Jumat, 29 Maret 2013

Kuota Impor Vs Bea Masuk Perlindungan Produsen Dalam Negeri


Kuota Impor Vs Bea Masuk
Perlindungan Produsen Dalam Negeri
Syahril Sabirin ;  Mantan Gubernur Bank Indonesia
MEDIA INDONESIA, 28 Maret 2013


JAMAK sekali terdengar suara yang meneriakkan per juangan untuk melindungi petani, peternak, atau produsen dalam negeri lainnya. Suara perjuangan itu sangatlah wajar. Mereka menuntut agar impor dilarang atau dibatasi supaya produsen dalam negeri lebih leluasa memasarkan hasil mereka dengan harga yang lebih baik. Tuntutan itu juga sangat wajar dan dapat dimengerti.

Maka bergeraklah pemerintah dengan menetapkan kuantitas barang yang boleh diimpor dalam satu tahun tertentu, ditunjuklah importir-importir yang boleh mengimpor barang tersebut, dan diberilah tiap importir itu jatah untuk mengimpor dengan total keseluruhan tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan. Selesai, semua beres.

Produsen dalam negeri terlindungi, tuntutan-tuntutan pembela petani dan produsen dalam negeri juga terpenuhi. Semua puas. Jeritan konsumen mengeluhkan harga-harga yang tinggi memang sekalisekali juga terdengar, tetapi tidak mempunyai gema yang menggegerkan.

Sekali-sekali terjadi pula kesalahan perkiraan jumlah stok atau jumlah produksi, atau terjadi keterlambatan mengimpor atau mengeluarkan barang dari pelabuhan, sehingga harga-harga di dalam negeri melambung tinggi, seperti yang baru-baru ini dialami daging sapi dan bawang baik merah maupun putih.

Jika itu terjadi, pemerintah buru-buru bergerak menambah impor atau melepaskan barang impor yang tertahan, atau mungkin sengaja ditahan, di pelabuhan. Barang-barang itu lantas mengalir ke pasar dan harga diharapkan kembali `normal'. Sistem pembatasan kuantitas impor (kuota impor) yang berlaku itu pun tetap berlaku.

Kelihatannya semuanya itu wajar dan sederhana. Namun, apakah cara perlindungan produsen dalam negeri seperti itu merupakan cara yang terbaik, ataukah ada cara lain yang lebih baik untuk mencapai tujuan yang sama?

Sebetulnya ada pertanyaanpertanyaan lain yang juga memerlukan jawaban. Salah satunya ialah apakah petani atau peternak dalam negeri yang ingin dilindungi itu betulbetul merasakan manfaat dari kebijakan pembatasan impor tersebut.

Siapa Diuntungkan?

Setiap kebijakan yang membatasi ketersediaan barang di dalam negeri pasti akan membebani konsumen karena mereka harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Karena dalam setiap kebijakan ekonomi itu pasti ada pihak yang diuntungkan dan ada pula pihak yang dirugikan.

Dengan logika sederhana tanpa memerlukan pengetahuan ilmu ekonomi yang rumit, dengan mudah dapat dilihat bahwa ada perbedaan harga yang bisa cukup besar antara keadaan apabila impor tidak dibatasi dan keadaan apabila impor dibatasi.

Misalnya, harga daging bisa berbeda antara Rp40 ribu dan Rp80 ribu per kilogram (kg), dan harga bawang bisa berbeda antara Rp20 ribu dan Rp50 ribu per kg. Dengan mudah pula kita lihat bahwa contoh tadi menunjukkan harga daging di m luar negeri sekitar Rp40 ribu l dan harga bawang Rp20 ribu per kg karena harga di dalam negeri pada umumnya akan sama dengan harga di luar negeri apabila impor tidak dibatasi.

Jadi, dengan kuota impor, para importir yang diberi hak khusus untuk mengimpor membeli daging dan bawang di luar negeri dengan harga Rp40 ribu untuk daging dan Rp20 ribu untuk bawang dan menjualnya dengan harga Rp80 ribu dan Rp50 ribu. Jadi, keuntungan, yang bisa luar biasa besarnya, diraup para importir yang diberi hak istimewa untuk mengimpor itu!

Gambar di atas menunjukkan jika impor tidak dibatasi, harga yang akan terjadi sama dengan harga produk impor, yaitu P1. Pada harga itu, jumlah yang bisa disuplai produsen dalam negeri, sesuai dengan kurva penawarannya, ialah Q1, dan kuantitas produk impor yang dikonsumsi ialah Q4-Q1 (selisih antara Q4 dan Q1).

Apabila pemerintah menetapkan kuota impor sebesar Q3-Q2, secara analisis itu berarti pergeseran kurva penawaran (produk dalam negeri + impor) menjadi S1. Dengan demikian, harga akan naik menjadi P2 dan kuantitas yang akan dibeli (dikonsumsi) ialah Q3, yaitu pada pertemuan kurva permintaan dan kurva penawaran.

Dari jumlah itu, produsen dalam negeri menyuplai Q2, dan dari impor akan disuplai sebesar kuota, yaitu Q3-Q2. Jelas kelihatan berapa besarnya keuntungan yang diperoleh para importir terpilih yang memperoleh jatah untuk mengimpor tersebut dengan kenaikan harga dari P1 men jadi P2 karena biaya mereka ialah P1 dan mereka menjual seharga P2. Dalam hal daging sapi, misalnya, selisih antara P2 dan P1 bisa mencapai Rp40 ribu atau lebih per kg dan kuantitas impor, Q3-Q2, mencapai puluhan ribu ton, maka keuntungan yang diperoleh para importir bisa mencapai Rp3 triliun atau Rp4 triliun dalam satu tahun!

Dalam grafik itu, keuntungan tersebut ialah sebesar segi empat a-b-c-d. Sebagai catat TIYOK an, pemerintah dapat pula membebani importir yang terpilih dengan biaya tertentu sesuai dengan jatah kuota yang diperoleh sehingga keuntungan yang mereka peroleh menjadi berkurang.

Sebagai catatan kedua, produsen dalam negeri juga memperoleh keuntungan dengan kenaikan harga menjadi P2 dan pada harga itu suplai mereka bertambah menjadi Q2. Namun, keuntungan produsen dan kenaikan produksi dalam negeri tersebut memang merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan kuota impor itu.

Moral Hazard

Di dalam ilmu ekonomi dikenal apa yang disebut sebagai moral hazard (`daerah' bahaya/rawan untuk terjadinya pelanggaran/penyelewengan) yang mungkin terkandung di dalam peraturan-peraturan yang diberlakukan pemerintah. Undang-undang atau peraturan yang baik ialah undang-undang atau peraturan yang tidak mengandung moral hazard.

Aturan mengenai kuota impor jelas mengandung moral hazard! Dengan keuntungan luar biasa yang dapat diperoleh para importir yang mendapat izin untuk mengimpor, pasti ada perburuan untuk memperoleh izin impor itu.

Perburuan itu bukannya tidak mungkin dengan menawarkan `bagi-bagi keuntungan' alias sogok kepada para pejabat yang berwenang mengeluarkan izin serta membagi-bagi jatah kuota.
Selain kelemahan yang fatal dari sistem kuota impor berupa moral hazard tersebut, sistem kuota impor juga secara potensial dapat menimbulkan ketidakstabilan. Penetapan besar-kecilnya kuota dan penyebarannya per kuartal atau per bulan biasanya didasarkan pada besar-kecilnya stok dan produksi dalam negeri.

Statistik mengenai stok dan produksi dalam negeri itu bisa salah dan tidak up to date. Apabila kesalahan data stok dan produksi dalam negeri itu besar, besar pula kesalahan dalam menetapkan kuota impor untuk masa tersebut, dan kesalahan tersebut akan berakibat fluktuasi harga yang besar pula.

Pembebanan Bea Masuk

Tujuan yang sama seperti yang ingin dicapai dengan kuota impor sebetulnya bisa dicapai dengan kebijakan pembebanan bea masuk. Bedanya ialah dalam sistem kuota impor, keuntungan diberikan kepada pada importir, sedangkan pada kebijakan bea masuk, jumlah yang lebih-kurang sama akan masuk ke kas negara berupa bea masuk!

Dengan gamblang dapat dilihat bahwa hasil yang dicapai dengan sistem bea masuk itu untuk tujuan perlindungan produk dalam negeri persis sama dengan sistem kuota impor.

Sistem bea masuk juga mempunyai kelebihan lain jika dibandingkan dengan sistem kuota impor, yaitu bahwa pemerintah tidak perlu repotrepot (dengan biaya tinggi) memperkirakan secara cermat jumlah stok dan produksi (yang ternyata bisa salah) serta menentukan jumlah yang harus diimpor.

Jiwa bisnis para pedagang, importir, dan produsen akan dengan cermat memantau berapa dan di mana produk bersangkutan dibutuhkan, dan mereka akan melakukan langkah-langkah bisnisnya sesuai dengan hasil pemantauan-nya.

Dengan demikian, kecil kemungkinannya akan terjadi lonjakan-lonjakan harga. Selain dari itu, apabila pemerintah ingin menaikkan atau menurunkan tingkat perlindungan terhadap produksi dalam negeri, hal itu dengan mudah dapat dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan tarif bea masuk.

Penaikan atau penurunan tarif bea masuk itu dapat pula dilakukan untuk menetralkan fluktuasi harga di luar negeri, agar harga di dalam negeri tetap stabil. Begitu gamblang dan begitu sederhana, tetapi apa gerangan pertimbangan yang dipakai untuk memilih sistem kuota impor? Wallahualam bisawab.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar