Sabtu, 30 Maret 2013

PD dan SBY setelah KLB


PD dan SBY setelah KLB
Aribowo dan Lirih Aribowo  ;  Aribowo adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair,  Lirih Aribowo adalah Peneliti PuSDeHAM     
JAWA POS, 30 Maret 2013


KONGRES luar biasa Partai Demokrat (KLB PD) di Bali akan memilih ketua umum (Ketum). Kalau menilik bobot permasalahan PD dan adanya unsur darurat (tampak dari diselenggarakannya KLB), sebenarnya yang paling baik Ketum diambil dari luar PD. Di dalam PD, faksionalisme sudah sulit disatukan. 

Hanya, tokoh dari luar akan terbentur AD-ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga). Memang sulit membayangkan peserta kongres sepakat memahami KLB sebagai sesuatu yang darurat lalu mengubah AD-ART untuk memberi jalan orang luar. 

Para tokoh luar yang dianggap kapabel juga sudah menyatakan tidak bersedia menjadi Ketum PD, misalnya Dahlan Iskan. Bahkan, Mahfud M.D. merasa bahwa tawaran Ketum PD itu tak relevan disampaikan kepadanya. Sebab, dia tak punya kartu anggota. 

Karena dari dalam PD tidak ada tokoh yang punya kapabilitas besar, semua mata tertuju kepada figur SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Kondisi kritis seperti itulah yang menyebabkan ada sinyal SBY bersedia menjadi Ketum PD. 

Arus mengetumkan SBY itu terasa jadi arus terkuat menjelang KLB. Dugaan kami, begitu SBY bersedia menjadi Ketum PD, keputusan secara kor aklamasi dalam KLB itu akan tercapai.

Jika SBY menjadi Ketum PD, untuk menyelesaikan kondisi darurat PD sangat mungkin dilakukan penataan dengan gaya otoritarian. Partai dengan slogan "Santun, Bersih, dan Cerdas" itu akan memasuki era baru: ditata dengan gaya otoritarian seperti partai zaman Orba. Ironis memang kalau partai yang bernama "demokrat" justru dikelola secara tak demokratis. 

Persoalannya, jika SBY menjadi Ketum PD, apakah bisa mengangkat citra dan menaikkan elektabilitas PD? Apakah kalau benar SBY menjadi Ketum PD justru akan kontraproduktif alias menghancurkan PD?

SBY adalah ikon PD. Yang membangun dan membesarkan PD adalah SBY (sebagai kekuatan utama). Pada awal kepemimpinan Anas Urbaningrum (AU) sebagai Ketum PD, sekitar 2010-2011, tumbuh dengan cepat sebagai tokoh muda yang santun, moderat, dan smart. Anas mampu memerankan Ketum PD dengan baik. AU bisa tumbuh menjadi ikon muda PD di bawah SBY. 

Akan tetapi, ketika muncul kasus Nazaruddin, citra ketokohan AU yang bagus itu dibom habis-habisan dan sangat sistematis, baik oleh oknum faksi dalam tubuh PD maupun lawan politik di luar PD. Mereka menggunakan media massa elektronik, kemudian berkembang ke media cetak.

Bom besar yang ditembakkan ke AU, PD, dan SBY berfungsi efektif. Di sisi lain, tokoh-tokoh PD yang sangat beragam terpenjara dalam faksi sehingga pluralitas PD "belum sempat" menyatu. SBY yang asyik mengelola negara dan menyerahkan PD kepada AU yang belum sepenuhnya bisa meleburkan pluralitas PD. 

Tatkala "bom Nazaruddin" meledak, semua unsur dan faksi dalam PD kedodoran. Reaksi mereka sungguh mencengangkan: saling serang. Bom Nazaruddin telah melumpuhkan AU dan PD. 

Demokrat yang Otoritarian 

Jika SBY menjadi Ketum PD, rasanya pluralitas dalam PD akan dipaksa "menyatu" dan dikendalikan secara otoritarian. Kalau itu dilakukan SBY, pola kepemimpinan dalam PD akan bergeser dari demokratis ke otoritarian yang dijustifikasi dari keadaan darurat PD. 

Kalau pola otoritarian itu berhasil dilakukan SBY dengan cepat dan aman, irama "kesatuan" PD akan menonjol dan hal itu akan memudahkan SBY untuk menggerakkan PD. Akan tetapi, kalau SBY tidak berhasil menggerakkan PD dalam irama kesatuan, PD akan semakin terpuruk.

Di sisi lain juga bergantung dari perilaku dan keberhasilan SBY sebagai presiden selama satu tahun terakhir. Kalau kinerja pemerintahan SBY semakin baik, keberhasilan tersebut akan berpengaruh terhadap citra PD. 

Selain itu, citra terletak dari sikap dan respons SBY terhadap komentar serta serangan para oposisi dan media massa yang semakin intensif. Hal itu tidak terkait dengan berhasil atau tidaknya kinerja pemerintahan SBY, melainkan mampu atau tidak SBY merespons dengan cerdas dan anggun semua isu yang disemburkan kepada dirinya. Dengan demikian, bangkit atau tidaknya PD, rasanya, tinggal di dalam kinerja SBY setahun ini.

Kekisruhan yang menimbulkan KLB itu bisa menjadi contoh bagaimana PD yang semula dikelola dengan cara demokrasi kemudian bergeser ke arah otoritarian. Pertama, secara gradual partai politik yang dibangun zaman reformasi yang demokratis akan kembali ke arah hukum besi oligarki (HBO). 

Awal reformasi mengilhami berbagai partai politik dibangun dengan tatanan demokratis. Tatanan demokratis, utamanya partai-partai besar, dibangun dari ketokohan seseorang dan sistem partai modern, misalnya Amien Rais dengan PAN, SBY dengan PD, Megawati dengan PDIP (ini agak khusus karena mengukuhkan sistem dengan karisma Soekarno dan cara otoritarian), Prabowo dengan Gerindra, dan Wiranto dengan Hanura. Semakin besar partai itu, semakin pelik persoalan yang dihadapi, maka ada kecenderungan akan dikelola dengan pola HBO.

SBY semula membiarkan dan mengelola secara demokratis berbagai faksi dalam PD. Tetapi, tatkala menghadapi kasus Nazaruddin, ternyata partai yang cepat besar itu berkembang secara anarkistis dan destruktif. Maka, PD pun "menyerah" kepada hukum besi oligarki.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar