Minggu, 28 April 2013

Budaya Verbal Tergerus Budaya Material


Budaya Verbal Tergerus Budaya Material
Maria M Bhoernomo ;  Penikmat Sastra, Tinggal di Kudus, Jateng
JAWA POS, 26 April 2013

  
Di hampir semua pelosok perkotaan dan pedesaan, bermunculan portal-portal atau "polisi tidur" untuk mencegah perilaku berkendara yang ugal-ugalan dan berbahaya. Portal-portal dan "polisi tidur" terpaksa dibuat banyak warga karena budaya verbal tidak diperhatikan lagi. Misalnya, siapa yang mau peduli terhadap rambu-rambu bertulisan peringatan: Awas! Pelan-Pelan! Awas! Banyak Anak!

Di dalam lingkungan perkotaan, sekarang makin banyak taman yang juga dipagari agar rumputnya tidak diinjak-injak secara sembarangan oleh masyarakat. Itulah bukti lagi bahwa pagar sebagai pengejawantahan budaya material lebih dianggap bisa diandalkan jika dibandingkan dengan papan peringatan atau etika sebagai pengejawantahan budaya verbal.

Kebun Binatang 

Budaya verbal yang tergerus budaya material sebenarnya sudah lama berlangsung. Misalnya, setiap kebun binatang pasti dipenuhi pagar-pagar yang membatasi gerak-gerik binatang yang dipiara agar terpisah dengan pengelola serta pengunjung yang terdiri atas manusia.

Dalam konteks kebun binatang, pagar dipilih demi keselamatan binatang dan manusia. Sebab, binatang tidak bisa hidup dengan budaya verbal. Lebih jelasnya, semua binatang di kebun binatang tidak bisa diajak berkomunikasi dengan kata-kata (verbal) sebagaimana yang dilakukan manusia. Karena itu, mereka terpaksa dikurung dengan pagar (material).

Dengan kata lain, pagar di kebun binatang semata-mata digunakan untuk mencegah binatang agar tidak hidup liar dan tiba-tiba bisa menerkam manusia. Andai binatang bisa diajak menghayati budaya verbal, mungkin tidak perlu dipagari, tapi cukup dinasihati dengan kata-kata saja.

Yang layak dicermati, tergerusnya budaya verbal oleh budaya material bisa menimbulkan efek domino luas yang bermuara pada munculnya dehumanisasi. Misalnya, makin banyak orang yang tewas sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Atau makin banyak manusia yang tidak bisa menghargai tata krama pergaulan, termasuk berkendara yang sangat berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.

Layak juga dicermati, gejala dehumanisasi kayaknya makin luas di negeri ini, dengan bukti bahwa budaya material yang berbentuk portal dan pagar makin dipilih banyak pihak. Misalnya, aparat keamanan makin suka memasang pagar kawat berduri untuk melokalisasi aksi unjuk rasa. Dalam hal ini, aturan dan tata tertib yang sudah ada dianggap tidak mampu mencegah anarkisme sehingga diperlukan pagar kawat berduri.

Yang memprihatinkan, meskipun sudah dibatasi dengan pagar kawat berduri, tetap sering muncul anarkisme yang menyertai aksi unjuk rasa. Misalnya, pengunjuk rasa tetap mengamuk membabi buta, melakukan berbagai macam kekerasan yang mengerikan.

Lantas, aparat pun terpancing, ikut-ikutan brutal karena sama-sama menghayati budaya material, misalnya menggunakan gas air mata, pentungan, maupun tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Jika sudah demikian, budaya verbal betul-betul telah tergerus budaya material.

Begitulah, budaya material memang identik dengan kekerasan yang bisa memperparah dehumanisasi dalam arti luas. Jika budaya material sudah dipilih tiap-tiap pihak yang berselisih, maka bisa berkembang menjadi aksi saling tumpas dengan biadab. Tak ada lagi perilaku yang manusiawi karena tiap-tiap pihak telanjur sama-sama tidak lagi menghargai perikemanusiaan.

Revitalisasi Sosial 

Tergerusnya budaya verbal oleh budaya material layak diatasi dengan gerakan revitalisasi sosial. Adapun yang dimaksud gerakan revitalisasi sosial adalah upaya untuk mengembalikan budaya verbal agar dihayati manusia dalam pergaulan sehari-hari sebagai makhluk sosial.

Selama ini, bersamaan dengan tergerusnya budaya verbal oleh budaya material, perilaku kekerasan makin mudah berkembang. Bahkan, kekerasan atas nama agama pun makin sering terjadi dan makin mengerikan. Dalam hal ini, pemerintah dan banyak pihak sama-sama terjebak dalam lingkaran kekerasan.

Karena itu, revitalisasi sosial harus berupa upaya memasyarakatkan diskusi yang rasional. Sebab, diskusi rasional lazimnya akan bisa menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial.

Selain itu, upaya seperti memopulerkan lagi tata krama dan etika juga harus dilakukan. Dalam hal ini, pemerintah dan tokoh masyarakat harus selalu rendah hati dan bicara sopan sehingga menjadi contoh bagi anak-anak bangsa. Akan sulit dicegah berbagai bentuk dehumanisasi jika pemerintah dan tokoh masyarakat tidak sopan ketika bicara dan berdiskusi.

Sayang, revitalisasi sosial tampaknya memiliki banyak kendala sehingga tak mudah dilaksanakan. Kendala utamanya adalah tiadanya keteladanan bersosial yang baik. Bahkan, makin banyak pejabat dan tokoh masyarakat sekarang yang bersikap tertutup atau menjaga jarak dengan lingkungannya.

Misalnya, rumah-rumah mereka dipagari tembok tinggi. Dengan begitu, mereka kurang bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Dengan demikian, mereka justru layak dianggap telah ikut serta menggerus budaya verbal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar