Minggu, 31 Maret 2013

Melawan Aksi Kekerasan


Melawan Aksi Kekerasan
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2013


BERBAGAI aksi kekerasan yang diduga dilakukan preman dan kelompok bersenjata di beberapa kota besar semakin menghantui rakyat. Tidak lagi memilah apakah masyarakat kelas bawah atau kelas atas, kantor polisi pun ikut jadi sasaran kekerasan dan perusakan, bahkan tahanan yang dalam perlindungan negara ikut diberondong peluru. Sepertinya tak ada lagi ruang aman. Gereja, sekolah, bahkan rumah tinggal juga dilempari bom molotov (bom botol) seperti yang terjadi di Kota Makassar dua bulan terakhir, tetapi belum ada pelaku yang ditangkap polisi.

Masyarakat semakin resah, mulai perkampungan hingga pusat keramaian di kota-kota besar. Bentrok antarkampung di perdesaan atau antarlorong di kota besar kerap terjadi dengan mengerahkan massa, menggunakan senjata tajam dan senjata api rakitan. Mereka mempraktikkan ‘hukum rimba’, melakukan tindakan main hakim sendiri dengan mengabaikan nilai-nilai hukum yang berlaku. Begitu banyak tindakan main hakim sendiri dipertontonkan kelompok massa terhadap orang lain yang tidak punya kekuatan. Celakanya, hukum rimba juga mewabahi kalangan penegak hukum dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang dapat digunakan kapan saja.

Peristiwa terakhir yang menyita perhatian publik ialah penyerangan oleh sekelompok bersenjata yang diduga terlatih ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada Sabtu (23/3) malam. Para sipir tidak berdaya dan terpaksa menyerahkan kunci blok tahanan kepada penyerang yang diduga mengemban misi. Mereka membantai empat orang tersangka kasus pembunuhan salah seorang anggota TNI di salah satu kafe di Yogyakarta. Keempatnya mendekam di LP Cebongan sebagai tahanan titipan Polda Yogyakarta.

Kehidupan masyarakat terancam oleh ketidakmampuan negara menjaga dan menjamin rasa aman masyarakat. Dengan berkaca pada realitas selama ini, salah satu penyebab maraknya hukum rimba ialah merosotnya kewibawaan negara dan penegak hukum. Hukum tak berkutik melawan aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman berdasi, maupun kelompok bersenjata.

Kelompok Bersenjata

Peristiwa berdarah di LP Cebongan setidaknya menyentak rasa kemanusiaan kita, bahkan dunia internasional turut prihatin. Sorotan dunia internasional membuktikan peristiwa keji itu bukan sekadar kejahatan kemanusiaan, melainkan juga sebuah aksi yang mencoreng wibawa negara karena korban berada dalam perlindungan negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, menyatakan selain menghasilkan ancaman serius terhadap rasa aman publik, serangan itu memorak-porandakan kepercayaan umum terhadap supremasi hukum di negeri ini.

Tentu kita mengapresiasi keprihatinan presiden dan berbagai kalangan. Namun, pernyataan dan kecaman sekeras apa pun tidak akan berarti apa-apa tanpa ada aksi konkret dan serius untuk mengusut, mengungkap motif, dan menangkap pelakunya. Apakah itu dari kelompok terlatih yang ada kaitannya dengan penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya seorang anggota TNI, pemerintah melalui aparat hukumnya harus berani membongkarnya.

Menyingkap tabir gelap siapa pelaku sebenarnya merupakan tugas negara. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok bersenjata sekalipun terlatih dan dari kelompok mana pun mereka berasal. Jangan hanya berani mengobrak-abrik teroris yang memiliki senjata dan rangkaian bom, sebab pengalaman telah menuntun kita pada kenyataan pahit. Pengusutan sejumlah aksi kejahatan yang melibatkan kelompok bersenjata di luar teroris kerap tidak tuntas dan menyisakan rangkaian persoalan baru.

Polisi sebagai pemegang otoritas dalam mengusut berbagai aksi kekerasan bersenjata tidak boleh gentar. Polisi ialah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum dengan melakukan penyelidikan yang tidak boleh setengah hati. Apalagi kasus penyerangan LP Cebongan, menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, merupakan kekerasan luar biasa sehingga proses penanganannya pun tidak boleh dengan cara biasa-biasa saja.

Untuk memotivasi polisi agar lebih berani melawan dan bertindak tegas, SBY perlu turun tangan langsung. Bila perlu, membentuk tim investigasi independen seperti yang disarankan berbagai kalangan dan bersinergi dengan kepolisian yang berada langsung di bawah kendali presiden. Tujuannya untuk memastikan kasus penyerangan LP Cebongan tidak mendapat tekanan dan perlawanan dari kelompok tertentu.

Negeri ini tidak boleh kembali terjebak ke masa kelam era otoriter Orde Baru. Ketika ada kelompok terlatih yang merasa punya kekuatan melakukan kekerasan, semuanya diatur agar tidak ada institusi tertentu dipojokkan meskipun aksinya menimbulkan korban jiwa bagi rakyat. Jika pola itu kembali terjadi, bukan cuma rasa aman masyarakat yang tercabik, malahan kredibilitas negara selaku pelindung rakyat dipertaruhkan.

Preman Berdasi

Fenomena premanisme tumbuh subur di kota-kota besar, bahkan di perdesaan. Kita patut mengapresiasi polisi yang berhasil menangkap Hercules yang dikenal pentolan preman bersama puluhan anak buahnya dalam sebuah operasi oleh aparat Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, pertanyaan juga muncul, kenapa selalu terlambat diantisipasi? Adakah momentum strategis bagi kepolisian dalam penangkapan Hercules dan kelompoknya?

Padahal, premanisme sudah sangat lama mencekam kehidupan masyarakat. Begitu beragam modus mereka, mulai memeras, meminta jasa keamanan bagi pelaku usaha dan kompleks perumahan, sampai memalak warga masyarakat dengan ancaman. Seiring dengan perkembangan zaman, perilaku premanisme juga semakin berkembang, bukan hanya hidup di lapis masyarakat bawah, melainkan telah menjangkau hampir semua segmen kehidupan sosial.

Meminta uang dengan ancaman sudah merasuki kehidupan masyarakat dengan cara bargaining yang tentu saja tidak berimbang. Pihak penekan merasa memiliki kekuatan dengan mengancam korban nya dan itu bisa terjadi dalam wilayah elite melalui permainan politik-kekuasaan. Itulah yang sering disebar dengan beragam simbol untuk menciptakan rasa takut yang biasa disebut ‘preman berdasi’.

Penyakit sosial itu sudah merambah elite politik dengan pola kerja yang tak jauh beda dengan preman pasar meski lebih canggih. Itu bisa dilihat dari bobroknya penentuan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/APBD) oleh preman berdasi. Begitu banyak oknum Badan Anggaran DPR/DPRD ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena meminta dan memeras pengusaha hitam yang ingin tendernya dalam suatu proyek dimenangkan.

Pola kerja para preman berdasi tidak jauh beda dengan preman pasar. Mereka juga melakukan tekanan agar proyek yang sedang dibicarakan di DPR bisa dimenangkan. Para pengusaha hitam dipalak agar membayar ‘uang pelicin atau sogok’, padahal anggarannya belum turun. Terjadi transaksi yang tidak berimbang karena korban pemalakan tidak punya pilihan jika ingin perusahaannya ditunjuk melaksanakan proyek. Maka itu, aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman berdasi, maupun kelompok bersenjata, harus dilawan agar tidak berkembang lebih jauh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar