Rabu, 27 Maret 2013

Kekerasan Makin Mencemaskan


Kekerasan Makin Mencemaskan
Bagong Suyanto  ;  Dosen Sosiologi FISIP Unair
KORAN SINDO, 27 Maret 2013
  

Ketika hukum tak lagi memberikan jaminan rasa aman, dan ketika masyarakat dihadapkan pada situasi anomie, maka konsekuensi yang terjadi adalah munculnya tindak-tindak kekerasan yang makin sulit diterima akal sehat. 

Gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity), belakangan ini terus bermunculan bahkan dengan skala benar-benar mencemaskan. Kasus mutilasi, pembunuhan diikuti tindakan mengubur korban di rumah, pemerkosaan, dan kasus tindak kekerasan lainnya di berbagai wilayah, termasuk kasus penyerbuan Lapas Cebongan, Sleman, 

DIY Yogyakarta oleh sekelompok orang berpakaian ninja yang memberondong 4 napi hingga tewas. Meski terjadi secara terpisah, sesungguhnya satu sama lain memiliki sebuah keterikatan, yakni indikasi dari pergeseran sikap masyarakat yang makin terbiasa menyelesaikan segala persoalan melalui kekerasan dan senjata. 

Tindak kekerasan seperti kasus seorang yang tega memutilasi korban, secara sosiologis diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan ekspresif, yakni kekerasan dilakukan pelaku karena ketidakmampuan mereka mengendalikan amuk psikologis dan dendam kesumat yang berkecamuk di kepala mereka secara rasional. Tetapi, tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang secara terencana, terorganisasi, dan terlatih, tentu bukan termasuk tindak kejahatan ekspresif. 

Ini adalah tindak kejahatan yang sifatnya instrumental, memiliki tujuan tertentu yang jelas, sehingga latar belakangnya pasti bukan karena dirasuki perasaan cemburu dan semacamnya, melainkan lebih didorong faktor power abuse, bercampur dengan keinginan untuk mengekspresikan rasa superior yang terganggu. Ditambah faktor solidaritas terhadap nasib sesama teman yang sebelumnya menjadi korban kejahatan orang lain. 

Dalam pandangan psikologi klasik, kekerasan, perilaku sadistik, kejahatan dan semacamnya atau yang disebut perilaku agresif manusia, pada dasarnya diyakini terjadi karena insting bawaan yang telah terprogram secara filogenetik (Lorenz, 1966). Menurut teori insting ini, agresi —termasuk di dalamnya tindak kekerasan— berasal dari dorongan fitrah biologis manusia untuk bertindak me-rusak dan destruktif. 

Sigmund Frued (1915) misalnya, mengemukakan bahwa agresi manusia pada dasarnya berasal dari insting thanatos atau keinginan untuk mati (death wish) yang dimiliki setiap manusia secara alamiah. Sedangkan menurut Konrad Lorenz, agresi sesungguhnya bersumber dari semangat bertempur (fighting spirit) yang dimiliki manusia seperti juga spesies binatang lain (Khisbiyah, 2000). 

Memang, pada masyarakat yang telah mengenal budaya dan berbudaya, naluri biologis manusia untuk bertindak agresif sering dapat diendapkan dan disublimasi secara simbolis dalam bentuk peraturan dan tatanan yang mendasari terwujudnya sebuah kehidupan bersama yang stabil, harmonis, dan damai. Akan tetapi, apabila suatu saat stabilitas hubungan sosial dan organisasi kehidupan mengalami kemerosotan, sementara saluran untuk menyelesaikan konflik seolah buntu, maka kendali tatanan nilai normatif yang menguasai hubungan sosial menjadi lemah. 

Akibatnya, desakan nafsu agresif yang berada di bawah sadar diri manusia, lepas tak terkendali dalam bentuk tindakan kekerasan atau tindakan lain, dan melampaui batas-batas kemanusiaan (Suryo, 2000). Seperti dikatakan para pendukung neoinstingtifisme, bahwa insting manusia selalu berupaya mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk melampiaskannya. 

Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan serba keras, dan dididik dalam tradisi yang kaku, besar kemungkinan akan tumbuh dan terbiasa untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kekerasan. Mengapa demikian? Berbeda dengan pendekatan psikologis yang lebih menekankan kesalahan pada faktor subjektif orang per orang sebagai pendorong munculnya tindakan agresif. 

Pendekatan sosiologis lebih memahami penyebab munculnya tindakan kekerasan sebagai respons terhadap kondisi lingkungan sosial. Dalam banyak kasus, yang namanya manusia umumnya rentan dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial di mana dia hidup. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban tindakan child abuse, atau hidup dalam sebuah institusi yang menghalalkan tindakan kekerasan, tidak mustahil ketika dewasa tanpa sadar akan cenderung bertindak agresif dan melakukan berbagai kekerasan kepada orang lain. 

Seperti yang sering dia alami di masa lalunya. Dengan kata lain, menurut pandangan sosiologis agresi pada dasarnya terbentuk karena pembelajaran dari lingkungan sekitarnya, melalui pengalaman atau mengamati perilaku orang lain. Secara teoritis, kecenderungan melakukan kekerasan dan agresi jahat untuk menghancurkan orang lain, sebetulnya dapat dikurangi substansinya bila kondisi sosial ekonomi di sekitar manusia menguntungkan dan mampu mengonstruksi pikiran manusia agar tetap conformpada norma dan hukum yang berlaku. 

Namun, lain soal ketika lingkungan di sekitar mereka dinilai tidak adil, ada orang-orang yang justru hidupnya lebih baik daripada mereka meski lewat cara keliru. Maka, jangan kaget jika respons yang terjadi kemudian benarbenar di luar nalar. Melakukan aksi kekerasan, menggelar tindakan balas dendam, dan lainlain adalah pilihan-pilihan tindakan yang sering kali dipilih seseorang ketika latar belakang kehidupannya memang mendidik mereka melakukan halhal seperti itu. 

Terlepas siapa nanti yang harus bertanggung jawab dan diproses hukum karena melakukan tindak kekerasan melewati batas. Yang jelas di Tanah Air ini sejak suasana euforia mulai merambah sendi-sendi kehidupan masyarakat, konflik mulai meletup di berbagai wilayah, tindakan kekerasan yang berkembang di masyarakat kian lama justru kian populer, bahkan menjadi semacam kebudayaan. 

Untuk mengeliminasi agar tindak kekerasan serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari, yang dibutuhkan tentu bukan sekadar tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan negara untuk menangani setiap kasus tanpa pandang bulu. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana masyarakat dan seluruh institusi masyarakat yang ada —termasuk institusi atau lembaga penegak hukum— untuk melakukan dekonstruksi dan kemudian merekonstruksi tumbuhnya nilainilai nir-kekerasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Menggagas dan mengembangkan gerakan damai, anti kekerasan, dan lain sebagainya harus diakui bukan hal yang mudah. Tanpa didukung kesediaan semua pihak untuk mewujudkannya, niscaya di kemudian hari masih akan muncul kasus-kasus serupa yang tak kalah mencemaskan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar