Kamis, 28 Maret 2013

Kenetralan Media Massa


Kenetralan Media Massa
Triyono Lukmantoro ;  Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 28 Maret 2013
  

NETRALITAS media massa selalu menjadi bahan perdebatan tiap kali berlangsung kontestasi politik, tidak terkecuali dalam Pilgub Jateng 2013. Hal itu menunjukkan masyarakat memiliki harapan bahwa media bisa menjaga jarak dengan semua pihak yang terlibat dalam kompetisi politik tersebut. Semua pasangan kandidat memperoleh sorotan yang sama dari media, baik dari sisi positif maupun negatif. Media diinginkan tidak menjadi instrumen propaganda dari calon tertentu.

Apakah itu mudah dilakukan? Mungkinkah media netral? Secara akademis, netralitas media bahkan tidak cukup dikenal dalam kajian jurnalisme. Beberapa konsep yang populer dalam domain ini adalah keberimbangan (balance), ketidakberpihakan (impartiality), keadilan (fairness), dan obyektivitas (objectivity). 

Seluruh definisi yang berlandaskan pada kalkulasi moralitas tersebut mempunyai tujuan yang sama, yakni media harus benar-benar menunjukkan sikap independen. Kepentingan publik merupakan prioritas yang harus diperhatikan media mengingat posisi media memang menjadi suara publik.

Netralitas, sebagaimana ditulis Oxford Advanced Learner's Dictionary (2010), adalah keadaan tidak membantu salah satu pihak dalam ketidaksepakatan, kompetisi, dan sebagainya. Dari rumusan yang serbaringkas itu, netralitas memuat pengertian tentang kemampuan subjek sosial dalam menjaga jarak ketika terjadi pertikaian atau persaingan. Media, sebagaimana menjadi sifat dasarnya, harus mampu berkedudukan sebagai penutur cerita yang tidak menunjukkan kecenderungan membenci ataupun memfavoritkan mereka yang terlibat dalam persaingan politik.

Menjadi Kesadaran

Media yang bisa menunjukkan netralitas, sebenarnya, bukan sekadar jargon atau harapan publik. Netralitas merupakan imperatif (kewajiban) yang mengikat seluruh pihak yang terlibat dalam produksi pemberitaan di media. Artinya adalah jika publik sekalipun tidak menuntut media bersikap netral, media tetap memiliki otonomi untuk membuktikan mereka tidak menyokong kandidat tertentu. 

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa netralitas bukanlah hasil paksaan dari luar, melainkan telah menjadi kesadaran yang melekat dalam kinerja pengelola media. Netralitas tidak lagi menjadi doktrin yang berkedudukan sebagai keharusan yang demikian memaksa, melainkan telah menjadi pertanggungjawaban profesional.

Konsekuensi dari netralitas sebagai wujud profesionalisme adalah keharusan tidak membantu pihak-pihak yang berkompetisi memiliki pendasaran etisnya. Ketika media menunjukkan pemihakan maka hal yang paling rentan terjadi adalah manipulasi fakta. Padahal, persoalan ini me-rupakan hal yang amat ditabukan. Mereka yang didukung media akan memperoleh bahasa pemberitaan yang serbabaik. Sebaliknya, mereka yang tidak didukung media akan gampang mendapatkan cita rasa semburan linguistik yang sangat memojokkan.

Bahkan, jika dipandang dari dua teori utama etika yang saling bertentangan, netralitas media justru sama sekali tidak menghasilkan perdebatan etis. Pertama; dari perspektif etika deontologi (kewajiban), netralitas media merupakan keharusan. Tanpa melibatkan saran-saran pihak lain dan berbagai kalkulasi untung rugi atau disukai dibenci, netralitas media merupakan kemutlakan. 

Kedua; dari sudut pandang etika bertujuan (teleologi), netralitas media justru sangat memberikan keuntungan bagi publik. Pasalnya, etika ini memperhitungkan akibat suatu tindakan. Jika suatu perbuatan memberikan kebaikan bagi banyak orang maka dapat dibenarkan. Lebih dari itu, netralitas media mampu memberikan kebahagiaan paling besar bagi jumlah orang terbanyak.

Dari sisi etika, pertanyaan tentang netralitas media tidak dijawab dengan sajian argumentasi yang berisi kemungkinan. Etika secara meyakinkan memberi penegasan bahwa netralitas media adalah keharusan dan memberikan kebaikan bagi masyarakat. Tentu saja, jawaban etis bisa saja dianggap terlalu ideal. 

Dalam kenyataannya, pengelola media dihadapkan pada kenyataan konkret yang tidak mudah direspons melalui sikap dan tindakan baik buruk. Bagaimana bisa netral dan mengapa netralitas media harus dijaga menjadi gugatan pertanyaan terhadap tuntutan moral ideal itu.

Netralitas media sulit dijalankan bila melihat dua hal yang saling berkaitan. Pertama; secara internal, beberapa individu pengelola media mungkin punya interest tertentu dalam kompetisi politik. Mereka memiliki kedekatan personal dan keinginan membantu kemenangan pihak-pihak yang memperebutkan jabatan. Peluang itu tergantung pada struktur kewenangan dan peran-peran organisasional yang bisa untuk dimainkan. 

Kedua; secara eksternal, terdapat persoalan ekonomi politik yang sangat mungkin memengaruhi kebijakan redaksional media. Dalam wilayah ini iklan-iklan politik dari kandidat tertentu bisa memengaruhi independensi pemberitaan. Terlebih lagi ketika iklan politik telah diperlakukan sebagai penghasilan utama media.

Memang, tidak mudah menjaga netralitas media massa. Kepentingan sejumlah pihak pengelola dan problem ekonomi politik yang melingkupi media menjadikan netralitas sebagai pembicaraan yang terlalu moralistik. Tetapi bisakah media tanpa moralitas mempunyai klaim yang sahih untuk menyuarakan kepentingan publik?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar