Jumat, 29 Maret 2013

Paskah dan Kepedulian Politik


Paskah dan Kepedulian Politik
Vinsensius Awey Kwan ;  Ketua Dewan Pastoral Paroki
Gereja St Yakobus Surabaya 2011-2013
JAWA POS, 29 Maret 2013


PASKAH merupakan saat-saat indah dalam kehidupan iman Kristiani, yakni Kristus menampakkan kemuliaan. Semangat melayani yang menjadi bagian dari rangkaian pesan Yesus menjelang kematian merupakan bukti bahwa membasmi ketidakadilan dan kemiskinan di dunia ini perlu dilakukan dalam semangat melayani dan rendah hati dalam menjalankan peran masing-masing manusia.

Pesan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan itu seakan beriringan dengan semangat yang disampaikan Paus Fransiskus yang baru terpilih. Pesan Paus Fransiskus sudah sangat jelas, memberikan perhatian kepada orang-orang yang tertindas dan hidup dalam kemiskinan. Umat Katolik perlu meneladani pesan Paus dan hidup Yesus Kristus yang rela berkorban untuk keselamatan umat manusia dan melayani. Bukan untuk dilayani.

Paus Fransiskus berasal dari Amerika Latin yang penuh dengan penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Para pemimpin Katolik dan kardinal dari berbagai belahan dunia tentu menyadari pilihan pada Paus Fransiskus, sehingga umat Katolik tidak perlu ragu dalam menentukan keberpihakannya.

Di Indonesia, umat Katolik juga terpanggil dan tentunya harus terlibat aktif dalam menuntaskan kemiskinan serta menentang ketidakadilan. Di Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai macam persoalannya, umat Katolik yang juga warga negara harus mempunyai sikap yang jelas dan tindakan nyata. Salah satu cara untuk mewujudkan semangat Paskah, mengurangi kemiskinan, dan membela orang-orang tertindas adalah mewujudkan sistem politik dan pemerintahan yang bersih serta bertanggung jawab.

Sistem politik dan pemerintahan yang sesuai dengan tujuan semangat Pancasila dan para pendiri bangsa tentunya bisa terwujud melalui pemilihan umum (pemilu). Dalam pemilu, umat Katolik juga terlibat dalam menentukan arah dan pelaksana untuk mewujudkan Indonesia yang adil serta sejahtera. 

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melalui Surat Gembala Prapaskah 1997 menyampaikan imbauan moral kepada para pemilih untuk mengikuti hati nurani dalam menetapkan pilihan. Bila merasa tidak terwakili dan yakin dengan suara hati yang jernih dan kuat, KWI dapat mengerti bahwa hal tersebut mengungkapkan tanggung jawab dan kebebasan dengan tidak memilih.

Pesan yang membolehkan golput tersebut bisa dimaklumi sebagai bagian dari protes gereja Katolik atas ketimpangan, ketidakadilan, dan bobroknya sistem pemerintahan menjelang jatuhnya Orde Baru itu. Asumsi ikut atau tidak ikut dalam pemilu tentu tidak mempunyai dampak dalam perubahan tata negara dan kehidupan berbangsa serta bermasyarakat. Singkat kata, rezim tidak akan berubah dan makna sebagai bangsa Indonesia pun sudah melenceng jauh.

Kini pada era yang diklaim sudah mempunyai sejumlah perubahan, partisipasi politik masyarakat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat setidaknya membutuhkan legitimasi dan partisipasi.

Karena itu, Pemilu 2014 hendaknya menjadi salah satu sarana bagi seluruh umat Katolik dalam menentukan masa depan Indonesia yang bebas dari kemiskinan dan penindasan, termasuk penindasan HAM dan ekonomi terhadap kaum minoritas. 

Bisa jadi, pesan moral yang perlu disampaikan dalam semangat Paskah dengan Pemilu 2014 adalah KWI mendorong semua masyarakat dalam mencermati pilihan agar terwakili dan yakin dengan suara hati yang jernih. 
Semua masyarakat harus mengungkapkan tanggung jawab dan kebebasan dalam memilih. 

Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, umat Katolik harus proaktif dalam kampanye menyerukan, antara lain: Jangan malu untuk tidak melakukan praktik korupsi. Gereja Katolik adalah gereja yang memihak kaum miskin. Menciptakan perdamaian bagi seluruh umat manusia, menggerakkan semakin banyak umat Katolik yang terlibat dalam pesta demokrasi dan ikut dalam mengambil keputusan politik, serta mempertahankan NKRI, UUD 45, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Kita boleh kehilangan harapan atas banyaknya parpol atau perilaku wakil-wakil rakyat yang melanggar hukum dan mengingkari aspirasi rakyat. Namun, kita harus percaya bahwa masih ada sejumlah pengurus parpol atau wakil-wakil rakyat yang terus-menerus memperjuangkan kebenaran. Orang atau kelompok seperti itu perlu didorong, diberi ruang untuk mewujudkan ide serta karyanya sehingga semakin banyak dilihat dan menjadi panutan masyarakat luas.

Jika umat Katolik apatis dan tidak ikut ambil bagian dalam mewarnai keputusan politik, sulit mengharapkan perubahan yang lebih baik. Hal itu sama saja dengan tidak mau menjadi bagian dari bangsa Indonesia dengan segala persoalannya. Dengan demikian, saatnya hierarki menyerukan kepada umatnya agar ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi Indonesia dan menyerukan agar meneladani kehidupan Yesus Kristus dalam melahirkan segala keputusan politik yang prorakyat. 

Dalam pertobatan pada masa Prapaskah dan perayaan Paskah ini, kita umat Katolik diingatkan kembali akan perkataan Santo Yakobus, ''Demikian juga halnya dengan iman. Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati.'' 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar