Jumat, 29 Maret 2013

Paskah dan Kesejatian Hidup


Paskah dan Kesejatian Hidup
Benny Susetyo ;  Rohaniwan, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI 
KORAN SINDO, 29 Maret 2013


Tanpa terasa di tengah hiruk-pikuk kebangsaan kita sejauh ini, telah lama hilang dari diri kita upaya mencari makna dan kesejatian hidup. Penghayatan akan nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan dan kesejatian hidup terpinggirkan oleh sikap serakah, sombong, dan merasa paling benar sendiri. 

Kekuasaan tidak digunakan penguasanya untuk membantu orang kecil berdaya dalam kehidupannya. Nasibnya kian menderita karena kebijakan-kebijakan yang dilahirkan hanya menjadikannya sebagai obyek dan pada akhirnya sebagai korban. Mengapa kita sulit empati terhadap penderitaan orang lain, dan terus-menerus mengagungkan diri seolah telah membantunya padahal nyatanya menistanya? 

Jawabnya lebih kurang karena proses pencarian makna kesejatian hidup berhenti bahkan hilang sama sekali dalam proses kehidupan ini. Solidaritas sosial memudar dan tergantikan dengan ikatan-ikatan formal dalam kerangka materialistik. Manusia semakin lemah artinya karena tergerus oleh ikatan material ini. Hukum ”jual-beli” lebih penting daripada nilai kemanusiaan dalam solidaritas sosial. 

Ada uang ada barang. Pelan-pelan kita sering menistakan manusia karena dia miskin dan tidak layak bergauldengankita. Mempunyai sahabat kaya lebih membanggakan daripada berelasi dan berempati dengan orang miskin. Kaum miskin semakin terpinggirkan dan tergerus oleh arus. Yang kaya tetap saja merasa miskin. Yang berkuasa tetap saja merasa masih memiliki jabatan yang rendah. 

Empati terhadap penderitaan dianggap sebagai nilai yang tak ada guna. Ruang untuk kembali memperkuat solidaritas sosial melalui proses empati ini semakin hari semakin menyempit. Kita menutup ruang-ruang untuk mempelajari makna kesejatian hidup. Hidup untuk siapa, dengan cara apa dan bagaimana. Yang jaya semakin jaya, dan yang menderita tetap menderita. 

Dalam Paskah ini, kita merenungkan derita rakyat yang tersalib. Mereka yang sepanjang umur hidup dalam penderitan terus-menerus. Kita menyaksikan rakyat kecil disalib oleh penguasa, orang miskin disalib oleh orang kaya. Pelan-pelan juga mata hati kita buta terhadap sesama. Kesejatian hidup pelan-pelan telah hilang dalam memori ingatan kita sebagai warga bangsa. Tragedi salib menyadarkan kepada kita bahwa manusia sepatutnya soliderakanpenderitaansesama. 

PenderitaanYesusitu bernilai karena ia menunjukkan kepada Tuhan betapa manusia tidak bisa lagi dikenali sebagai manusia karena terlalu dikuasai kekerasan. Jika manusia tak bisa dikenali lagi bahwa dirinya manusia, maka sudah sebuas apa perilakunya? Sudah serendah apa derajatnya? Penderitaan Yesus membuat Tuhan tak bisa ingkar melihat kemanusiaan. 

Tahankah Engkau melihat ini semua, sebagai Bapa umat manusia? Ingatlah kita akan katakata Yesus disalib ”Eloi, eloi, lamasabakhtani?” Paskah mengajak kita untuk merefleksikan kembali hakikat kemanusiaan yang mulai melepuh. Perilaku dan sikap kita sering terjebak dalam dunia yang kerap membuat wajah kemanusiaan terasing. Orang berebut kekayaan dan jabatan dengan cara menginjak-injak manusia lain. Para elitenya bermental kepiting. 

Untuk selamat dalam jebakan, dia harus menginjakinjak yang lain. Untuk memperoleh sebuah jabatan dan kekayaan, dia harus menghabisi yang lain. Dalam konteks lebih luas, rakyat dinistakan karena sumber alamnya diberikan begitu saja kepada modal. Bukankah alam yang diciptakan Tuhan adalah demi kesejahteraan bersama? Mengapa tiba-tiba sekarang dijadikan sebagai “privat” dan diserahkan kepada segelintir orang bermodal? 

Ketika aspek materi menjadi penguasa dalam hidup dan mendominasi perilaku sehari-hari, seketika itulah kesejatian hidup mulai luntur. Tak ada saudara, tak ada warga sebangsa. Semua yang ada dalam pandangannya adalah musuh. Dalam hirukpikuk kehidupan, semua serba berpikir; jika bukan ”kami” yang menguasai, tentulah mereka yang mendapatkan. Ya... kini nyaris semua orang berpikir demikian. 

Dan tanpa disadari, itulah yang makin memperlemah kesejatian hidup ini. Uang menjadi penentu segalanya. Nilai kemanusiaan kehilangan maknanya sebagai basis perilaku masa depan. Harihari kita menghadapi kesuraman sebab nilai kemanusiaan tidak lagi dijadikan acuan dalam bertindak, dan lebih ironis karena selain itu, kemanusiaan itu juga mulai kita hancurkan. Rakyat kembali tersalib dalam duka dan kecemasan masa depannya. 

Elite politik dan parlemen terlalu sering berkhianat dan berselingkuh atas nama ”politik kesejahteraan”. Harihari rakyat dipermainkan oleh perilaku penguasa yang seolaholah berbicara atas nama ”kepantasan publik”. Namun, mulutnya penuh busa-busa pembualan. Doa dan persembahan menurutnya bisa menutupi segala tipu daya yang dilakukannya. Rakyat harus dikorbankan atas nama ”pembangunan”. 

Tanpa empati atas penderitaan, mencandra dengan hati nurani, terlalu banyak kebijakan yang mengorbankan nasib rakyat. Rakyat dikubur dalam jurang terdalam kehinaan karena daulat ekonomi tidak lagi dijadikan pilihan dalam bertindak, bernalar dan berpikir. 

Daulat ekonomi digadaikan demi kepentingan segelintir orang. Inilah tragedi makin musnahnya ”kesejatian hidup” dalam hubungan bermasyarakat dan bernegara. Lalu sampai kapan negara dan mereka-mereka yang berada di balik kebijakan ini menyadarinya, mau mendengar kritik, dan yang lebih penting mengubah situasi ini? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar