Minggu, 31 Maret 2013

Paskah dan Akhir Logika Kekerasan


Paskah dan Akhir Logika Kekerasan
Paul Budi Kleden ;  Rohaniwan Katolik, Berkarya di Roma
MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2013


YANG bangkit ialah yang disalibkan. Identitas itu merupakan inti iman orang-orang Kristen. Yang dirayakan pada hari saat Paskah tidak dapat dilepaskan dari permenungan tentang kematian pada Jumat Agung. Hanya selama identitas itu terjamin, kepercayaan akan kebangkitan Kristus memiliki makna. Sebenarnya, identitas tersebut mematahkan mata rantai kekerasan.
Namun, tidak selalu demikian dalam sejarah kekristenan.

Teori Keseimbangan yang Fatal

Tradisi pemikiran kristiani mengenal teori satisfikasi, teori pemuasan demi keseimbangan. Gagasan itu dilansir Anselmus (1033-1109), Uskup Canterbury, dalam bukunya Cur Deus Homo? (Mengapa Allah Menjadi Manusia?). Menurut Anselmus, dunia merupakan satu tatanan hukum yang diciptakan Tuhan, tetapi tatanan itu dirusak pelanggaran manusia. Allah pun dibuat tersinggung berat karena karya-Nya sebagai pencipta tanpa batas dihancurkan manusia yang serbaterbatas. Akibat paling radikal dari dosa ialah kematian.

Anselmus melihat kematian dari sang Allah-manusia sebagai langkah paling logis untuk pemulihan. Kematian baginya bukanlah akibat dosa karena dia memang tidak berdosa. Namun, itu bukan kematian alamiah karena pemulihan hanya mempunyai makna kalau kematian itu merupakan korban diri secara bebas. Hanya dengan tindakan pemberian diri dari seorang manusia yang serentak Allah, manusia tanpa salah, kehancuran ciptaan dapat diatasi.

Dengan itu, Anselmus menjawab pertanyaan kenapa Allah menjadi manusia dan mati secara kejam di salib. Allah yang tersinggung dipuaskan korban anak-Nya sendiri. Teori satisfikasi yang digagas Anselmus itu membingkai pemikiran sakrifisial dalam sejarah kekristenan. Allah memerlukan korban berdarah dari Allah untuk memberikan kehidupan baru kepada manusia. Dengan itu, kekerasan sakral dilegitimasi. Praktik menjatuhkan korban untuk memuaskan Allah dan menyeimbangkan rasa tersinggung dibenarkan.

Demitologisasi Salib

Tafsir kematian Kristus dalam bingkai teori satisfikasi Anselmus perlu didemitologisasi. Salib harus dibebaskan dari lingkaran kekerasan dalam diri Allah sendiri dan ditempatkan kembali sebagai bagian dari sejarah perlakuan dan kelakuan manusia. Dalam pandangan kristiani, kehancuran manusia sebenarnya bertolak dari kecurigaan terhadap Allah, seolah Allah ialah Tuhan yang haus darah, yang menghendaki kehancuran manusia dan menanti setiap saat agar amarah-Nya diredakan.

Kehilangan kepercayaan pada Allah membuat manusia pun saling mencurigai. Karena saling mencurigai, orang saling mengeksklusi dan malah membunuh. Orang yang hidup dalam kecurigaan mudah membayang-bayangkan musuh. Tidak butuh banyak alasan untuk mengubah musuh bayangan menjadi lawan yang harus dihancurkan.

Kepercayaan Kristus yang total kepada Allah menjadikannya tempat Allah hadir sepenuhnya dan mewahyukan diri secara istimewa. Transparansi yang penuh menjadikannya tempat Allah menjadi transparan bagi dunia. Pergaulan dan khotbahnya dialami sebagai kehadiran Tuhan yang merangkul dan mengayomi semua, juga mereka yang terlampau gampang dinyatakan tidak lolos seleksi keagamaan yang berkriteriakan kepatuhan. Sebab itu, kematiannya di salib diimani sebagai pernyataan diri Allah yang mencari manusia sampai rela mengorbankan dirinya. Allah memberikan segalanya untuk meyakinkan manusia akan hati-Nya yang luas untuk mengampuni. Dia bukan Allah yang tersinggung dan perlu dirayu manusia dengan korban berdarah.

Dengan itu, salib bukanlah tanda Allah yang haus darah dan menuntut korban.
Sebaliknya, salib ialah akibat perilaku manusia yang ditandai kecurigaan, yang tega menggunakan kekerasan untuk menghancurkan semua orang dicurigai, semua yang berbeda dengannya. Pada salib, menjadi nyata penolakan penuh kekerasan terhadap model kehidupan baru dalam suasana saling percaya bahwa Yesus menempuh jalan kepada salib sebagai satu-satunya kemungkinan untuk Menyingkapkan Cinta Tanpa Kekerasan.

Melawan Kekerasan

Tentang itu, René Girard menulis, ‘Memasukkan kembali kekerasan ke dalam ke-Tuhan-an tidak terjadi tanpa konsekuensi atas seluruh sistem, sebab dengan demikian orang membebaskan manusia dari sebagian dari tanggung jawab yang seharusnya satu dan sama untuk semua'. Tentu saja, proses seperti itu dapat pula dijumpai dalam agama-agama lain, juga di tengah bangsa kita. Ketika Allah dianggap tersinggung karena perilaku manusia, orang-orang beragama mendapat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang berpandangan dan berperilaku lain. Rumah ibadat mereka dihancurkan dan para pengikutnya diintimidasi.

Perayaan Paskah menggarisbawahi keyakinan bahwa Allah tidak menghendaki kekerasan. Kekerasan pun bukan kata terakhir dan tidak boleh menjadi bahasa yang diterima begitu saja oleh manusia. Kebangkitan Tuhan menunjukkan manusia tidak menyelesaikan apa pun dengan kekerasan. Sejarah korban tidak selesai ketika orang membunuhnya melalui penembakan atau membuangnya entah ke mana. Paskah sebagai perayaan kebangkitan korban menggarisbawahi keyakinan dasar manusiawi bahwa suara korban akan terus berteriak, juga puluhan tahun setelah hilang dentuman senjata yang membunuhnya.

Jika sejarah korban belum selesai, pelaku pun tidak mempunyai alasan untuk merasa tenang. Paskah membawa kembali gambaran dia yang disalib, dan dengan demikian pertanyaan tentang mereka yang menyalibkan dan alasan penyaliban dibuka lagi. Merayakan Paskah berarti mendengar dan memperdengarkan gugatan bagi para pelaku kekerasan dan dorongan untuk membongkar motif kekerasan itu. Kelicikan menggunakan topeng dan kelihaian membongkar perangkat CCTV serta pernyataan perlindungan dari siapa pun bukan jaminan bagi para pelaku kekerasan untuk boleh merasa aman.

Pelaku kekerasan mesti dicari, bukan untuk kemudian menghukumnya secara keji secara keji sebagaimana sudah dilakukannya sendiri. Salib Kristus bukanlah undangan untuk menggandakan salib bagi yang lain. Sebaliknya, dia bertujuan mengakhiri logika kekerasan. Maka, mencari dan menemukan kekerasan dalam semangat Paskah berarti memberinya peluang untuk menyadari dan mengakui kesalahannya. Lebih lanjut, pembongkaran itu membantunya supaya keluar dari penjara kecurigaan yang sudah membuatnya gagal menerima kehadiran orang lain yang berbeda darinya.

Di tengah bangsa yang semakin ditandai ketidakamanan karena tindak kekerasan, Paskah ialah undangan bagi semua untuk menjadi umat dan warga yang pantang kekerasan. Apabila ada kekerasan, apalagi ketika itu dilakukan terhadap orang-orang tidak berdaya seperti para tahanan, proses mesti dilancarkan dan usaha perlu digalang untuk mengetahui wajah siapa di balik topeng dan suara siapa yang terekam dalam peralatan keamanan yang dibongkar. Paskah pun menjadi ajakan untuk melepaskan diri dari penjara kecurigaan kolektif, yang sering membuat orang mengangguk mengerti dan setuju ketika sejumlah orang dari kelompok tertentu menjadi korban kekerasan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar