Kamis, 28 Maret 2013

Mencari Jejak Anas di Hambalang


Mencari Jejak Anas di Hambalang
Asmar Oemar Saleh  ;  Advokat
KORAN SINDO, 28 Maret 2013
  

Penetapan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Hambalang menyisakan persoalan. 

Meski banyak media santer memberitakan keterlibatannya dalam kasus itu, fakta hukum dan alat bukti yang ada sesungguhnya belum cukup untuk menjadikannya tersangka. Pertanyaan paling mendasar: benarkah ada jejak Anas di Hambalang ataukah itu hanya “karangan” Nazaruddin belaka? Proyek pembangunan kompleks sekolah olahraga Hambalang yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat telah dirancang sejak 2004 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, jauh sebelum Anas masuk Partai Demokrat. 

Direncanakan menelan biaya Rp125 miliar, penentuan lokasi proyek dan pembebasan lahan sudah dilakukan sejak 2005 pada masa Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Namun, realisasi proyek itu tertunda akibat proses sertifikasi tanah yang terkatungkatung tanpa alasan jelas. Di bawah menteri baru Andi Mallarangeng, Proyek Hambalang kembali dihidupkan dan diperbesar skalanya. 

Pada Januari 2010, Kemenpora mengajukan anggaran baru senilai Rp1,5 triliun (sepuluh kali lipat lebih dari rencana awal), yang disetujui Menteri Keuangan. Kemenpora menetapkan konsorsium PT Adhi Karya sebagai pemenang tender Proyek Hambalang pada akhir 2010. Nazar menuding Anas “mengatur Proyek Hambalang sejak awal sampai akhir”. Benarkah itu? Ada tiga tuduhan yang dilontarkan Nazar. 

Proses Sertifikasi Tanah 

Pertama, Nazar menuduh Anas berperan besar dalam menggolkan proses sertifikasi lahan Hambalang. Nazar menyebut pertemuan empat orang: dia sendiri, Anas (kala itu ketua Fraksi Demokrat di DPR), Joyo Winoto (kepalaBadanPertanahan Nasional/BPN), dan Ignatius Mulyono (politikus Partai Demokrat serta anggota Komisi II DPR yang bermitra dengan BPN). 

Menurut Nazar, dalam pertemuan itu Anas membujuk Joyo Winoto agar segera mengeluarkan sertifikat Hambalang. Ada beberapa kelemahan dalam pernyataan Nazar itu. Pertama, tidak jelas tempus delicti (waktu kejadian) keterlibatan Anas dalam pengurusan sertifikat. Kedua, pertemuan yang dimaksud hanya dikisahkan oleh Nazar dan tidak dibenarkan oleh tiga lainnya (Anas, Ignatius Mulyono maupun Joyo Winoto). 

Dalam dunia hukum berlaku asas unus testis nulus testis, keterangan satu saksi saja belum dapat dijadikan dasar pembuktian. Ketiga, berdasarkan pernyataan Ignatius, pejabat BPN maupun pejabat Kemenpora, BPN tidak pernah mengeluarkan sertifikat Hambalang. BPN hanya mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa hak pakai lahan Hambalang ada pada Kemenpora. 

Tender Hambalang 

Kedua, Nazar menuduh Anas menjadi arsitek kemenangan Adhi Karya dalam tender proyek Hambalang. Nazar mengaku menemani Anas bertemu dengan Teuku Bagus Mohammad Noer dari PT Adhi Karya pada Maret 2010 dalam rangka memastikan Adhi Karya menjadi pemenang tender dengan imbalan Rp100 miliar. 

Dan masih menurut Nazar, sekitar Rp50 miliar suap tersebut dipakai Anas untuk memenangkan pemilihan ketua umum Partai Demokrat. Mindo Rosalina Manullang, direktur Pemasaran Permai Grup, dalampersidanganWisma Atlet justru mengatakan bahwa Nazar sebenarnya ingin agar Proyek Hambalang dimenangkan oleh PT Duta Graha Indah (DGI), mitra Permai Group milik Nazar. 

Permai Group, menurut Rosa, sudah menyetor ke pejabat Kemenpora sebesar Rp20 miliar untuk memastikan kemenangan DGI. Namun, DGI ternyata kalah tender. Nazar kemudian meminta kembali uang Rp10 miliar. Pertanyaannya, bagaimana Anas bisa mengatur tender yang diselenggarakan oleh para pejabat Kemenpora di bawah Andi Mallarangeng? 

Suap Adhi Karya kepada Anas 

Ketiga, Nazar menuding Anas menerima suap sebesar Rp50 miliar yang dipakai untuk memenangkan Kongres Partai Demokrat. Di samping sulit menjelaskan bagaimana Adhi Karya, sebuah perusahaan publik, bisa mengeluarkan uang Rp100 miliar jauh sebelum tender dimulai, tuduhan Nazar bertentangan dengan kesaksian Yulianis, kasir Permai Group. Sebagai bendahara umum Partai Demokrat, Nazar adalah pihak yang menerima sumbangan dari para sponsor (termasuk dari Adhi Karya jika ada) sekaligus pihak yang membiayai penyelenggaraan kongres. 

Keterangan Yulianis dan Nazar berbeda tentang jumlah dan sumber uang yang dibawa untuk keperluan Kongres Partai Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Menurut Nazar, uang yang dipakai dalam Kongres Bandung lebih dari Rp100 miliar dan berasal dari “fee” Proyek Hambalang. Sementara menurut Yulianis, Permai Group hanya mempersiapkan dana sebesar Rp48 miliar (Rp18 miliar di antaranya berasal dari sumbangan para sponsor). Dari jumlah itu, hanya Rp17 miliar yang terpakai. Sisanya masuk kembali ke brankas Nazar, dan ia justru memperoleh kelebihan sumbangan dari sponsor. 

Esensi Kasus Hambalang 

Meski tampak rumit, kemungkinan pola korupsi kasus Hambalang pada dasarnya sederhana. Pertama, ada-tidaknya penggelembungan nilai proyek (mark-?up)—termasuk siapa yang mengusulkan nilai proyek dan spesifikasinya. Kedua, ada-tidaknya unsur suapmenyuap dan permufakatan jahat lainnya yang memungkinkan satu peserta tender menang secara tidak sah. 

Dalam dua aspek esensial tadi, peluang Anas untuk terlibat sangat kecil. Hambalang adalah proyek milik Kemenpora, anggarannya diusulkan oleh Kemenpora yang disetujui baik oleh DPR maupun menteri keuangan. Karena itu, jika benar Anas terlibat, bagaimana dia, yang bukan pejabat di pemerintahan, bisa mengatur Kemenpora, DPR, dan Kemenkeu sekaligus, untuk mengegolkan proyek dan mengatur tender yang panitianya dibentuk oleh Kemenpora? Banyak tuduhan Nazar yang mengaburkan esensi Kasus Hambalang dan sangat tendensius mengarahkan opini pada keterlibatan Anas. 

Karena itu, ada harapan besar agar KPK bisa membuat jernih persoalan mendasar tersebut. Bagaimanapun, KPK adalah lembaga hukum paling kredibel untuk menyidik kasus ini dan semoga KPK bisa bertindak profesional, independen, dan adil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar