Selasa, 26 Maret 2013

Merasionalkan Santet secara Hukum


Merasionalkan Santet secara Hukum
Masruri  ;  Penulis Buku Fenomena Santet (1995), Menguak Isu Santet (2000),
dan The Secret of Santet (2010); Tinggal di Sirahan Cluwak Kabupaten Pati
SUARA MERDEKA, 26 Maret 2013



SANTET kadang diartikan mesisan benteh (sekalian/sekaligus retak, pecah) atau mesisan kanthet (sekalian/ sekaligus lengket atau menempel). Lema mesisan itu untuk menyangatkan arti sehingga santet bisa diartikan  medium (alat) untuk mengirim penyakit, sekaligus memengaruhi pikiran hingga si objek berperilaku di luar batas kewajaran. 

Selain itu untuk memprovokasi bahwa kejahatan magis itu tidak setengah-setengah, bukan main-main. Santet mesisan kanthet misalnya, identik dengan pelet dosis tinggi. Perbincangan mengenai santet menjadi menarik karena saat ini DPR tengah membahas RUU mengenai Santet. Pasal 296 rancangan regulasi itu mencantumkan mengenai delik santet. 

’’Keseriusan’’ dalam santet menjadi prasyarat mengingat energi negatif tidak bisa bekerja total bila seseorang (baik dukun santet maupun si pemberi order) masih menyisakan sifat kemanusiaan, semisal menyimpan belas kasihan, rasa sayang, berpikir rasional plus minusnya bila melakukan perbuatan tersebut. 

Di Jabar aktivitas mencelakai pihak lain dengan cara magis disebut teluh, asal kata tulah yang berarti kemalangan yang mendatangkan kutukan (sosot). Di Jateng istilah itu lebih dikenal dengan tenung. Sejarawan Unpad Bandung Prof Dr H Edi S Ekadjati mengatakan, dokumen abad ke-6 ’’Sanghyang Siksa Kandhang Karesian’’ menjabarkan teluh sebagai sakit hati, murung, tidak senang, yang dialihkan kepada orang lain. 

Praktik santet sudah ada sejak zaman Nabi Musa as, tatkala ketika Firaun menyuruh Bal’am bin Baura, ulama Yahudi untuk mendoakan kehancuran Nabi Musa as, walau upaya itu menemui kegagalan. Pemerintahan Majapahit pun menerapkan semacam UU tentang Santet, yangmenyebutkan, ’’Barang siapa menggunakan boneka atau sejenis dengan tujuan meneluh orang lain, dia diancam hukuman mati.’’  

Tapi regulasi itu terasa adil pada zamannya karena ada adendum pasal yang ’’melindungi’’ tukang santet, yakni, ’’barang siapa menuduh seseorang sebagai tukang teluh tanpa bukti, dia bisa diancam hukuman mati.’’ Ini selaras dengan tipikal masyarakat awam, sebagai objek santet yang ’’tumpul analisis’’ sekaligus mudah terprovokasi. 

Sulit Diwakilkan

Karena itulah, yang dibutuhkan bukan hanya ayat penangkal sihir, santet, atau teluh, melainkan pemahaman terhadap ayat yang bisa memproteksi diri supaya menghindari tindakan anarkis. Kita bisa mencontohkan pada pembunuhan seseorang/sekelompok orang atas dugaan/ tuduhan menjadi tukang santet, semisal di Eropa Barat tahun 1450-1475, di Salem Amerika Sertikat tahun 1962, dan di Banyuwangi Jatim.

Terkait hal itu kita bisa mengacu Surah Al-Hujarat : 6 yang menyebutkan,’’ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik (orang yg percaya kepada Allah sw namun tidak mengamalkan perintah-Nya, tapi malah melakukan perbuatan dosa) membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.’’

Tragedi santet juga tercatat dalam sejarah Kerajaan Kediri semasa Raja Airlangga. Ketika Calon Arang marah karena sang putri, Ratna Menggali, tak ada yang melamar, sehingga ia mengirim santet dan terjadilah pagebluk.
Memahami definisinya, santet akan bereaksi ketika ada dorongan kemeluapan emosi atau dendam. Kekuatan santet bersifat pribadi dan sulit  diwakilkan. Karena itu, ketika seseorang mewakilkan kepada dukun/ tukang santet maka persentase keberhasilannya kecil. Pasalnya sang dukun belum tentu memiliki kadar emosi setinggi pemesan order. 

Terkait dengan pembahasan pasal RUU tentang Santet oleh DPR, pada satu sisi kita bisa memandang positif sebagai langkah preventif. Hal itu mengingat yang dijerat bukanlah aktivitas santetnya (karena pasti sulit dibuktikan) melainkan pada upaya persekongkolan jahatnya.

Ayat 1 Pasal 296 menyebutkan setiap orang yang menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, bisa dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.

Ayat 2 regulasi yang sama menyebutkan jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan ayat (1) melakukan perbuatan itu guna mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan maka pidananya dapat ditambah sepertiganya. 

Benteng pertahanan diri dari serangan santet adalah kehadiran rasa tenteram yang  timbul dari iman (tauhid) dan kepasrahan (tawakal). Adapun yang memperlemah adalah rasa takut dan waswas. Karena itu, kita diperintahkan membaca Surah Al-Alaq dan An-Nas guna menangkal sihir dan sejenisnya. 

Secara modern, pertahanan diri dapat dilakukan dengan meningkatkan zat endhorphin yang ada dalam tubuh melalui relaksasi, meditasi, olahraga, terapi tertawa dan bacaan yang memperluas wawasan.  Bagi yang  bermain santet, ingatlah ketika seseorang mendoakan keburukan bagi orang lain, maka doa itu terbang ke langit. Di sana, pintu langit tertutup, lalu doa itu kembali ke bumi. Jika doa itu belum layak (bobot kesalahannya) maka akan berbalik memakan dirinya atau si pengirim. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar