesalkan hal itu, dan menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi kader PD yang melakukan tindak pidana, apa pun bentuknya, dan sekecil apapun itu. Itu sebabnya kami haruskan semua kader pada Pemilu 2014 mendatang menandatangani Pakta Integritas.”
Seringkali reformasi permanen perlu dilakukan secara sangat mendasar, dan tak bisa hanya dengan mengelola insiden. Tindakannya mesti bersifat makro. Pimpinan organisasi harus selalu melihat jauh ke depan (manage for tomorrow), kepada hasil akhir (outcome) yang diharapkan yang sering membawa konsekuensi munculnya penambahan biaya, tenaga dan waktu ekstra.
Memang itu tidak mudah. Sebab saat krisis lazimnya segala hal jadi seperti mengkerut atau menjadi kerdil. Reputasi, kepemimpinan, integritas, dan juga loyalitas orang dalam dan khalayak (pemilih) semuanya mengecil. Repotnya lagi, selama krisis, semua faktor-faktor itu berada dalam tegangan yang amat tinggi. Itu sebabnya, reaksi pertama saat organisasi Anda ditimpa krisis, Anda bisa kecewa, marah, atau panik. Anda juga kehilangan kontrol pada apa yang terjadi di tengah masyarakat, dan kecenderungan berlindung di balik para pengacara (lawyers).
Sebaliknya, pada saat organisasi Anda ditimpa krisis itu, muncul serbuan dari media yang tidak sabar menunggu untuk terus mengajukan pertanyaan, karena semua pihak menganggap Anda pasti tahu apa yang terjadi. Saat itu seolah semua orang merasa punya hak ‘untuk tahu’ (right to know), tapi jarang ada yang peduli apa yang Anda rasakan.
Repotnya, setelah krisis terjadi, bukti-bukti menunjukkan bahwa pimpinan organisasi sering mengulangi kesalahan fatal yang sama. Mereka gagal menengarai bahwa bibit krisis sebenarnya telah bercokol lama sebelum ia menjadi headline berita. Mereka tidak memperhitungkan ‘biaya’ sebenarnya yang harus dibayar bila krisis terjadi. Selain itu, kebanyakan mereka lebih mengedepankan pembelaan diri (self-defense) ketimbang membela reputasi brand-nya.
Kesalahan-kesalahan itu lazimnya disebabkan sikap komunikasi model lama yang keliru, yakni bahwa mereka (pengelola organisasi) terlalu yakin akan dapat membahas dan memperbincangkan (secara lisan) jika ada sebuah problem muncul. Sebaliknya, justru banyak krisis yang terjadi di dunia membuktikan dalil lama bahwa, “tindakan lebih fasih ketimbang kata-kata”.
Walhasil, kita lihat saja, apakah Partai Demokrat bisa mengelola krisisnya lewat kepemimpinan baru ini. Keberhasilan survive-nya reputasi dalam sebuah organisasi saat krisis tergantung kepada budaya internalnya, kekuatan komunikasinya dan integritas kepemimpinan organisasi itu.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar