Rabu, 27 Maret 2013

Kudeta dan Media


Kudeta dan Media
Nurudin  ;  Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
REPUBLIKA, 26 Maret 2013


Isu kudeta yang digulirkan elite politik dan disiarkan media massa ternyata mempunyai dampak yang luar biasa. Tidak saja para pejabat tinggi yang memberikan komentar menyangkal adanya kudeta itu, tetapi juga masyarakat yang harap-harap cemas.  Kecemasan masyarakat itu beralasan, harga kebutuhan sehari-hari, seperti bawang, melonjak naik, bagaimana jika terjadi kudeta? Pemikiran pragmatis memang, tetapi nyata terjadi.

Mencermati isu kudeta memang penting. Tetapi, isu itu tidak akan mempunyai harga sama sekali kalau tidak ada peran media. Dengan kata lain, menjadi penting dan berharga atau tidak isu kudeta itu sangat ditentukan bagaimana media mengemasnya. Mengapa media? Mengapa presiden perlu mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang akan mengguncang pemerintahannya kepada media massa?

Pertama, presiden dalam keadaan cemas melihat gerakan- gerakan perlawanan yang mengarah pada penuntutan dirinya mundur. Sebenarnya, ketidakpuasan pada pemerintah sudah ada sejak lama. Kedua, presiden sedang bermain dadu, siapa tahu dengan melontarkan menggoncang pemerintahan (baca: isu kudeta) semua akan terbuka. Dengan kata lain, siapa kawan dan siapa lawan (dalam politik) akan terlihat. Komentar-komentar yang bermunculan mengindikasikan siapa yang berada di pihak presiden dan siapa yang menentang. Di samping itu, isu kudeta tersebut juga sebagai salah satu upaya agar `macan yang selama ini tidur' bisa diketahui keberadaannya untuk persiapan antisipasi keadaan.

Yang menarik dari kenyataan di atas bukan pada pernyataan presiden, tetapi mengapa presiden mengemukakannya ke publik, dan mengapa pula media massa dibiarkan untuk menyebarkannya? Dalam hal ini kita patut mengungkapkan satu fakta akan kekuatan dari media massa. Kata Marshall McLuhan, media massa itu the extension of man (penyebarluasaan hasrat, keinginan seseorang). Media massa mempunyai fungsi seperti manusia dalam skala yang lebih luas. Jika manusia bisa berkomunikasi, media massa juga demikian, bahkan dalam skala yang lebih luas. Jika manusia bisa memerintah, media juga bisa, bahkan dalam cakupan yang lebih besar. Inilah kekuatan media massa. 

Jika apa yang dilakukan oleh presiden itu sebuah kecemasan karena akan ada kudeta, berarti media massa mempunyai fungsi sebagai anjing yang bertugas mengendus berbagai masalah yang selama ini belum terungkap ke permukaan. Mengapa begitu? Karena, daya endus media massa lebih tajam.
Ini sama dengan polisi yang mencari para tersangka teroris. Kalau mencari sendiri, sangat mungkin mereka akan mengalami kesusahan. Jika keinginan itu diberitakan lewat media massa, masyarakat yang membaca dan melihat tersangka teroris yang dimaksud bisa ikut mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang. 

Komoditas

Kalau kenyataannya bahwa media massa telah digunakan oleh presiden atau elite politik untuk meraih tujuan, apakah media massa telah menjual diri kepada `penguasa'? Nanti dulu. Tanpa presiden mempunyai kepentingan kepada media massa, segala sesuatu yang berhubungan dengan kepala negara jelas mempunyai nilai berita (news value). 

Dari kenyataan ini, media massa tidak berada dalam posisi bersalah karena me mang ada nilai berita dari apa yang dikatakan elite politik. Jika ada politisi mengatakan "saya tidak korupsi," itu juga fakta berita dan mempunyai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau salah. Yang jelas, ada fakta, ada seorang politisi mengatakan bahwa ia tidak korupsi. Lalu bagaimana agar media tidak menjadi `alat' untuk meraih tujuan-tujuan terselubung para elite politik? 

Media tentu mempunyai pilihan-pilihan dalam memberitakan sebuah fakta, mengapa ia memilih berita ini dan mengapa tidak memilih berita itu. Media jelas mempunyai pilihan berdasarkan kepentingan, tujuan, dan target media itu sendiri. Makanya, ada media yang pekerjaannya `menyiarkan seremonial' partai tertentu karena memang milik `penguasa' partai tertentu, ada juga yang kritis. Ini menyangkut kepentingan media dan semua media mempunyai kecenderungan seperti ini.

Ignas Kleden (1987) bahkan pernah mengungkapkan, "Sebuah koran (baca juga: media elektronik) tidak dapat `bebas nilai'." Setiap penerbitan surat kabar mempunyai seperangkat nilai yang menjadi preferensinya, baik sebagai dasar visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai kriteria untuk melakukan kriteria terhadap diri sendiri. 

Adalah preferensi nilai yang menentukan mengapa suatu kejadian diberitakan secara singkat dan mengapa pula berita satu diberi konteks `a', sedang yang lain diberi konteks `b'. Dengan lain perkataan, preferensi nilai adalah unsur kontributif yang menentukan watak dan kepribadian suatu pemberitaan. 

Namun demikian, media tentu tidak boleh menjadi alat untuk komoditas politik elite politik. Jika media tidak mempunyai sikap, ia hanya akan menjadi agen `penjualan' berita. Sebut saja dengan istilah komoditas berita `pesanan'. Siapa yang membayar, itulah yang akan diberitakan. Jika sudah demikian, independensi untuk meraih reputasi media di mata pembaca atau audiens akan mengalami kemerosotan.

Bagaimana agar media bisa mempunyai reputasi yang tinggi? Media harus memberitakan sesuatu yang bermakna. Sesuatu yang bermakna itu adalah media bukan sekadar memberitakan fakta linier tetapi fakta yang menyeluruh dan mencakup. Misalnya, media memberitakan proses latar belakang, proses dan riwayatnya, dan mengait kannya dengan yang lain. 

Dengan cara seperti itu, sebuah berita bukan sekadar informasi tentang fakta telanjang, tetapi sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa. Pencarian makna berita serta penyajian makna berita itulah yang masih menjadi pekerjaan rumah dan tantangan media saat ini. Jika media melakukan peliputan bermakna sebagaimana di atas, ia akan terhindar dan tertuduh sebagai agen komoditas fakta-fakta politik untuk tujuan-tujuan politik sesaat pula.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar