Sabtu, 30 Maret 2013

Menimbang Posisi Polisi


Menimbang Posisi Polisi
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi       
KORAN SINDO, 30 Maret 2013


Jika sebuah pertanyaan dilontarkan kepada publik, ”Bagaimana menurut Anda kinerja polisi kita?” maka jawabannya pasti tidak tunggal. Ada yang menjawab, ”Polisi kita parah, deh”, dan pasti ada yang menjawab, ”Polisi kita okay.  Jempolan.”
Yang menjawab polisi kita parah tentu dapat dengan mudah menunjuk berbagai kasus korupsi yang melibatkan oknum perwira Polri seperti pengadaan simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi Polri Djoko Susilo serta kasus-kasus tertentu lainnya. Isu rekening gendut di kalangan perwira Polri yang bersumber dari temuan PPATK masih menjadi utang hukum yang belum bisa terungkap sampai sekarang, sedangkan kasus Cicak vs Buaya menjadi catatan penting yang menggetirkan betapa mafia hukum yang melibatkan aparat penegak hukum itu memang ada. 

Kasus pengadaan simulator SIM sampai saat ini dapat dicatat sebagai kasus yang sangat spektakuler sejak pengungkapannya oleh KPK yang dramatis. Dimulai dari saling tarikmenarik upaya pengangkutan barang bukti oleh KPK dari kantor Korlantas, disusul dengan perebutan upaya menangani kasus simulator SIM oleh Polri dan KPK dengan saling mendahului menetapkan para tersangka, 

disusul lagi dengan upaya pencidukan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang dilawan oleh semut rangrang (berjubelnya masyarakat sipil) yang membentengi gedung KPK di tengah malam, sampai akhirnya Presiden menginstruksikan agar kasus simulator SIM ditangani oleh KPK. Kasus simulator SIM, yang pada awal pengungkapannya sangat menegangkan, kemudian disusul oleh fakta-fakta spektakuler menyangkut ditemukannya kekayaan Djoko Susilo di berbagai daerah dalam bentuk tanah, rumah, mobil, dan lain-lain yang dikaitkan dengan beberapa istri. 

Belum lagi uang-uang yang diduga masih tersimpan di berbagai tempat dan diduga disamarkan dalam berbagai bentuk. KPK menyatakan bahwa kemungkinan Djoko Susilo akan didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. Melihat kasus Djoko Susilo dan beberapa kasus lain yang mencengangkan itu, banyak orang yang menyatakan bahwa masalah integritas dan performansi di lingkungan Polri sudah begitu parah. 

Bahkan banyak yang pesimistis dan apriori terhadap masa depan Polri. Itulah sebabnya, banyak yang marah dan sinis saat beberapa waktu yang lalu saya bersama Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) bersafari ke Kantor KPK, Mabes Polri, dan Kantor Menko Polhukam untuk mengupayakan agar konflik Polri-KPK diselesaikan secara damai, bukan zero sum game. 

Waktu itu saya katakan bahwa KPK dan Polri sama pentingnya, keduanya harus diselamatkan, tak boleh ada tendensi yang satu dikalahkan, apalagi dipermalukan. Mereka yang sudah apriori kepada Polri banyak yang mengecam upaya saya dan IKA-UII itu. Bagi mereka yang sudah apriori seperti itu, pokoknya dan pokoknya saja, Polri harus dihantam. 

Bagi saya, di luar soal-soal khusus yang menyangkut simulator SIM, Cicak-Buaya, dan rekening gendut secara umum kinerja Polri cukup membanggakan karena kesigapan nya tidak kalah dari polisi di negaranegara yang sudah maju. Polri secara umum mampu menjamin keamanan warga dan mengungkap kejahatan-kejahatan atau tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. 

Polisi kita mampu mengungkap korban dan pelaku mutilasi dalam banyak kasus. Pekan lalu, misalnya, polisi berhasil mengungkap pelaku mutilasi terhadap Tony Arifin Djomin yang tubuhnya sudah dipotong-potong menjadi 11 bagian. Tidak sampai 24 jam polisi sudah berhasil menangkap AL (32) dan Chan (27) yang telah memutilasi Tony karena tidak membayar utang perjudian dan pelayanan seks yang dinikmatinya. 

Kita juga sering dibuat kagum dan bangga saat membaca berita bahwa korban mutilasi yang bagian-bagian tubuhnya sudah tercecer di berbagai kota masih bisa diungkap identitas maupun pelakunya. Selain berhasil mengungkap pembunuhan berantai seperti yang dilakukan oleh Ryan polisi kita berhasil mengungkap pencurian bayi dari berbagai rumah sakit. 

Meski dalam batas tertentu tindakan terhadap terorisme patut dipertanyakan, tetapi secara umum polisi cukup berhasil memerangi terorisme. Bagi mereka yang melihat Polri tidak dari sudut korupsi saja, pandangannya akan positif dan mengatakan ”Kinerja polisi kita oke. Jempolan”. 

Karena itu, kita pun boleh optimistis bahwa dengan profesionalisme yang dimilikinya Polri akan bisa mengungkap kasus penyerangan brutal terhadap Lapas Cebongan oleh sekelompok orang ”tak dikenal” yang menurut Presiden SBY telah mencoreng kewibawaan negara. Ibn Taimiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun di bawah pemerintah yang zalim masih lebih baik daripada sehari tanpa pemerintah.
Pernyataan Ibn Taimiyah ini bisa dikiaskan dengan pernyataan, ”Adanya Polri yang bermasalah masih lebih baik daripada tidak ada Polri yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat.” Tak terbayangkan akan seperti apa buruknya negara tanpa polisi. Bisa muncul hukum rimba seperti negara tanpa aturan. Maka itu, tanpa harus mengabaikan segi-segi negatif dan koruptif tertentu yang menjangkiti Polri, kini kita harus mendukung dan memperkuat peran Polri untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar