Kamis, 28 Maret 2013

Menggadaikan Demokrasi dengan Oligarki


Menggadaikan Demokrasi dengan Oligarki
Abustan  ;  Praktisi Hukum, mantan anggota DPRD Periode 1999-2004 
KORAN SINDO, 28 Maret 2013



Salah satu perhatian publik sekarang adalah usulan pemerintah ke DPR secara serentak terkait tiga rancangan undang-undang berkaitan dengan desentralisasi: pertama RUU Pemilihan Kepala Daerah, kedua RUU tentang Revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan ketiga RUU tentang Desa. 

Namun, harus diakui pembahasan di DPR yang paling banyak dikritisi dan menjadi sorotan publik adalah rencana pemerintah merevisi pemilihan gubernur secara langsung untuk kembali lagi ke jalur legislatif (DPRD). Usulan ini telah memunculkan resistensi dan penolakan semua fraksi di DPR. 

Usulan pemerintah ini bukan tanpa alasan. Pemerintah berpendapat beberapa alasan mereka antara lain, pertimbangan penghematan biaya karena sistem yang ada saat ini dianggap terlalu besar pembiayaannya (high cost), lalu kerap terjadi konflik horizontal antarpendukung, dan termasuk alasan titik tekan otonomi pada level kabupaten atau kota sehingga posisi bupati atau wali kota dianggap perlu diperkuat. 

Titik Balik Demokrasi 

Upaya mengoreksi sistem pemilihan langsung dilakukan pemerintah melalui RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 2 RUU disebutkan, gubernur dipilih anggota DPRD provinsi secara demokratis berdasarkan asas langsung, bebas, jujur, dan adil. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djoharmansyah menjelaskan, langkah mengoreksi sistem pemilihan gubernur merupakan solusi atas berbagai persoalan yang muncul dalam pilkada langsung. 

Persoalan yang muncul berkaitan dengan sistem pilkada langsung antara lain, karena membengkaknya biaya politik yang kemudian berakibat terjadi korupsi. Dasar asumsi dasar itulah kita tidak menutup mata atas merebaknya berbagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah. Kepala daerah hasil pemilihan langsung merupakan manifestasi desentralisasi demokrasi dinilai tidak memperlihatkan semangat pemerintahan yang bersih dan baik. 

Dari informasi dan data yang layak dipercaya menyebutkan, 863 pasangan kepala daerah yang terpilih sejak pilkada langsung digelar tahun 2005 sebanyak 280 orang terjerat kasus hukum. Data Kementerian Dalam Negeri yang berulang kali disampaikan merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Kondisi itu tentu memunculkan pertanyaan mengapa korupsi bisa merajalela justru di era demokrasi seperti sekarang ini? 

Pastinya, memberikan hak memilih pemimpin secara langsung kepada rakyat merupakan perwujudan kedaulatan rakyat paling nyata. Sebab, rakyat telah diberikan hak memilih siapa pemimpin yang dikehendaki. Hak yang telah diberikan ke-pada rakyat sejatinya tidak diambil lagi dan menyerahkannya kepada anggota legislatif DPRD. 

Karena itu, keprihatinan terhadap mahalnya biaya demokrasi tidak perlu diatasi dengan menarik kembali hak yang telah dinikmati sepenuhnya oleh rakyat. Tetapi, justru yang perlu dipikirkan bagaimana membatasi biaya politik dalam setiap pemilihan kepala daerah. Solusinya bisa saja gagasan melakukan pilkada serentak yang selama ini banyak dimunculkan sebagai salah satu cara menghemat biaya pemilu. Sebab, upaya mencabut hak rakyat untuk memilih pemimpin bisa menjadi titik balik bagi demokrasi itu sendiri.

Kualitas Demokrasi 

Makna substansial demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, dimaksudkan agar demokrasi bisa berjalan dengan baik di suatu negara, partai politik (parpol), dan institusi-institusi kenegaraan, seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus berperan lebih optimal. Oleh sebab itu, salah satu indikator dari berjalannya demokrasi adalah proses rekrutmen pemilihan pemimpin. 

Dalam konteks itulah, mari kita cermati kembali secara saksama mengapa setelah memasuki era reformasi kita lebih memilih pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) secara langsung oleh rakyat. Padahal, kita tahu biaya yang akan dikeluarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya, yaitu melalui lembaga DPRD. 

Sesungguhnya logika yang dibangun memilih pilkada dan pilpres secara langsung karena kita telah berketetapan hati memilih sistem demokrasi. Dalam demokrasi sesuai substansi yang terkandung di dalamnya, harus ada upaya terus-menerus untuk melibatkan semakin banyak kalangan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan politik. Karena itu, semakin banyak pihak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, tentu semakin tinggi pula kadar kualitas demokrasinya. 

Pemberian mandat atau kewenangan kepada rakyat untuk menentukan dan memilih secara langsung pemimpinnya merupakan bentuk nyata perwujudan kualitas demokrasi. Bahwa dalam proses demokratisasi banyak tantangan yang menghadang seperti munculnya biaya yang mahal, korupsi yang tampak merajalela, serta konflik yang cenderung meningkat, hal itu lumrah terjadi. 

Jika bercermin pada semua negara yang tengah berproses menuju kematangan demokrasi senantiasa menghadapi masalah seperti itu. Lagi pula besar kecilnya biaya pilkada bergantung dari kebijakan yang digunakan. Katakanlah komponen-komponen pembiayaan pada dasarnya bisa dikurangi secara signifikan tanpa mengurangi kualitas hasil. Misalnya dengan harga berkampanye secara tertutup dialogis. 

Komponen biaya pendaftaran pemilih yang biasanya diperbarui dari waktu ke waktu tak diperlukan lagi, karena cukup dengan menggunakan kartu identitas penduduk, apalagi sekarang sudah menggunakan e-KTP. Pada akhirnya, beberapa argumen tersebut diharapkan memperkaya imajinasi dalam mencari solusi alternatif yang lebih baik dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi. 

Atas dasar pemikiran konstruktif seperti itu, tidak me-ngesankan atau mengindikasikan bahwa rencana perubahan fokus demokrasi pemilihan gubernur hanya karena kebutuhan berpikir produktif, dan akibatnya melanggar hakikat reformasi dan mengorbankan the rule of law.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar