Kamis, 28 Maret 2013

Ketika Hukum Tumpul ke Atas


Ketika Hukum Tumpul ke Atas
Umar Sholahudin  ;  Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, 
Penulis Buku “Hukum dan Keadilan Masyarakat” (2011)
 
KORAN SINDO, 28 Maret 2013
  

Garangnya para penegak hukum sudah dimulai sejak proses penyidikan di polisi. Sebut saja ketika ada orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan –yang motifnya sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau tindak pidana ringan lainnya, polisi langsung memproses hukum, bahkan kerap kali pelaku langsung ditahan. 

Alasan normatif “kaku” yang sering kali dipakai adalah karena alasan objektif dan alasan subjektif. Dua alasan ini yang sering pula diterapkan berlawanan ketika menangani pelaku yang berbeda kasta. Penerapan alasan ini juga yang diterapkan pada kasus mbah Minah, Basar-Kholil, Aal, dan kaum papa lainnya. Sementara, sebaliknya aparat penegak hukum sangat lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. 

Sebut saja kasus-kasus mega skandal pembobolan bank, pajak APBN/D, atau kasus hukum yang melibatkan anak pejabat, misalnya kasus Rasyid Rajasa. Saat ini, praktik ketidakadilan hukum yang cukup telanjang adalah kasus Rasyid Rajasa terdakwa dalam kasus tabrak mati awal Januari 2013. Sejak awal, ketidakadilan hukum sudah mulai menguap; mulai dari proteksi pelaku ketika kecelakaan lalu lintas terjadi, kejadiannya cenderung ”ditutup-tutupi”. 

Mulai proses hukum di kepolisian, sang pelaku atau tersangka tidak ditahan dengan alasan subjektif polisi, padahal menimbulkan korban meninggal. Bagi polisi, pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak melakukan perbuatan yang sama. Dalam proses penyidikan di kepolisian, sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan kebanyakan pelaku yang lainnya dengan kasus serupa. Perlakuan hukum yang sama juga terjadi di kejaksaan. 

Tersangka juga tidak ditahan dengan alasan yang nyaris sama pada saat penyidikan. Pada proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang membuat heran masyarakat luas adalah dasar hukum dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Rasyid dikenakan dakwaan primer Pasal 310 Ayat 4 subsider Ayat 3 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai Kelalaian Dalam Mengemudi Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia, dengan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 2 Undang- Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai Kelalaian Yang Menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Korban Luka Ringan Dan Kerusakan Kendaraan. 

Atas dasar ini, Rasyid dituntut delapan bulan dengan masa percobaan 12 bulan. Akhirnya hakim PN memvonis Rasyid bersalah dengan hukuman lima bulan dengan masa percobaan enam bulan. Artinya, putra Hatta Rajasa itu tidak menjalani enam bulan di penjara jika selama 12 bulan tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama. Rasyid pun tak akan ditahan. 

Publik langsung terperangah melihat tuntutan JPU dan vonis hakim yang ”super” ringan tersebut. Dari tuntutan dan vonis itu, secara yuridis normatif memang tidak ada yang keliru. Namun, tuntutan dan vonis tersebut tentunya sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana seandainya kasus yang sama dialami selain Rasyid. Fakta membuktikan, dengan kasus yang sama pelakunya dihukum cukup berat. 

Ketidakadilan Hukum 

Keadilan hukum bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang yang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elite). Keadilan hukum hanya dimiliki orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil bahwa Downward law is greater than upward.

Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas atas atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187). Fenomena ketidakadilan ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. 

Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk. 

Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). 

Praktik-praktik penegakan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. 

Namun, kenyataannya hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elite. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undangundang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. 

Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda (baca: berhukum dengan UU/pasal) yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat. Karena itu, di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara ini yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, 

sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic positivistic, yakni cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008) disebut sebagai penerapan hukum progresif. 

Salah satu aksi progresivitas hukum adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar