Minggu, 31 Maret 2013

SMK, Sekolah Masyarakat Kekinian


SMK, Sekolah Masyarakat Kekinian
Junaidi Abdul Munif ;  Peneliti El-Wahid Center,
Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUARA KARYA, 30 Maret 2013


Banyaknya pengangguran di usia produktif menjadi masalah pelik bangsa ini. Lulusan sekolah menengah atas (SMA, SMK, MA) dan sarjana menjadi 'penyumbang' pengangguran terbesar. Untuk menekan pengangguran itu, wacana pendidikan kewirausahaan pun ramai menjadi isu nasional, terutama di perguruan tinggi, hingga dirasa perlu ada mata kuliah kewirausahaan.

Dunia kerja yang menuntut keterampilan yang mumpuni menjadi titik ironi bagi sengkarut ketenagakerjaan di Indonesia. Di sisi lain, budaya wiraswasta (entrepeneurship) masih menjadi masalah yang turut menyumbang angka pengangguran. Paradigma bahwa uang hanya bisa dicari dengan bekerja masih kuat di masyarakat kita. Mereka yang berpikir untuk menciptakan pekerjaan masih terbilang sedikit.

Pendidikan ditengarai turut bertanggung jawab atas fenomena yang menyesakkan tersebut. Di tengah gejala konsumerisme dan kapitalisme, pekerjaan dituntut untuk dimiliki oleh mereka yang tergolong usia produktif agar mampu mandiri secara ekonomi. Keterampilan dan pekerjaan juga menjadi bekal untuk bersaing secara nasional dan global.

Belakangan ini, SMK kembali ramai diperbincangkan sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memenuhi tanggung jawab sosial demi mencetak generasi bangsa yang terampil sebagai bekal untuk bekerja. Kemendiknas (dulu) cukup serius mengupayakan SMK sebagai kawah candradimuka untuk membekali siswa dengan keterampilan khusus. Izin pendirian SMK lebih diprioritaskan daripada SMA atau MA. Dhus, 'latahisme' pun terjadi, yakni banyak yayasan ramai-ramai mendirikan SMK meski secara SDM dan infrastruktur kurang mendukung. Dalam hal ini, Kemendikbud perlu melakukan seleksi secara ketat.

Sebetulnya cukup banyak SMK yang ada di Indonesia. Namun, kita cukup lama terjebak pada dikotomi bahwa SMK adalah sekolah kelas dua dan buangan bagi anak-anak yang tak diterima di sekolah negeri. Paradigma ini seolah menemukan pembenaran di lapangan karena terbukti dari segi kecakapan mata pelajaran, siswa SMK masih di bawah rata-rata anak SMA.

Kemendiknas mendorong agar di setiap provinsi dan kabupaten harus memiliki sekolah unggulan dan RSBI, termasuk SMK. Tahun 2009 tercatat di 33 provinsi, ada 182 SMK RSBI. (Dirjen SMK, 2009) Ini masih kurang jika dibandingkan jumlah SMA unggulan.
SMK masih menjadi harapan bagi keluarga menengah ke bawah untuk menyekolahkan anaknya. 

Melanjutkan ke perguruan tinggi serasa berat di tengah himpitan ekonomi. Namun, masalah klasik selalu menghantui SMK.

Pertama, karena sekolah ini adalah kejuruan yang menitikberatkan praktik daripada teori, biaya menjadi lebih mahal. Alasan untuk membeli alat praktikum menjadi alibi bagi sekolah (terutama swasta) untuk memungut biaya tambahan kepada wali murid.

Kedua, SMK cenderung dihuni oleh siswa yang bergender homogen. Jurusan mesin, otomotif, dan bangunan lebih banyak dihuni oleh siswa laki-laki, sementara jurusan tata boga atau tata busana cenderung dihuni oleh perempuan. Di usia muda seperti itu, jurusan SMK yang dihuni para siswa laki-laki cenderung lebih 'susah diatur' dan muncul semacam kekompakan untuk melanggar peraturan sekolah.

Itikad pemerintah untuk menjadikan SMK sebagai pencetak tenaga kerja siap pakai harus seimbang antara sekolah SMK negeri dan swasta. Kebanyakan mereka yang kurang mampu cenderung menyekolahkan anaknya ke SMK swasta pinggiran karena biaya lebih murah daripada SMK negeri. Lebih bijak misalnya, jika pemerintah lebih memerhatikan sekolah swasta yang kekurangan alat praktik untuk meminimalisir kesenjangan antara ketersediaan fasilitas dan jumlah siswa. Faktor fasilitas turut memengaruhi tingkat penguasaan siswa terhadap materi praktik. Intensitas melakukan praktik dapat menjadi sebab penguasaan materi praktik peserta didik.

Tahun 2020-2025, Indonesia menargetkan jumlah SMK dan SMA adalah 70:30. Artinya, ke depan, Indonesia berusaha menciptakan generasi muda yang siap kerja. Namun, penyiapan tenaga kerja yang masis dapat menjadi blunder jika hanya berhenti pada tataran skill-praktis. Ketersediaan guru SMK yang sesuai kompetensi masih minim. Padahal, guru dalam SMK menjadi penting karena dia sekaligus sebagai trainer.

Kurikulum merupakan salah satu aspek penting yang menentukan mutu kualitas lulusan lembaga kejuruan. Karena posisinya yang penting, kurikulum pendidikan di sekolah menengah tentu berbeda. Perbandingan teori dan praktik idealnya adalah 30 teori, 70 praktik.

Balitbang Jateng (2008) memberi rekomendasi dalam soal kurikulum. Pertama, sekolah harus bekerja sama dengan dunia indsutri untuk menyusun kurikulum, agar didapat kesepahaman apa yang dibutuhkan oleh dunia industri. Kedua, untuk sekolah, teori kejuruan dan praktik dasar diberikan di semester awal agar semester selanjutnya bisa lebih fokus mematangkan keterampilan siswa dalam bidang keahlian tertentu.

Yang perlu diberikan (diselipkan) dalam kurikulum adalah nilai-nilai filsosofis kerja. Ini penting agar lulusan SMK ke depan tidak hanya memahami tujuan kerja dari sisi pragmatis (gaji), namun juga idealisme dan tujuan jangka penjang kerja untuk merawat kemanusiaan dan peradaban. 

Kemendikbud mesti berperan untuk menyinergikan pendidikan dan kebudayaan, termasuk di SMK.
Pendidikan di SMK harus pula diarahkan pada pendidikan kewirausahaan. Ini untuk mengantisipasi jika pendidikan keterampilan di SMK berhasil (semoga), kita justru kelebihan stok tenaga terampil, sementara perusahaan yang ada tak lagi mampu menampung mereka. Peran SMK dengan demikian, bukan semata mencetak tenaga siap kerja, tapi juga para lulusan yang mampu menciptakan pekerjaan. SMK akan menjadi solusi dari tiga masalah sekaligus; pengangguran, minimnya wirausahawan, dan pekerjaan yang berbudaya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar