Selasa, 26 Maret 2013

Low Cost Hospital


Low Cost Hospital
Rhenald Kasali  ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 26 Maret 2013



''BUKAN kamar jenazah yang saya takuti, melainkan ruang administrasi.'' Begitu yang diucapkan orang tua pasien sebuah rumah sakit.

Kekhawatiran tersebut dijawab dengan lihai oleh Gubernur DKI Jokowi dengan kartu jaminan kesehatan. Tetapi, luapan harapan untuk mendapatkan jaminan kesehatan belum juga bisa diatasi. Jumlah pasien tiba-tiba meledak. Kamar dan dokter tidak cukup. Pasien harus pindah berkali-kali dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang berarti ongkos. Ada kesan yang luas, rumah sakit enggan menerima pasien miskin. Namun, dokter mengatakan rumah sakit kekurangan kamar dan tenaga medis.

Era Low Cost 

Di televisi, dalam sebuah wawancara, Tonny Fernandez, founder AirAsia, pernah ditanya apa lagi gagasannya. Dia menjawab: low cost hospital. Ya, rumah sakit berkualitas internasional berbasis biaya yang rendah. Di dunia telco, cara yang ditempuh AirAsia sudah sejak tujuh tahun ini diterapkan. Mulanya oleh XL Com yang saat itu baru saja diambil alih Axiata dari Rajawali. Hasilnya, jumlah pelanggan telco meningkat pesat, demikian pula frekuensi percakapan dan SMS. Tetapi, bisakah metode itu dipakai di rumah sakit?

Sewaktu akan diterapkan, hampir semua penganut mazhab low cost sulit meyakinkan karyawan yang menjadi pembuat cost. Logika mereka tak masuk karena dua hal. Pertama, low cost berarti budaya kerjaan perilaku sehari-hari juga harus berubah dan tentu saja menghapus banyak kenikmatan. 

Kedua, sedikit sekali yang percaya bahwa hasil riset yang mereka pegang banyak mengandung kesalahan. Konsumen tidak menghendaki tarif yang murah, melainkan tarif yang ''supermurah'' atau bila perlu gratis, ditanggung pihak ketiga.

Para penganut mazhab low cost juga bertarung dengan banyak akademisi yang percaya bahwa high quality hanya bisa ditawarkan dengan premium price seperti yang dilakukan premium brand. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan low cost juga bisa berarti ancaman terhadap safety. Tak banyak yang mengerti bahwa low cost berarti ''berbadan sehat'', tertib administrasi, bebas korupsi, tak ada duplikasi, efisien, dan tata kelola yang baik.

Demikianlah harga yang berlaku dalam industri fashion, travel (hotel dan airlines), parfum, properti, pendidikan, dan kesehatan. Harganya harus mahal karena produsennya confused antara cost dan image (gengsi). Namun, di sisi lain, kita juga menemui fakta sebaliknya: high cost-low quality atau poor service seperti kebanyakan rumah sakit pemerintah. Sudah pelayanan buruk, sistemnya tak bekerja dengan baik. Tingkat keborosannya amat tinggi, intervensinya banyak sekali. Namun, terima kasih, 20 tahun belakangan, muncul rangkaian terobosan dengan lahirnya fenomena freemium yang berhasil memadukan premium quality dengan harga yang ''almost free''. 

Ketika metode low cost diterapkan, banyak orang yang tak percaya bahwa mereka bisa melakukannya. Di XL Com ketika metode itu diterapkan, pertanyaan serupa muncul. Pertanyaannya seputar bagaimana merombak struktur biaya? Siapa yang biayanya harus dipangkas? Berapa banyak orang yang harus dikurangi? Apakah respons pasar benar elastis? Apakah biaya modal dan depresiasi dapat di-cover? Apakah benar menguntungkan? Apakah konsumen tidak akan berpindah hati? Dan seterusnya. 

Faktanya, XL tidak hanya berhasil mendapatkan pasar baru, mereka malah memperbarui industri, menjadi cracker. 

Low cost method terutama dipakai untuk mengorkestrasi sebuah kegiatan usaha berskala besar (untuk mendapat skala ekonomis) dan untuk mengundang nonconsumers menjadi consumers.

Jadi, model itu sebenarnya cocok untuk industri pelayanan kesehatan berskala besar, yaitu rumah sakit jaringan (franchised based atau chain hospital) atau rumah sakit milik pemerintah yang memungkinkan pengelolaan dan pengadaannya disatu-atapkan serta tata kelolanya diperbaiki. Model tersebut juga cocok untuk menampung pasien-pasien baru yang datang dengan fasilitas jaminan pemerintah yang dulu sama sekali tak terjangkau.

Sikap Dokter 

Harus diakui, sikap dokter amat beragam. Ada dokter yang terbiasa melayani pasien kelas atas, tetapi banyak pula dokter yang dibesarkan di rumah sakit pemerintah yang melayani kaum miskin. Namun, ada juga yang berada di tengah-tengahnya: memiliki status PNS dan bertugas tetap di RS pemerintah, tetapi juga buka praktik di klinik atau rumah sakit lain yang melayani kelas menengah atas.

Dualisme itu diakui banyak pimpinan rumah sakit sebagai masalah besar karena suka atau tidak kesetiaan pada pelayanan untuk kaum miskin akan terganggu. Ketika politisi mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk melayani kaum miskin, mau tak mau penghasilan rumah sakit pun akan membaik dan rumah sakit tak bisa lagi mengeluh bahwa pasien miskin menjadi beban. Pasien miskin adalah sumber penghasilan bagi rumah sakit, yang berarti juga sumber peningkatan kesejahteraan bagi dokter.

Namun, karena pada masa lalu sikap rumah sakit tidak demikian, mereka pun menghadapi banyak kesulitan menata dirinya. Rumah sakit milik pemerintah perlu menata diri, menerapkan transformasi dan change management; memperbarui sikap dokter; memperbarui sikap terhadap pelayanan, budaya disiplin, cara pandang terhadap pasien miskin; dan perlu membuang lemak-lemak yang membelenggu struktur biayanya yang tak sehat. Jadi, low cost hospital adalah sebuah peluang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar