Selasa, 30 April 2013

Bom Boston : Siapa yang Harus Disalahkan?


Bom Boston : Siapa yang Harus Disalahkan?
Nina L. Khrushcheva ;  Pengarang Buku Imagining Nabokov: Russia Between Art and Politics”; Senior Fellow pada World Policy Institute di New York
KORAN TEMPO, 29 April 2013


Kesalahan siapa Boston Marathon dibom? Apakah Rusia yang harus disalahkan karena selama 250 tahun mencoba memasukkan bangsa-bangsa muslim ke Kaukasus Utara, seperti Chechnya dan Dagestan; pertama ke Empirum Kristen Ortodoks, kemudian ke Uni Soviet, dan sekarang ke Rusia-nya Presiden Vladimir Putin yang menguasai segala-galanya itu? Atau apakah Islam radikal merupakan satu-satunya penjelasan yang dibutuhkan, baik di Rusia maupun di Barat?

Serangan bom yang dilakukan Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev telah dibandingkan dengan serangan teroris-teroris kelahiran Arab Saudi di Amerika Serikat pada 11 September 2001 atau upaya imigran Pakistan, Faisal Shahzad, yang mencoba meledakkan bom mobil di Times Square, New York, pada 2010. Ada pula yang mengatakan bahwa Tamerlan, seorang etnis Chechnya yang berusia 26 tahun, mungkin telah menyaksikan perang Rusia-Chechnya pada 1999 atau tindakan brutal Rusia menindas perlawanan rakyat-rakyat di Kaukasus Utara. Digempur dengan kejam oleh tentara Rusia, Tamerlan dan adiknya yang masih remaja saat itu, katanya, memilih memperluas perlawanan di bumi Amerika Serikat.

Masalahnya, dengan penjelasan seperti ini, sudah tentu, Tsarnaev bersaudara itu ternyata berasal dari Kirgizstan. Mereka tidak pernah tinggal di Chechnya, dan hanya sebentar melintas di Dagestan pada awal 2000-an. Ikatan mereka dengan kawasan ini terletak pada perasaan senasib dalam diaspora. Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov, mantan pejuang kemerdekaan, segera mengatakan kedua bersaudara tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan republik yang dipimpinnya.

Dzhokhar, yang sekarang berusia 19 tahun, baru berusia 8 tahun ketika keluarganya pindah ke Amerika—menetap di Cambridge, Massachusetts—dan, menurut banyak cerita, ia adalah seorang imigran yang cepat menyesuaikan diri di Amerika. Akhir-akhir ini ia mulai mengidentifikasi diri dengan akar etnis dan agama yang dianutnya. Walaupun mengalami kesulitan mengikuti kehidupan di kampus sebagai seorang mahasiswa, Dzhokhar sangat mendalami subkultur Amerika yang beragam itu.

Tamerlan, seorang petinju yang sebenarnya bisa menjadi petinju profesional, menikah dengan seorang wanita Kristen Amerika yang pindah memeluk agama Islam dan taat seperti suaminya. Patimat Suleimanova, bibi Tsarnaev bersaudara yang tinggal di Dagestan, mengatakan keponakannya yang lebih tua itu tidak pernah salat sebelum pindah ke Amerika pada usia 16 tahun. “Ia bahkan tidak kenal apa Islam itu,” katanya dalam wawancara denganCNN. Menurut pandangan Patimat, Tamerlan menjadi radikal setelah berada di Amerika.

Sesungguhnya, kisah anak-anak muda tersebut tidak begitu berbeda dengan kisah “serigala-serigala yang sendirian”, yang berkulit putih dan mengalami kekecewaan dalam kehidupannya serta begitu sering menumpahkan darah di Amerika. Bedanya adalah, mereka yang berkulit putih itu tidak dipersalahkan secara kolektif atas kekejaman yang mereka lakukan. Adam Lanza di Newtown, Connecticut, atau James Holmes di Aurora, Colorado, tidak dipandang sebagai bagian dari kelompok agama atau etnis yang “dicurigai”. Bahkan, ketika kulit putih ini melancarkan serangan yang jelas-jelas bersifat teroris—misalnya Timothy McVeigh, pelaku pengeboman di Oklahoma City, yang menewaskan 168 orang pada 1995, atau Theodore Kaczynski, yang dijuluki “Unabomber”—apa yang mereka lakukan dianggap sebagai urusan penegakan hukum yang tersendiri, bukan sebagai tindak terorisme.

Bedanya lagi, tersangka terorisme yang berkulit gelap, terutama muslim, dianggap sebagai agen dari konspirasi besar yang memerlukan keterlibatan militer dan, yang membenarkan, diambil tindakan yang melanggar hak asasi manusia untuk menindasnya. Contohnya adalah seruan-seruan awal yang disuarakan oleh berbagai anggota Kongres Amerika agar Dzhokhar diadili sebagai enemy combatant alias musuh dalam perang. Masa bodoh Tsarnaev itu sudah menjadi seorang warga negara Amerika dan karena itu tidak bisa diadili mahkamah militer, atau bahwa ia ditangkap di bumi AS, bukan di medan perang.

Presiden Barack Obama pantas diberi penghargaan karena Dzhokhar bakal dibawa ke muka pengadilan sipil. Tapi hal itu tidak mengubah kecenderungan orang-orang Amerika untuk menyamaratakan segalanya, baik menyangkut orang maupun negara. Begitu cepatnya fitnah dilemparkan kepada orang-orang Chechnya, sehingga Duta Besar Cek di AS merasa perlu mengeluarkan pernyataan yang meminta rakyat Amerika tidak mengacaukan Chechnya dengan Cek dan menuduh negerinya terlibat dalam pengeboman itu.

Di Rusia juga timbul dampak yang membahayakan. Apa yang dilakukan Tsarnaev bersaudara itu tampaknya membenarkan kebijakan nasionalis yang dijalankan Putin di Kaukasus Utara serta argumentasinya bahwa dua perang yang dilancarkan Rusia untuk menindas perjuangan kemerdekaan Chechnya—dari 1994 sampai 1996 dan pada 1999—dilakukan demi keamanan nasional. Dalam hal ini, apa yang terjadi di Boston merupakan hadiah diplomatik bagi Putin.

Tapi satu-satunya yang tampak jelas dalam kekerasan yang terjadi ini adalah bahwa anak-anak muda yang terasingkan dari agama atau etnisitas mana pun bisa dengan tiba-tiba berontak dan melakukan kekerasan. Penolakan Dzhokhar yang dengan segan dilakukan terhadap kehidupan di Amerika yang materialistik—bahkan setelah terjadi pengeboman itu, ia bercengkerama di media sosial Twitter, ikut pesta kampus, dan berolahraga di gimnasium—tampaknya diperkokoh oleh apa yang telah membuat kakaknya geram atas direbutnya kembali kekuasaan di Kaukasus Utara oleh Putin.

Namun, dalam hal ini, pengeboman di Boston tersebut tampaknya merupakan paradoks. Sementara Tsarnaev bersaudara itu mungkin berkeberatan terhadap kesia-siaan hidup di sebuah negara sekuler, ada perasaan lain dalam diri mereka yang mungkin ada benarnya, yaitu Rusia dan Barat tidak ada bedanya. Sama seperti Rusia, yang harus menghadapi peningkatan fundamentalisme yang didorong oleh kebijakannya sendiri, sikap bermusuhan terhadap muslim di Amerika bakal melahirkan keterasingan dan perlawanan dari dalam.

Bukankah serangan bom terhadap kereta api di Madrid pada 2004 dan serangan bom terhadap sistem angkutan umum di London pada 2005 tidak dilakukan oleh imigran dari Arab Saudi atau Taliban, melainkan oleh anak-anak muda yang lahir dan dibesarkan di Spanyol dan Inggris? Selama beberapa tahun setelah itu, Amerika dianggap sebagai kekecualian—suatu negara di mana anak-anak muda, apa pun latar belakangnya, merasa betah hidup di negeri itu. Serangan bom dalam Boston Marathon serta banyak tindak kekerasan massal lainnya di Amerika seharusnya mengubur anggapan demikian untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar