Sabtu, 30 Maret 2013

Mengenang Syeikh Ramadan Al-Bouti


Mengenang Syeikh Ramadan Al-Bouti
Hasibullah Satrawi ;  Penulis adalah Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir. 
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
KORAN SINDO, 30 Maret 2013


Revolusi Suriah terus memakan korban. Kali ini yang menjadi korban dari krisis politik yang sudah memasuki tahun ketiganya adalah Syeikh Mohamed Said Ramadan al-Bouti. 

Beliau merupakan salah satu ulama moderat terkemuka di dunia dengan deretan karya dan pemikirannya. Ramadan al-Bouti, demikian beliau dikenal, meninggal pada Kamis malam waktu setempat (21/3) saat sedang mengisi pengajian di Masjid Al-Iman di Damaskus. Ulama besar lulusan Al-Azhar, Kairo, Mesir ini meninggal bersama puluhan korban lainnya akibat bom bunuh diri yang meledak di masjid tersebut. Sementara rezim Bashar al-Assad dan kelompok revolusi saling tuding terkait pelaku bom bunuh diri tersebut. 

Konspirasi dan Kontroversi 

Dalam kondisi negara kacau balau seperti Suriah sekarang, tentu sangat sulit melakukan investigasi secara mendalam dan transparan untuk mengungkap dalang di balik pembunuhan ulama beraliran Sunni tapi justru membela rezim Bashar al-Assad itu. Lebih sulit lagi mempercayai pernyataan kedua belah pihak. Hal ini tak lain karena sejak dalam dua tahun terakhir Suriah acap menjadi wilayah tak bertuan. 

Adalah benar bahwa hingga hari ini rezim Bashar al- Assad terus mempertahankan diri dari pelbagai macam serangan kelompok revolusi. Namun juga tak dapat dibantah, pelbagai macam kelompok saat ini berada di Suriah, baik dalam rangka membantu kekuatan rezim al-Assad maupun dalam rangka melawan dan meruntuhkan rezim, atau bahkan untuk kepentingan di luar persoalan politik negara itu (seperti untuk melawan Israel yang berbatasan langsung dengan Suriah). 

Dalam kondisi seperti ini, semua yang terjadi di negara itu, khususnya dalam dua tahun terakhir, sarat dengan konspirasi dari kedua belah pihak untuk tujuan masing-masing. Apalagi krisis politik di Suriah telah melibatkan kepentingan pihak-pihak luar sedemikian rupa di kedua belah pihak, mulai dari Amerika Serikat hingga milisi Syiah, mulai dari Rusia hingga anasir Al-Qaeda. 

Penulis pernah satu panggung dengan dua tokoh agama dari Suriah (secara terpisah) yang mewakili dua kelompok yang sedang bertarung. Satu tokoh mewakili rezim Bashar al- Assad dan berupaya meyakinkan bahwa Suriah tetap kuat sebagai negara, tak seperti yang digambar-gemborkan banyak media. Sedangkan satu tokoh lainnya dari kalangan revolusi dan berupaya untuk meyakinkan akan kebrutalan dan kebiadaban rezim Bashar al-Assad. 

Hal yang harus diperhatikan dari yang disampaikan di atas adalah, Indonesia yang jauh dari Suriah dan bahkan tak ada kaitan apa pun dengan konflik yang terjadi di sana masih dijadikan sebagai area pertempuran oleh kedua belah pihak yang bertikai. Terlebih lagi negara- negara yang dekat dengan Suriah, dan terlebih lagi di internal negara tersebut. Inilah kurang lebih kondisi Suriah mutakhir yang bahkan telah mengorbankan ulama besar seperti Syeikh Ramadan al- Bouti. 

Apalagi beliau menjadi ulama kontroversi lantaran membela rezim Bashar al- Assad. Yang menarik, beliau dikenal sebagai salah satu ulama Sunni terkemuka, sementara rezim Bashar al-Assad justru identik dengan Syiah. Dalam kondisi seperti ini, almarhum sangat empuk untuk dijadikan sebagai “sasaran antara” oleh kedua belah pihak sebagai upaya untuk saling memojokkan. 

Dengan membunuh almarhum, contohnya, rezim al- Assad bisa menusuk dan memojokkan kelompok revolusi karena bisa tertuduh sebagai pelakunya. Pun demikian sebaliknya; dengan membunuh almarhum, contohnya, kelompok revolusi bisa menusuk dan memojokkan rezim Bashar al-Assad yang bahkan rela membunuh pendukungnya sendiri. Bahkan tak menutup kemungkinan pembunuhan ini melibatkan pihak ketiga sebagai upaya untuk semakin memperkeruh peta konflik di Suriah. 

Melampaui 

Siapa pun pelaku pembunuhan ini dan apa pun motifnya, yang pasti almarhum sudah meninggal dalam keadaan yang sangat membanggakan; meninggal di saat sedang mengisi pengajian. Banyak karya dan pemikiran dari almarhum yang telah diwariskan kepada umat dan sejatinya dijadikan sebagai modal oleh semua pihak untuk melampaui semua kontroversi politik beliau dalam dua tahun terakhir. 

Sebatas pengetahuan penulis (tanpa bermaksud menihilkan karya yang lain), setidaknya ada tiga buku dari Syeikh Ramadan al-Bouti yang memberikan sumbangsih pemikiran sangat berharga bagi umat. Pertama, buku tentang jihad berjudul Al- Jihad fil Islam: Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu (Jihad dalam Islam: Bagaimana Memahami dan Mengamalkannya?). Buku yang terbit pertama kali tahun 1993 ini bisa dijadikan rujukan oleh banyak pihak dalam memahami ajaran jihad sejati dalam Islam. 

Khususnya di saat ajaran jihad kerap disalahpahmi oleh sebagian pihak seperti sekarang. Hingga jihad acap diidentikan dengan kekerasan atas nama agama seperti dilakukan oleh kelompok teroris. Bahkan dalam kitab tersebut, al-Bouti secara khusus mengupas tentang salah satu Hadits Nabi yang dijadikan sebagai landasan oleh sebagian pihak dalam berdakwah dengan caracara kekerasan. 

Yaitu Hadits yang menegaskan bahwa Nabi diperintah untuk memerangi umat manusia sampai mereka masuk Islam. Masih menurut al-Bouti, terma memerangi (uqatil) dalam Hadits di atas harus dibedakan dengan terma membunuh (aqtulu). Karena termmemerangi menegaskan adanya keterlibatan pihak lain (al-musyarakah, berperang). Dan perang dimaksud dalam Islam tak lain bersifat defensif. 

Yakni berperang dalam rangka membela diri setelah diserang terlebih dahulu oleh pihak lain (1993: hal. 59). Kedua, buku tentang salafisme berjudul As- Salafiyah: Marhalah Zamaniyah Mubarokah, La Mazhab Islamiy (Salaf Merupakah Fase Yang Diberkati, bukan Sebuah Sekte/ Salafisme). Dalam buku yang diterbitkan pertama kali pada 1988 ini, Syeikh al-Bouti mengkritik dengan sangat keras gerakan salafisme, khususnya setelah mengalami penyempitan sedemikian rupa di kalangan kelompok Wahabi/Wahabisme. 

Bahkan Wahabisme yang kerap memvonis kelompok lain dengan sebutan   bid’ ah (tindakan mengada-ada dalam hal agama dan tidak ada pada zaman Nabi) justru disebut oleh almarhum sebagai kelompok bid’ah (1988: 227). Menurut Syeikh al-Bouti, kesalafan sejati (mengikuti generasi Islam awal) bersifat keilmuan (secara metodologis) dan keteladanan (secara prilaku). 

Dengan kata lain, umat Islam sejatinya mengikuti generasi Islam awal dalam upaya memahami ajaran Islam (baik yang termaktub dalam Al-Quran, Hadis, dan kitab-kitab ulama terdahulu) dan mengamalkannya sebagai sebuah keteladanan (1988: 230). Kritik tajam Syeikh al-Bouti terhadap Salafisme telah memposisikan beliau secara vis a vis dengan kelompok Wahabi. 

Apalagi kritikan-kritikan beliau tampak lebih diarahkan kepada gerakan Wahabi daripada gerakan MuhammadAbduh(1849-1905) dan Jamaludin Al-Afghani (1838-1897) yang dikenal sebagai pengenal istilah Salafisme pada era modern ini. Bedanya adalah, Syeikh Muhammad Abduh dankawan-kawan memaknai jargonsalafisme dalam semangat reformistik. Sementara kelompok Wahabi memaknai salafisme dalam semangat puritanistik(1988: 230-236). 

Ketiga, buku tentang sejarah Nabi berjudul Fiqhu as-Sirah an- Nabawiyah (Fikih Sejarah Nabi). Buku ini bisa disebut sebagai salah satu karya terbesar almarhum. Berbeda dengan buku-buku sejarah Islam yang bersifat naratif, kitab yang sampai dicetak berulang kali ini dikemas dalam kemasan yang praktis. Buku ini tak hanya menceritakan pelbagai macam peristiwa di masa lalu, melainkan mempermudah jalan untuk mengulang sukses masa lalu di masa sekarang dan masa yang akan datang. 

Tak heran bila banyak orang menjadikan kitab ini sebagai rujukan perjuangan, termasuk di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Di luar tiga buku di atas masih terdapat puluhan buku lain karya Syeikh Ramadan al-Bouti yang tak dapat diulas semua dalam ruang yang sangat terbatas ini. Namun demikian, beliau tetaplah manusia seutuhnya dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Sebagian pihak mungkin menyanjung dan mengikutinya. 

Sedangkan sebagian lain mungkin justru mencemooh dan mengabaikannya, khususnya terkait dengan pilihan politiknya dalam persoalan revolusi Suriah. Hal yang hampir bisa dipastikan, beliau tidak mungkin mengambil langkah apa pun tanpa pertimbangan yang matang, khususnya dari perspektif agama. Semoga segala amal yang telah dilakukan diterima oleh Allah SWT dan Suriah segera stabil kembali. Selamat jalan Syeikh Mohamed Said Ramadan al-Bouti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar