Rabu, 27 Maret 2013

Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?


Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?
Fachruddin Mangunjaya  ;  Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta
TEMPO.CO, 22 Maret 2013

  
Akhirnya Kementerian Kehutanan gencar membongkar vila-vila yang berdiri ilegal di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Koran Tempo, 15 Maret). Adapun pemilik vila, yang terdiri atas para pembesar dan orang yang mampu di Jakarta, terlebih dulu diminta kesadarannya untuk membongkar sendiri
vila tersebut. Kalau tidak, dapat diancam hukuman penjara 10 tahun karena
melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Taman nasional--seperti konsep awalnya di seluruh dunia--sesungguhnya adalah  sebuah kawasan warisan nasional. Walaupun jenisnya hanya hutan belantara, nilai pentingnya sangat tinggi karena banyak rahasia alam yang belum terungkap, dan alam--seperti kita ketahui--mempunyai sejarah panjang selama jutaan tahun. Sekali unsur alam, baik itu spesies, ekosistem, aspek estetika, maupun sumber daya hidup dan tak hidup, punah, maka nilai ekonomi, budaya, ekologi, bahkan nilai estetiknya, tidak akan tergantikan.

Hutan alam adalah ibarat gudang pengetahuan atau laboratorium yang manfaatnya belum sepenuhnya dimengerti oleh manusia. Karena itu, sebuah taman nasional adalah ibarat monumen hidup warisan alam yang memang harus mendapat perhatian dan perawatan oleh sebuah bangsa. Keunikan sebuah taman nasional kadang kala tidak ada bandingannya dengan tempat-tempat lain di mana pun. Bahkan di belahan bumi lain. Pendirian sebuah taman nasional diputuskan oleh pemerintah atas dasar pertimbangan ilmiah, berbasis pengetahuan dan mempunyai visi jangka panjang. Jadi, kawasan tersebut adalah  milik publik dalam arti menjadi sebuah warisan alam yang seharusnya tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, atau juga dinikmati hanya masyarakat sekitar kawasan, tetapi manfaatnya harus dirasakan oleh semua bangsa, dalam arti luas mempunyai makna kemanusiaan--termasuk upaya mewariskan kepada anak-cucu kita--untuk jangka panjang.

Manfaat taman nasional bukan menjadi manfaat yang sempit, seperti mendirikan vila atau tempat rekreasi dan “tetirah” semata, tetapi taman nasional menjadi tempat abadi yang harus mendapat keistimewaan bagi semua makhluk Tuhan. Banyak satwa langka, kehidupan yang unik, bahkan jasad renik yang belum teridentifikasi namanya oleh pengetahuan manusia, ada di dalam kawasan tersebut. Karena itu, dalam konsep trilogi konservasi klasik, sesungguhnya taman nasional didefinisikan mempunyai tiga manfaat: pertama, manfaat perlindungan (protection); kedua, manfaat pembelajaran; dan ketiga, manfaat untuk memanfaatkan (use).

Selama ini, banyak yang melihat kawasan hutan, apalagi tempat seperti Gunung Halimun dan Salak, adalah sekadar puncak gunung tempat mencari kedamaian dan kenyamanan. Melepas penat dan kejenuhan Jakarta yang sumpek. Maka, jadilah hanya orang-orang yang memiliki uang yang dapat ke tempat itu. Sedangkan masyarakat lain--yang tidak punya uang--karena biaya untuk tetirah yang mahal, tidak mempunyai kesempatan itu. Akibatnya, banyak terjadi kejenuhan tingkat stres yang tinggi di perkotaan. Dampak lain dari tidak adanya akses untuk menyalurkan kejenuhan ini bisa berakibat tingginya tingkat kriminalitas dan tingginya risiko masyarakat yang sakit, baik dalam arti jiwa maupun fisiknya.

Dalam aspek manfaat, karena sejarah pendirian taman nasional --di Indonesia-- merupakan hal yang baru, masyarakat belum sepenuhnya memahami
manfaatnya. Berbeda dengan di Amerika, negara itu menyediakan tempat tetirah sementara--bukan vila--yakni disediakannya camping ground yang luas.

Akhir pekan, ribuan kepala keluarga Amerika--kaya dan miskin--dapat dengan cuma-cuma mendirikan tenda di tempat-tempat yang disediakan oleh taman nasional. Mereka bercengkerama kembali ke alam, merenung. Mendengarkan gemericik air, mendengar burung berkicau, mencium wangi bunga liar yang mekar, yang dapat mereduksi kepenatan dan yang teramat penting mendekatkan diri kepada ciptaan Tuhan. John Sehail, dalam National Spectacle The World’s First National Park and Protected Places (2010), mengutip Selincot yang menuliskan gambaran fungsi sebuah taman nasional sebagai: “upaya menyaksikan sebuah warisan nasional, di mana setiap orang mempunyai hak untuk merasakan, melihat, dan menikmatinya.”

Seseorang yang mengenal alam dengan dekat akan mendapatkan
spiritualitas, penemuan penting akan makna hidup. Manusia merupakan bagian dari alam. Menyadari bentuk keterbatasan dan kedekatan dengan alam akan menjadikan jiwa yang halus dan perasaan sayang terhadap semua makhluk. Karena itu, EO Wilson (1993) menyebut ketergantungan manusia pada alam sebagai biofilia (human bond to nature). Bahwa manusia terpatri secara genetik, sangat perlu untuk dekat dengan alam, terutama untuk mengembalikan semangat dan spiritualitas, merenungi unsur kehidupan, karena kaitan erat akan asal-usul penciptaannya.

Dalam sebuah reality show beberapa minggu yang lalu, saya menyaksikan
Oprah Winfrey--yang populer di dunia itu--sengaja memindahkan lokasi 
syuting ke Taman Nasional Yosemite di California. Dia camping dan
menikmati suasana alam, memasak di tenda, menghirup udara segar, bangun
pagi. Dalam penutupnya, dia mengimbau masyarakat--Amerika--terutama yang
berkulit hitam, untuk pergi camping ke Taman Nasional Yosemite. Imbauan
itu tentu bukan tanpa alasan, banyak warga kulit hitam yang tinggal
di perkotaan pada umumnya terlibat dalam tindak kriminal dan kekerasan.
Mengunjungi taman nasional dapat kiranya menjadi penawar, menghilangkan
stres, serta meninggikan kehalusan budi dan pikiran.  Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar