Selasa, 26 Maret 2013

Menelaah Kembali Fire Scenario Gedung Sekretariat Negara


Menelaah Kembali Fire Scenario
Gedung Sekretariat Negara
Manlian Ronald A Simanjuntak  ;  Guru Besar dalam Bidang Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan
MEDIA INDONESIA, 26 Maret 2013
  

SIMBOL keperkasaan ‘risiko kebakaran’ di Ibu Kota DKI Jakarta akhirnya semakin nyata dan tampil menjulang. Betapa tidak, kebakaran di Gedung Sekretariat Negara pada 21 Maret 2013 sekitar pukul 17.00 WIB, yang melahap lantai 3 salah satu gedung di kompleks Istana Negara, jelas menggegerkan seluruh rakyat Indonesia. Dengan mengamati risiko kebakaran yang terjadi di Jakarta di berbagai fungsi bangunan, kali ini itu benar-benar harus diperhatikan serius. Sang api bukan saja melahap bangunan publik, melainkan juga sudah melahap bangunan vital negara yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Seluruh pihak, mulai presiden, pemerintah provinsi, para pakar, hingga masyarakat, harus kembali sadar dan peduli tentang bahaya api. Fenomena api memang tidak mengenal fungsi apa pun. Selagi bahan mudah terbakar, ada pemicu api, kelemahan sistem proteksi bangunan, kelemahan sistem manajemen keselamatan kebakaran bangunan dan lingkungan, kebakaran dapat dipastikan terjadi.

Setelah mengamati peristiwa kebakaran yang terjadi, perlu segera dilakukan investigasi lanjut atas kebakaran lantai 3 Gedung Sekretariat Negara RI untuk semakin mempertajam penyebab kebakaran. 
Namun, dengan mengamati kejadian yang terjadi 21 Maret tersebut, skenario kebakaran umum (fire scenario) dapat bermula dari sumber api baik dari bahan bangunan yang mudah terbakar, adanya percikan api dari hubungan arus pendek sistem mekanis elektrikal, ataupun sumber daya listrik yang kemudian membakar bahan bangunan yang rentan api seperti interior dari bahan kayu, karpet, dan gorden yang tebal.

Setelah itu, akan timbul asap dan panas yang melingkupi ruangan, lalu menuju antarruang dalam satu lantai (bangunan horizontal). Dimungkinkan, dari lantai yang terbakar kemudian api menjilat lantai lain dalam bangunan (bangunan vertikal). Setelah itu, api tidak segan-segan melahap seluruh bangunan secara total. Dari fire scenario itu, tentunya sistem proteksi kebakaran harus berfungsi maksimal. Ketika asap dan panas timbul di suatu ruangan, sistem proteksi aktif detektor asap dan panas menghantarkan informasi ke sistem alarm kebakaran yang kemudian mengeluarkan sinyal darurat. Selanjutnya, seluruh sistem proteksi aktif termasuk sprinkler berfungsi. Selama sistem proteksi aktif bangunan berfungsi, sistem proteksi pasif memainkan peran untuk menahan konstruksi dan ruang bangunan selama minimal 2-3 jam untuk memberikan waktu evakuasi bagi penghuni. Ketika sinyal alarm merespons, sistem manajemen keselamatan kebakaran (fire safety management) yang melibatkan seluruh penghuni melakukan evakuasi.

Namun, sistem manajemen keselamatan kebakaran seharusnya berfungsi sejak sebelum-saat-setelah bangunan terbakar, misalnya melakukan inspeksi rutin, perawatan sistem proteksi kebakaran, latihan kebakaran (fire drill), sampai dengan peran signage darurat yang mengarahkan evakuasi saat dan setelah kebakaran. Walaupun data sementara menunjukkan tidak ada korban jiwa, jangan anggap remeh kebakaran! Dampak kebakaran tetap ada.

Dari pengamatan kebakaran yang ada di lapangan, beberapa dampak yang terjadi, seperti kebakaran di salah satu bangunan kompleks Istana Negara, tentunya menunjukkan betapa bangunan simbol kenegaraan tersebut memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap api. Dari berbagai informasi yang dikaji di lapangan, walaupun penggunaan ruang sebagai ruang rapat dan belum ada informasi hilangnya nyawa, kebakaran tersebut tentunya memukul seluruh bangsa Indonesia. Karena itu, jangan melihat kebakaran Gedung Sekretariat Negara tersebut biasa, tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi sehingga menunjukkan lemahnya kita sebagai bangsa terhadap risiko api.

Walaupun bangunan Sekretariat Negara tergolong vital dan sangat privat, tetap harus dilakukan inspeksi/audit pihak internal dan eksternal secara berkala. Data audit itu tentunya harus terekam rapi sebagai dasar pihak pengelola bangunan mengoperasikan. Jika data tersebut belum ada, bangunan vital seperti itu pun harus tetap dilakukan pendataan secara berkala. Proses penentuan keandalan bangunan memang sudah diatur dalam UU Bangunan Gedung, tetapi bangunan vital perlu diaudit pihak yang ahli dan profesional. Sistem audit tersebut tentunya juga akan mengecek SOP perawatan sistem bangunan dan SOP pencegahan serta penanggulangan kebakaran.

Adanya audit bangunan vital terhadap risiko kebakaran mendorong perlunya audit terhadap kebakaran di seluruh bangunan secara khusus di Jakarta. Perda DKI Jakarta No 8 Tahun 2008 perlu ditindaklanjuti. Pemerintah DKI Jakarta perlu memperhatikan perangkat peraturan itu, bahkan perlu segera membentuk Tim Ahli Pencegahan dan Penanggulangan DKI Jakarta yang akan mengevaluasi berkala dokumentasi kelaikan seluruh bangunan di DKI Jakarta (eksisting dan baru) secara khusus terhadap risiko kebakaran.

Antisipasi

Sistem dokumentasi seluruh bangunan di DKI Jakarta terhadap risiko kebakaran perlu didorong. Dokumentasi tersebut menjadi bahan tim ahli yang diangkat secara resmi oleh pemerintah provinsi ber sama dinas-dinas terkait. Jakarta perlu memiliki data FMA (fire management area) untuk meng antisipasi lingkungan kota agar penyelenggaraan kota tidak terganggu ketika terjadi kebakaran di suatu wilayah. Kalau kita lihat kebakaran di Gedung Sekretariat Negara, dampak kemacetan dapat dihitung. Itu memengaruhi kelancaran kehidupan kota. FMA menjadi dasar bagi evaluasi kelaikan bangunan dan kota secara khusus terhadap risiko kebakaran.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengendalikan sistem dan prosedur penyelenggaraan bangunan secara menyeluruh mulai proses IMB (desain, pelaksanaan konstruksi) sampai dengan proses operasional bangunan (sertifikasi laik fungsi/ SLF). Secara khusus, dokumen SLF bangunan harus ada termasuk bangunan vital. Hal itu dikoordinasi pemerintah provinsi bersama stakeholder pakar terkait.

Ingat saja, kebakaran satu bangunan dapat berdampak kepada bangunan di sekitarnya, lalu dapat berdampak kebakaran yang meluas dalam satu wilayah/kota, yang kemudian secara tidak sadar seluruh lingkungan terbakar (conflagration). Untuk itu, waspadalah terhadap kebakaran yang dapat terjadi setiap waktu! Sistem dokumentasi seluruh bangunan di DKI Jakarta terhadap risiko kebakaran perlu didorong. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar