Selasa, 26 Maret 2013

SBY, Pemburu Kuasa, dan Upaya Pemakzulan


SBY, Pemburu Kuasa, dan Upaya Pemakzulan
Abdul Hakim MS  ;  Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 25 Maret 2013
  

Untuk kesekian kalinya, pemerintahan di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali diterpa isu pemakzulan. Rumor yang beredar, pada 25 Maret 2013, akan ada demo besar yang bertujuan untuk menggulingkan kedudukannya sebagai presiden sebelum masa jabatannya berakhir pada 2014 mendatang. 

Entah kenapa, sejak menjabat sebagai presiden, wacana tentang pemakzulan terhadap Presiden SBY tak pernah berhenti. Namun kerap juga, wacana itu hanya sebatas gertak sambal. 

Kita tentu masih ingat dengan manuver politik “Gerakan cabut mandat” yang diprakarsai oleh mantan aktivis Hariman Siregar pada tahun 2005 silam. Kita juga tak bisa lupa dengan upaya impeachment sejumlah kekuatan politik di parlemen terhadap Wakil Presiden Boediono terkait kasus dugaan skandal dana talangan (bailout) Bank Century pada 2010. 

Pun tentu masih hangat di kepala kita tentang tuduhan tokoh lintas agama terkait ”18 kebohongan rezim Presiden SBY”. Semua bermuara satu, diwacanakan ingin memakzulkan posisi suami Kristina Herawati Yudhoyono ini.

Merujuk kondisi di atas, hemat saya, banyaknya kritik yang kerap berujung pada wacana penggulingan terhadap pemerintahan Presiden Yudhoyono ini, sebetulnya tak betul-betul ingin melengserkan pemerintahan. Hal ini didasarkan pada tiga hal. 

Pertama, jalan menuju penggulingan pemerintahan saat ini memerlukan rute yang sangat panjang dan berliku. Kedua, pemerintahan SBY saat ini masih cukup kredibel di mata masyarakat karena baiknya kinerja ekonomi. Ketiga, kekuatan-kekuatan politik saat ini, terutama militer, tak mendukung kemungkinan terjadinya pergantian kekuasaan secara ilegal. 

Pertanyaanya, lalu apa motif wacana penggulingan terhadap pemerintahan SBY terus digulirkan?

Pemburu Kuasa

Motif terus bergulirnya wacana pemakzulan terhadap presiden SBY, hemat saya, sejatinya tak jauh-jauh dari dekatnya suksesi kepemimpinan pada 2014. Meski tak bisa kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014, SBY saat ini tetaplah masih menjadi figur terkuat dalam pentas politik nasional. 

Dukungan SBY pada sosok yang nantinya akan maju pada Pilpres 2014, tentu akan memberikan referensi positif bagi para pengikutnya untuk menjatuhkan pilihan. Itu sebabnya, kredibilitas lulusan terbaik AKABRI 1973 ini perlu direduksi oleh lawan-lawan politiknya agar tercipta situasi balance of power di antara kandidat capres-capres yang akan maju pada pemilu mendatang.

Dengan banyaknya wacana pemakzulan, mungkin yang diharapkan oleh para pengritik SBY ini adalah muculnya “kesadaran” masyarakat bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam pemerintahan saat ini. Muaranya, “kesadaran” masyarakat ini diharapkan bisa mengurangi atau bahkan meruntuhkan citra SBY yang masih sangat baik. Dengan runtuhnya citra SBY, itu artinya, ”pertempuran” pada pileg dan pilpres mendatang akan seimbang di antara para kontestan karena tak ada yang lebih menonjol antara satu dengan lainnya. 

Selain itu, perlunya mereduksi citra SBY ini tentu erat kaitannya dengan suara Partai Demokrat (PD) yang tak terkejar pada pemilu 2009 lalu. Saat ini, kondisi PD memang sudah terpuruk melalui polemik panjang terkait kasus yang menimpa mantan Ketua Umumnya, Anas Urbaningrum. Namun upaya penyelamatan yang dilakukan SBY, bukan mustahil bisa menjadi titik balik perbaikan citra PD untuk menghadapi pemilu 2014 mendatang.

Tentu para lawan politik SBY tak mau itu terjadi. Elektabilitas PD yang sudah rontok, akan sangat berbahaya jika bisa diperbaiki lagi. Oleh karena itu, penggerogotan terhadap citra SBY perlu terus dilakukan agar PD betul-betul cair. Sehingga, parpol kontestan lain bisa ”berbagi” kue limpahan suara PD dan SBY. 

Berliku

Akan tetapi, terlepas dari analisis di atas, upaya pemakzulan presiden saat ini bukanlah langkah yang sederhana. Banyak rute berliku yang harus dilalui agar upaya pemakzulan itu bisa terwujud. 

Jika merujuk pada UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun Pasal 7A yang merupakan hasil perubahan ketiga konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa pemberhentian dimungkinkan, “apabila [Presiden dan/atau Wapres] terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. 

Pertanyaannya, apakah Presiden SBY memenuhi enam syarat dalam pasal tersebut untuk dimakzulkan?

Jika ditelusuri secara cermat, sepertinya enam syarat itu masih jauh dari Presiden SBY. Bahkan seandainya presiden melanggar salah satu dari enam syarat itu pun, proses pemakzulan tak serta merta dapat dilakukan. Karena Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wapres ke MPR, Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum sesuai bunyi Pasal 7A. 

Jadi, seandainya DPR mengatakan Presiden melakukan pelanggaran sesuai pasal 7A, namun MK memandang itu bukan sebuah pelanggaran, pemakzulan tak akan menemui legitimasinya.

Hal ini sangat berbeda dengan proses pemakzulan di masa lalu. Mantan Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara ketika itu. Akan tetapi perlu dicatat, kala itu, kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden memang ada di tangan MPRS atau MPR. 

Namun, melalui empat tahap amandemen UUD 1945, MPR mengalami pengurangan hak secara signifikan. Saat ini MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden. Selain itu, amandemen juga mendudukkan posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. 

Melihat kondisi ini, ada baiknya para politisi dan elemen “pemburu kuasa” berpikir ulang untuk mengupayakan pemakzulan presiden. Selain syaratnya tak memungkinkan sesuai diatur dalam UUD 1945, proses panjang yang harus dilalui juga akan menghabiskan energi tak berarti. 

Oleh karena itu, sudah semestinya proses pengambilalihan kekuasaan harus dilakukan sesuai agendanya, pemilu lima tahunan. Jangan sampai kita kembali ke era ketakpastian politik. Karena lagi-lagi, ketakpastian politik hanya akan mengantarkan kepada ketakpastian kondisi masyarakat dalam mengarungi kehidupan bernegara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar