Kamis, 28 Maret 2013

Perlindungan TKI Bermartabat


Perlindungan TKI Bermartabat
Ayub A Basalamah ;  Ketua Umum DPP Apjati
SUARA KARYA, 28 Maret 2013


Bak dua sisi mata uang, barangkali itulah gambaran yang pas dalam menyikapi persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI). Di satu sisi, sumbangsih TKI sebegitu besar hingga mendapatkan sebutan mulia sebagai pahlawan devisa dan perannya sangat potensial untuk mengatasi pengangguran.

Di sisi lain, bisnis penempatan tenaga kerja memiliki citra yang kurang baik terkait proses perlindungannya. Tak heran, hingga saat ini harus diakui bahwa berbagai kalangan lebih banyak berpikir soal perlakuan dan nasib buruk TKI dibandingkan dengan fakta bahwa mereka yang bekerja di luar negeri dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.

Memang, tak dapat dipungkiri, masih ada kasus yang menimpa TKI kita meski persentasenya kecil. Namun, semua itu memiliki dampak negatif karena ibarat panas setahun yang dihapus oleh hujan sehari. Semua prestasi dan keberhasilan program penempatan TKI dalam sekejap pupus akibat munculnya kasus-kasus negatif terkait nasib TKI di luar negeri.

Isu perlindungan TKI dianggap sebagai persoalan yang paling penting. Lemahnya perlindungan terhadap TKI bahkan berujung kepada moratorium pengiriman TKI ke beberapa negara yang dianggap memiliki risiko tinggi bagi saudara kita yang mengadu nasib di luar negeri.

Penempatan TKI yang tidak dibarengi dengan sebuah sistem penempatan dan perlindungan yang baik, berkualitas dan bertanggung jawab, berakibat pada pencederaan terhadap martabat kemanusiaan TKI. Sederet permasalahan pun dialami TKI, seperti kasus pemalsuan dokumen, perlakuan tidak manusiawi, beban pekerjaan melebihi kemampuan, perdagangan alias jual beli TKI, pemotongan gaji terlalu besar, gaji tidak dibayarkan, bekerja tanpa istirahat cukup, bekerja tanpa hari libur cuti mingguan atau bulanan, mengalami pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan sampai kepada hilangnya nyawa mereka.

Menyadari pentingnya persoalan perlindungan TKI di luar negeri, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) mencoba menginisisasi sebuah forum multilateral untuk membangun kesepahaman dengan stakeholder terkait, khususnya dalam upaya memberikan perlindungan kepada TKI. Rapat Koordinasi Multilateral dilaksanakan tanggal 27-28 Maret 2013 dengan menghadirkan stakeholder dari 13 negara penempatan TKI untuk wilayah Asia Pasific dan Timur Tengah, antara lain Malaysia, Brunei Darussalam, Hong Kong, Singapura, Taiwan, Arab Saudi, Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, Syria, dan Yordania.

Pertemuan koordinasi tersebut melibatkan pihak-pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan TKI. Selain wakil dari KBRI, KJRI, konsoler, atase tenaga kerja, juga asosiasi/konsorsium agensi tenaga kerja negara penempatan, representative agency (PPTKA), asuransi negara penempatan TKI dan Apjati (Indonesian Manpower Services Association). Dari pertemuan tersebut diharapkan akan diperoleh kesepakatan perjanjian kerja yang mengikat dengan sanksi-sanksi tegas dan terukur bagi penciptaan pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI yang berkualitas dan bermartabat.

Tentu, forum multilateral akan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menerapkan visi dan cara kerja baru dengan lebih memaksimalkan potensi TKI. Dengan demikian, ke depan TKI tak hanya menjadi kekuatan ekonomi produktif, namun juga lebih terlindungi keberadaannya.

Perwalu

Pertemuan tersebut sekaligus untuk mengukuhkan pendirian Perwakilan Luar Negeri (Perwalu) yang merupakan ide dari Apjati sebagai komitmen memperkuat perlindungan TKI di luar negeri. Dengan pengalaman menempatkan hampir 6 juta TKI formal dan informal di 13 negara penempatan TKI, konteks perlindungan tenaga kerja tentu menjadi salah satu isu paling penting. Apalagi, usaha pendirian Perwalu sejauh ini mendapatkan respon sangat positif dari mitra Apjati di luar negeri.

Perwalu adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KBRI serta lembaga perlindungan TKI di negara setempat. Soal mekanisme, seluruh anggota yang bergabung dalam forum multilateral telah bersepakat mengumpulkan dana yang langsung dipungut dari majikan yang besarannya 100 dolar per TKI yang akan digunakan dalam konteks perlindungan TKI. Jadi, keberadaan lembaga ini tidak akan memberatkan TKI karena tidak akan memungut biaya dari TKI.

Keberadaan Perwalu diharapkan akan menjadi 'mata' dan 'telinga' untuk mengatasi permasalahan TKI ke depan. Apalagi, dengan struktur yang lebih fleksibel, Perwalu tentunya akan lebih mudah bergerak dalam menindaklanjuti semua persoalan yang mendera TKI, sebelum melibatkan campur tangan institusi resmi negara dalam hal ini kedutaan besar.

Yang harus disadari, tak semua persoalan TKI perlu dibawa ke ranah hukum. Banyak kasus yang muncul membutuhkan solusi dengan penyelesaian jalur non hukum. Peran inilah yang kelak diharapkan dapat dijalankan oleh Perwalu.

Bagaimanapun menjalin kesepahaman dengan mitra di luar negeri adalah mutlak dilakukan karena upaya perlindungan TKI akan sulit terwujud jika hanya dilakukan secara sepihak. Perlindungan yang kuat membutuhkan komitmen yang kuat pula dari semua unsur yang terlibat atas keberadaan TKI, baik dari negara penempatan maupun negara penerima jasa tenaga kerja. Dhus, pendirian Perwalu tampaknya sejalan dengan arahan Menakertrans yang menyebutkan bahwa semua pihak yang terkait dengan penempatan TKI harus menyamakan visi dan misi untuk lebih mengutamakan aspek perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri.

Akhirnya, untuk mencapai sebuah tujuan besar, dibutuhkan langkah kecil agar sebuah harapan dapat diwujudkan. Pendirian Perwalu adalah langkah kecil untuk menggapai tujuan besar dalam upaya memberikan perlindungan optimal terhadap TKI, pahlawan devisa kita! Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar