Minggu, 31 Maret 2013

Polri dan Perjudian


Polri dan Perjudian
Budi Hatees ;  Peneliti di Matakata Institute
TEMPO.CO, 30 Maret 2013


Pada periode awal reformasi pecah di negeri ini, ada euforia kebebasan yang melanda rakyat. Saat itu, entah kenapa, setiap orang gampang tersulut emosinya. Mereka cepat marah, lalu main hakim sendiri. Membunuh orang atas nama kebersamaan (massa), menjarah harta benda perusahaan-perusahaan yang dinilai sebagai milik kerabat elite pada rezim Orde Baru, dan membakar fasilitas-fasilitas negara atas nama ketidaksenangan.

Di Provinsi Lampung, di tempat penulis pernah tinggal, kantor Polsek Jabung dan Polsek Sukadana—keduanya di wilayah Kabupaten Lampung Timur—hangus dibakar massa. Aksi itu dipicu oleh ulah polisi menangkap warga setempat yang diduga terlibat dalam kasus kriminal berupa pembegalan dan penadahan hasil begal.

Sebetulnya, polisi tak salah. Sebab, pada saat itu marak kasus pembegalan yang dipicu buruknya situasi perekonomian rakyat pasca-reformasi. Berbagai sektor usaha rakyat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak memberi hasil maksimal akibat kurang bagusnya tata niaga berbagai komoditas pertanian dan perkebunan. Pemerintah daerah sendiri malah sibuk membenahi dan menata sistem birokrasi untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan. Rakyat jadi malas berusaha dan memilih melakukan tindak kriminal berupa pembegalan.

Aksi ini diketahui semua lapisan masyarakat, karena hasil kejahatan berupa kendaraan bermotor dijual dengan sistem tebus. Mereka yang menjadi korban boleh menebus sepeda motornya yang berhasil dibawa pembegal, dan transaksi berlangsung secara terbuka, bahkan acap disaksikan oleh para tokoh masyarakat. Polisi sendiri mengetahui persoalan ini, dan memilih untuk mendiamkannya.

Namun, ketika ada kebijakan dari pimpinan polisi untuk memberantas kejahatan pembegalan karena sangat meresahkan, situasi menjadi berubah. Kebijakan pimpinan polisi itu diaplikasikan dengan strategi membentuk kompi-kompi polisi berpatroli sepeda motor yang disebut Kompi Walet yang dipimpin langsung oleh seorang perwira menengah, dan efektif menghentikan aksi pembegalan di sejumlah tempat yang diduga rawan. Tidak sedikit pembegal yang terkapar karena ditembak, sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku laiknya. Banyak juga jaringan yang ditangkap, termasuk para tokoh masyarakat, yang kemudian dititipkan di polsek-polsek di wilayah di mana pelaku tertangkap.

Pembakaran kantor Polsek Jabung dan Polsek Sukadana dipicu oleh penangkapan tokoh masyarakat yang diduga sebagai pelaku begal. Masyarakat setempat marah, lalu merangsek ke dalam markas polisi untuk membebaskan tokoh mereka. Aksi massa berhenti bersamaan dengan hangusnya markas polisi. Kasus itu pun berlanjut dengan penangkapan tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam provokasi massa. Sejak itu, kasus pembegalan mulai berkurang di kawasan Kabupaten Lampung Timur. Para pelaku tindak kriminal di daerah itu memutuskan merantau, meskipun tetap menjadi pelaku tindak kejahatan.

Kemarahan massa menjadi hal yang wajar pada era awal reformasi bergulir di negeri ini. Euforia kebebasan membuat semua orang mendefinisikan reformasi sebagai laku bebas untuk merayakan kemerdekaan atas segala hal setelah puluhan tahun dikekang rezim Orde Baru. Tapi, sekitar sewindu sesudah reformasi, perlahan-lahan rakyat mulai kembali pada posisi sebagai warga bangsa yang tidak boleh memanjakan emosi.

Pemahaman rakyat tentang reformasi menjadi lebih dewasa, seiring dengan semakin terbukanya peluang bagi setiap warga bangsa untuk mengekspresikan diri di era otonomi daerah. Meskipun demikian, yang diperoleh rakyat tidak lebih bagus dari yang diharapkan, karena otonomi daerah dipahami secara keliru oleh para elite daerah sebagai momentum untuk menjadi penguasa yang lalim. Akibatnya, perhatian terhadap kebutuhan masyarakat menjadi terabaikan, karena setiap elite sibuk membangun jaringan sendiri bersama kolega-koleganya untuk menguasai sumber-sumber penghasilan yang ada.

Satu-satunya sumber keuangan di daerah hanyalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), muara dari sumber pembiayaan proyek-proyek fisik yang peruntukannya untuk fasilitas publik. Namun, lantaran pembangunan-pembangun proyek fisik itu dikuasai oleh jaringan pemegang kekuasaan pemerintah daerah, korupsi pun merajalela seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Kualitas fasilitas-fasilitas publik menurun, sehingga peruntukannya tidak seperti yang diharapkan. Pada akhirnya, situasi ini mempengaruhi sistem ekonomi di daerah, yang implikasinya merusak sumber-sumber perekonomian masyarakat.

Berbagai sektor usaha masyarakat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak bisa tumbuh seperti yang diharapkan, karena pasar dari komoditas yang dihasilkan sangat terbatas. Petani menjadi produsen komoditas yang berada di bawah kendali asosiasi-asosiasi yang dibentuk para pemilik modal, sehingga hasil kerja petani tidak terbayar dengan hasil panennya. Sedangkan harga berbagai komoditas sehari-hari terus melonjak, belum lagi biaya-biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak terkendali pertumbuhannya, sehingga rakyat semakin terpojok dan bertambah melarat.

Akibatnya, rakyat tidak terlalu mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan, lalu memanjakan diri dengan mimpi-mimpi dapat hidup makmur dengan cara cepat dengan menghalalkan segala macam cara. Situasinya kembali ke periode awal reformasi, ketika rakyat memilih jalan sesat untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan cara membudayakan berjudi dalam hidup. Patah semangat karena hasil kerja tidak kunjung menggembirakan, rakyat kemudian memilih bermimpi cepat menjadi kaya.

Mimpi rakyat terkabul dengan hadirnya ragam jenis permainan judi. Permainan ini sudah lama ada, tapi kemudian menjadi sangat menarik bagi rakyat, sehingga pertumbuhannya begitu pesat. Nilai rupiah yang berputar dalam permainan judi sangat tinggi, yang kemudian menyedot perhatian banyak kalangan karena dalam permainan itu ada keuntungan yang bisa dibagi-bagi.

Bukan rahasia lagi, judi yang berkembang di lingkungan masyarakat, seperti toto gelap (togel), adalah 
permainan yang tak akan pernah langgeng bila aparat penegak hukum benar-benar melarangnya. Judi togel berlangsung kasatmata di lingkungan masyarakat, menjadi percakapan sehari-hari, dilakukan rakyat sesering mereka bernapas. Tapi aparat penegak hukum, seperti polisi, melakukan pembiaran.
Judi jenis togel menjadi keseharian masyarakat di negeri ini. Tindak kejahatan ini berlangsung masif, dan mustahil jajaran penegak hukum tidak mengetahuinya.

Mungkin juga polisi memang tak mengetahuinya, karena persoalan judi sebagai tindak kriminal hampir tidak pernah menjadi pembicaraan serius di lingkungan Polri. Saat rapat pimpinan Polri digelar di auditorium PTIK, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Januari 2013, hanya ada tiga persoalan krusial yang menjadi prioritas kerja Polri pada tahun ini. Ketiga persoalan itu adalah korupsi, terorisme, dan konflik sosial.

Perjudian, sebagai tindak kejahatan yang memiliki dampak sosial tinggi, juga bisa berimplikasi terhadap terjadinya tindak kriminal dan konflik sosial, tidak ada dalam prioritas kerja Polri. Ini menunjukkan bahwa Polri tak terlalu risau oleh perjudian yang marak di lingkungan masyarakat, sehingga tidak perlu penanganan serius.

Jika benar begitu, berarti betul bahwa Polri memang melakukan pembiaran terhadap maraknya perjudian di negeri ini. Tapi semoga saja asumsi ini keliru, sehingga dampak perjudian yang begitu parah seperti yang menewaskan Kepala Polsek Dolok Pardamean, AKP Andar Siahaan, tidak lagi terulang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar